"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Denial
“Ceweknya yang mana? Gue boleh liat gak, Kak?” tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu.
Kak Hans masih asyik bersandar di sofa, memainkan ponselnya seakan gak dengar pertanyaanku. Aku mencondongkan tubuh, mencoba menarik perhatiannya. “Please ...,” bujukku lagi.
Dia akhirnya melirik sekilas.
“Janji gak bilang ke Om Lino,” tambahku cepat sebelum dia sempat menolak.
Kak Hans mengangkat alis. “Lo emangnya gak tau akun Instagram Bang Lino?”
Aku mengernyit. “Hah?”
“Postingannya bertahun-tahun yang lalu belum dia hapus tuh,” katanya santai. “Dan foto mantan pacarnya masih ada di sana.”
Aku langsung teringat obrolan teman-temanku beberapa waktu lalu. Mereka pernah membahas sesuatu tentang foto lama di akun Om Lino. Waktu itu aku gak terlalu peduli dan gak ikut lihat. Sekarang aku menyesal.
“Gue gak tau.” aku akhirnya mengaku. “Bisa liat di HP lo?”
“Enggak ah,” tolaknya cepat. “Takut dimarahin Bang Lino gue.”
Aku mendesah kesal. “Ih, udah dibilang gue janji gak akan cepu. Please, Kaaak!”
Kak Hans tetap bergeming, malah makin kelihatan gak mau. Aku akhirnya menggunakan strategi lain. “Kalau lo gak kasih liat, gue bilang ke Om Lino kalau lo ngungkit mantannya di depan gue.”
Dia menatapku curiga. “Awas lo kalau cepu.”
“Iyaa, tenang aja.”
Akhirnya, setelah berdebat cukup lama, dia menyerahkan HP-nya dengan enggan. Aku langsung fokus membuka Instagram Om Lino. Seperti dugaan, kebanyakan fotonya isinya kucing-kucing dia atau pemandangan random yang dia suka. Aku mulai scroll ke bawah dengan tekun.
Sampai akhirnya…
Postingan enam tahun lalu kutemukan.
Aku menatap layar lekat-lekat.
Cewek itu duduk di dalam mobil, tersenyum ke arah kamera. Senyumnya manis banget, tipe senyum yang bikin nyaman siapa pun yang lihat.
Di bawah fotonya ada caption singkat dari Om Lino: “Menggemaskan.”
Singkat, padat, bikin hati panas.
Aku membaca nama akun si cewek yang di-tag Om Lino.
“Dania?” gumamku pelan.
Kak Hans mengangguk. “Iya, namanya Dania.”
Aku menelan ludah. “Oke ....”
Dia menatapku dengan ekspresi aneh. “Gak cemburu lo?” tanyanya dengan nada menggoda.
Aku mengangkat bahu. “Enggak. Gak peduli gue. Cuma penasaran doang.”
Tapi jujur, cewek ini cantik … pantas Om Lino suka.
Kak Hans menyeringai, jelas gak percaya. “Kan cemburu lo. Udah sini—”
“Ih, belum! Cek akun ceweknya dulu!” potongku cepat, menghindari usahanya merebut HP-nya kembali.
Dia mendesah dramatis. “Buat apa? Udah ah, di sana lebih banyak foto-foto mereka. Entar kalau lo panas terus berantem sama Bang Lino, gue lagi yang disalahin.”
“Enggaaak,” ujarku meyakinkan. “Udah diem aja, gue gak akan bilang ke dia.”
Tanpa menunggu izin lebih lanjut, aku langsung mengklik akun Dania yang berwarna biru itu. Begitu profilnya muncul, aku mulai scrolling.
Mataku fokus mencari satu hal. Foto mereka berdua.
Jari-jariku terus menggulir layar. Aku harus tahu seberapa dalam hubungan mereka dulu. Seberapa besar dampaknya sampai bisa bikin Om Lino hampir gak mau nikah sama sekali.
Jari-jariku terus menggulir layar, mataku terpaku pada layar ponsel. Benar kata Kak Hans. Di akun Dania, ada banyak foto dia bersama Om Lino. Dari mirror selfie, foto candid, sampai foto mereka berpelukan dengan ekspresi penuh kasih sayang.
Aku terus menelusuri feed-nya. Selain foto bareng Om Lino, ada juga banyak foto Dania seorang diri—di sebuah kafe, di tepi pantai, di dalam mobil. Semua dengan ribuan like.
Wow, dia eksis banget ternyata. Berkebalikan sama Om Lino.
Aku terus scrolling tanpa sadar. Lalu entah kenapa … aku mendadak terdiam.
Sebuah perasaan aneh menyelusup dalam hati.
Foto-foto itu—cara mereka saling menatap, senyum yang terukir di wajah mereka—semuanya terasa begitu nyata. Seakan aku bisa merasakan cinta yang pernah ada di antara mereka. Hubungan yang dalam. Perasaan yang besar.
Dan di tengah semua itu, aku … hanya seperti penyusup.
“Udah gue bilang, kan?” suara Kak Hans memecah lamunanku. “Itu masa lalu.”
Aku menoleh sekilas. Dia masih bersandar santai di sofa, tapi sorot matanya serius.
“Semua yang lo liat itu, gimana romantisnya mereka dulu, gak ada artinya lagi,” lanjutnya. “Semuanya tenggelam ditutupi sama kenangan buruk.”
Dia menatap layar ponselnya sendiri, seperti mengingat sesuatu. “Bagi Bang Lino sendiri, tuh cewek cuma—”
“Tapi kenapa Om Lino gak hapus postingannya?” potongku cepat.
Kak Hans mengerjapkan mata. “Hah?”
“Kalau emang dia udah ngelupain cewek ini, kenapa postingannya dulu gak dihapus?” tanyaku lagi.
