"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily akhirnya menyeret langkahnya ke sebuah klub malam yang ramai di tengah kota. Tempat itu penuh dengan pengunjung yang berdansa di bawah lampu-lampu neon yang berkedip, mengikuti irama musik EDM yang menggema hingga menusuk telinga.
Udara di dalam klub terasa berat oleh campuran asap rokok, aroma parfum mahal, dan bau alkohol.
Namun, Lily dengan kacamata bundar dan rambut kuncir satu yang selalu menjadi ciri khasnya, tampak begitu kontras di antara keramaian itu.
Ia menemukan sebuah meja kecil di pojok ruangan yang agak gelap. Dengan langkah ragu, ia duduk dan memesan minuman tanpa berpikir panjang.
Gelas pertama datang, dan ia meminumnya tanpa ragu. Rasanya pahit, menyengat di tenggorokan, membuat perutnya sedikit panas.
Lily tidak terbiasa dengan minuman seperti itu. Biasanya, ia hanya datang ke tempat ini untuk menemani Elyza, sahabatnya yang sering minum untuk melupakan patah hati. Tapi kali ini, Elyza sedang tidak ada, ia pergi keluar kota untuk urusan bisnisnya sebagai desainer.
Lily menatap kosong ke arah gelas yang kini kosong di tangannya. Musik berdentum semakin keras, membuatnya merasa semakin kecil dan tidak terlihat.
Ia tahu, ini bukan dirinya. Lily tidak pernah menjadi orang yang lari dari masalah, apalagi dengan alkohol. Tapi malam ini berbeda. Semuanya terasa begitu salah.
Hidupnya seperti spiral yang berputar cepat ke arah kehancuran. Ia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi rasa sakitnya. Bahkan Elyza, yang biasanya selalu mendengar, tidak bisa ia ganggu kali ini. Jika ia cerita, Hugo dan Daisy akan dalam masalah besar.
“Aku benci ini…” bisiknya pada dirinya sendiri, suara kecil yang tenggelam dalam keramaian.
Gelas kedua datang, lalu gelas ketiga. Lily tidak lagi peduli. Kepalanya mulai terasa ringan, dan pikiran-pikiran menyakitkan yang terus menghantuinya perlahan-lahan memudar.
Tapi rasa sakit itu tidak benar-benar hilang. Ia hanya terkubur sementara di bawah lapisan alkohol yang mengaburkan kenyataan.
Lily menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya sedikit bergoyang mengikuti dentuman musik. Air mata yang tadi sempat berhenti kembali mengalir.
Betapa ironisnya, pikir Lily. Dia datang ke sini untuk melupakan, tapi justru rasa sakit itu semakin dalam.
Pikirannya melayang ke masa lalu. Ke senyum hangat Hugo ketika mereka pertama kali bertemu. Kepada janji-janji manisnya yang kini terasa seperti lelucon.
Kepada Daisy yang selama ini ia percayai sebagai rekan kerja yang tulus. Bagaimana bisa mereka mengkhianatinya dengan begitu mudah?
“Apa aku terlalu bodoh? Terlalu naif?” gumamnya, suara itu tertelan oleh dentuman musik.
Di sudut lain ruangan, beberapa pasang mata mulai memperhatikannya. Wanita berkacamata bundar dengan gaya culun itu tampak begitu tidak pada tempatnya.
Seorang pria bertubuh besar dan berwajah kasar mendekatinya, membawa gelas minuman di tangannya. “Hei, kamu sendirian?” tanyanya dengan nada yang terdengar terlalu akrab.
Lily mendongak, matanya yang berkaca-kaca bertemu dengan pria itu. Ia tidak menjawab, hanya menggeleng lemah dan kembali menunduk.
Tapi pria itu tidak menyerah. Ia menarik kursi di sebelah Lily dan duduk tanpa diundang. “Mau aku temani? Kelihatannya kamu sedang butuh teman bicara,” ucapnya, suaranya terdengar seperti pura-pura peduli.
Lily merasa tidak nyaman, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk memprotes. Ia hanya menggeser sedikit kursinya, mencoba menjaga jarak.
Pria itu tersenyum tipis, lalu mencoba menyentuh gelas kosong di depan Lily. “Kamu belum terbiasa minum ya? Nanti aku pesankan yang lebih ringan.”
“Tidak, terima kasih,” jawab Lily pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Pria itu tertawa kecil, lalu bersandar di kursinya. “Kamu manis tau. Tidak seperti orang-orang di sini. Gimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang?”
Lily menatap pria itu dengan mata yang lelah. Ada ketakutan kecil yang mulai merayap di hatinya, tapi tubuhnya tidak cukup kuat untuk bangkit dan pergi. Namun, sebelum pria itu sempat melanjutkan pembicaraannya, seorang bartender mendekat dengan langkah cepat.
“Tuan, meja Anda sudah siap di sisi lain,” ucapnya dengan nada tegas, memberi isyarat kepada pria itu untuk pergi. Pria itu menggerutu, tapi akhirnya bangkit dan meninggalkan Lily sendirian.
Bartender itu melirik Lily sekilas. “Anda baik-baik saja, Nona?” tanyanya dengan nada lembut.
Lily hanya mengangguk, meskipun jelas-jelas ia tidak baik-baik saja. Setelah memastikan bahwa pria itu tidak kembali, bartender itu pergi.
Lily kembali tenggelam dalam pikirannya, memandangi gelas kosong di hadapannya. Bau parfum manis dari topi yang masih ia bawa sejak tadi malam tercium samar-samar, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan ini.
Lily menghela napas panjang, lalu berdiri dengan langkah gontai. Ia tahu, tempat ini tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tapi ke mana ia harus pergi? Tidak ada jawaban. Ia hanya tahu, untuk malam ini, ia ingin melarikan diri, sejauh mungkin dari rasa sakit yang tak henti-hentinya mengejarnya.
Di tengah langkah yang gontai, Lily berjalan keluar dari klub malam, masih dengan perasaan kacau dan alkohol yang mengaburkan pikirannya.
Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, membuatnya sedikit tersadar, meskipun tubuhnya masih terasa ringan. Ia berjalan tanpa arah, hingga tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseorang.
Brak!
“Maaf…” gumam Lily, suaranya lemah, namun pandangannya yang kabur menangkap sosok pria dengan masker hitam di hadapannya.
Ada sesuatu yang familiar pada pria itu. Meskipun penglihatannya buram, hati kecilnya berbisik bahwa ini adalah pria yang memberikannya topi di bus pagi tadi. Mata pria itu menatapnya tajam, seolah mempelajari setiap gerakannya.
Lily mengerjap, mencoba fokus, lalu dengan cepat melepas kacamatanya, seakan ingin mengaburkan segalanya lebih jauh. “Ah, kamu,” gumamnya, suaranya sedikit bergetar.
Ia tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi dorongan dalam dirinya berkata untuk mendekat. Tanpa memikirkan konsekuensinya, Lily merangkul leher pria itu dengan erat, menarik tubuhnya lebih dekat. "Aku akan membalas kebaikanmu," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di antara suara angin malam.
Pria itu terdiam, tampak terkejut dengan perlakuan tiba-tiba dari Lily. Sorot matanya tajam, penuh dengan emosi yang sulit ditebak, namun ia tidak bergerak untuk menolak.
Lily yang setengah kesadarannya, menatap pria itu, lalu dengan tindakan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, mencium pria itu meskipun bibir mereka masih terhalang masker.
"Ini... gila," pikir Lily, tapi ia tidak peduli. Dunia sudah terasa seperti lelucon baginya. Dengan cepat, ia meraih tali masker pria itu dan menariknya hingga putus.
Masker itu terlepas, dan Lily menatap wajah pria di hadapannya. Wajahnya tampak samar-samar dalam penglihatannya yang buram, tetapi satu hal yang jelas, pria itu sangat tampan, dengan rahang yang tegas dan mata yang menusuk.
Lily tersenyum, senyum yang terlihat campuran antara kesedihan dan kekacauan. "Gila... kamu sangat tampan," ucapnya dengan suara yang sedikit serak. “Maukah kamu tidur denganku malam ini?” lanjutnya, nadanya setengah bercanda, setengah serius.
Ia merasa seperti wanita yang sudah kehilangan semua pertahanan dirinya. Malam ini, ia hanya ingin kebebasan, melupakan semua rasa sakit yang menghantuinya.
Pria itu tetap diam, matanya masih menatap Lily dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tapi alih-alih menjawab, ia tiba-tiba membungkuk, mengangkat tubuh Lily dengan mudah.
Lily yang sudah lemah tidak berusaha melawan. Sebaliknya, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada leher pria itu, membiarkan dirinya terbawa.
"Hei... kamu kuat juga ya," gumam Lily, setengah tertawa, meskipun matanya mulai menutup perlahan. Alkohol dan kelelahan mulai mengambil alih tubuhnya.
Ia tersenyum kecil, merasa anehnya nyaman di pelukan pria itu. "Kalau kamu nggak keberatan... biarkan aku tidur... sebentar saja…" bisiknya, sebelum akhirnya kepalanya bersandar di bahu pria itu.
Pria itu tetap diam, hanya melangkah mantap, membawa Lily entah ke mana. Tidak ada protes, tidak ada kata-kata. Namun dalam diamnya, ada sesuatu yang terasa intens, seperti badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