Dia terdiam sejenak. “Entahlah ....”
Aku menggigit bibir. “Om Lino kayaknya masih suka nginget dia.”
Kak Hans langsung terkekeh. “Tuh, kan, cemburu!”
Aku mendelik. “Gue gak cemburu.”
“Duh, lo entar kalau mau ngambek sama Bang Lino, jangan bawa-bawa nama gue, oke?” godanya lagi.
“Ngapain juga gue ngambek?” Aku mengembuskan napas. “Gue gak peduli.”
“Dasar cewek,” gumamnya sambil nyengir. “Kebiasaan banget gak mau ngaku.”
Aku menutup layar HP dan menyandarkan kepala ke sofa. “Tau ah.”
“Njir, bete beneran dia.”
Gak, aku gak cemburu. Beneran deh.
Aku cuma kepikiran … kalau suatu hari nanti cewek itu balik lagi, gimana?
Dilihat dari besarnya cinta Om Lino dulu, gak menutup kemungkinan dia bakal maafin Dania. Lalu balikan sama dia lagi.
Apalagi postingan terbaru cewek itu—caption-nya bikin dadaku entah kenapa terasa sedikit sesak.
(Aku kalah. Sampai saat ini, aku masih sangat merindukanmu. Jika aku datang, akankah kau menyambutku seperti dulu?)
Aku menatap tulisan itu lama.
Sesuatu yang mengganjal muncul dalam hati.
Kalau nanti dia balik … aku harus bagaimana?
...***...
[Jihan, saya mungkin akan pulang larut malam lagi hari ini. Kamu tidak perlu menunggu, kunci saja pintunya dan tidur. Saya membawa kunci cadangan.]
Pesan dari Om Lino yang dikirim sepuluh menit lalu cuma aku baca sekilas tanpa niat membalas.
Entah kenapa, malas aja.
Lagian, sekarang aku lagi sibuk mengetik laporan di laptop. Aku mengetik, menghapus, merevisi, lalu membaca ulang. Begitu terus. Aku bahkan memastikan setiap tanda baca ada di tempatnya.
Semua gara-gara Om Lino.
Makalahku pernah dibantai habis-habisan olehnya. Bahkan dia bilang, kalau sistem penulisanku masih berantakan, nilainya bisa langsung dikasih D.
Jadi sekarang, sebelum setor ke dosen, aku selalu kasih lihat ke Om Lino dulu. Dia bakal mengoreksi segalanya—dari struktur kalimat sampai logika tulisan.
Bagus, sih. Tapi kalau banyak salah, kritikannya itu … tenang tapi menusuk kalbu.
PRANG!
Aku terlonjak.
“ANJ—Astaghfirullah, kaget!” Aku langsung menoleh ke arah pintu kamar. Saking kagetnya sampai nyaris mengumpat.
Suara apa tadi?
Kayak ada sesuatu berbahan kaca yang jatuh terus pecah.
Aku buru-buru bangkit, berjalan ke pintu, lalu mengulurkan tangan hendak menarik handle-nya.
Tapi detik berikutnya, tubuhku membeku.
Sial. Aku lupa kunci pintu depan.
Aku mundur perlahan, jantung berdegup lebih cepat. Kalau itu bukan Om Lino, siapa yang ada di luar?
Ucapan teman-teman pagi tadi mendadak terngiang. Dan seperti yang kuceritakan, beberapa hari lalu, tetangga sempat cerita tentang kejadian perampokan di daerah sini.
Aku menelan ludah. “O-om?” panggilku lirih, hampir berbisik.
Tanpa buang waktu, aku meraih ponsel dan buru-buru mengirim pesan.
...[WhatsApp]...
...OM KBBI...
^^^OM^^^
^^^OM LINO DI MANA?^^^
^^^UDAH PULANG BELUM?^^^
^^^ITU YANG RIBUT DI LUAR OM, KAN?^^^
^^^BILANG IYA, OM!^^^
^^^CEPET BALAS!^^^
^^^OM, SAYA TUH LAGI PANIK!^^^
^^^MAKANYA KAPITAL SEMUA GINI!^^^
^^^CEPET BALES, OM! JANGAN NAKUTIN! 😭^^^
Lima menit berlalu. Masih gak ada balasan. Tiba-tiba aku … samar-samar mendengar langkah kaki di luar. Dengan cepat dan gemetar jari-jariku kembali mengetik pesan.
^^^Om, masa saya denger suara langkah kaki di luar???^^^
^^^Om, saya takut kalau gini ceritanya 😭^^^
^^^Itu om kan?!^^^
^^^Om, takut! mana bunda lagi nginep di rumah nenek, gak ada orang juga di rumah sebelah!^^^
^^^Ini saya harus gimana?^^^
Aku menggenggam ponsel erat, tubuhku menegang. Langkah itu terdengar semakin jelas. Kedengerannya seperti orang yang sedang bolak-balik gitu. Lima menit kembali berlalu dengan aku yang seketika mengingat kembali hafalan surah-surah pendek. Apa pun kurapalkan, bahkan do'a makan terucapkan juga saking takutnya.
Drrrttt!
Ponselku bergetar di genggaman. Setelah membaca pesanku, Om Lino langsung menelepon. Jari-jariku gemetar saat menggeser ikon hijau di layar.
“Om, Om Lino udah pulang, kan?” Aku berbisik, nyaris tak terdengar.
Beda dari pesan-pesanku yang panik dan ngegas tadi, sekarang suaraku lirih. Jaga-jaga kalau yang di luar bukan Om Lino. Kalau aku ketahuan, bisa bahaya.
“Saya belum sampai, Jihan. Masih di perjalanan pulang,” jawabnya dengan nada datar seperti biasa. Tapi aku bisa mendengar deru napasnya yang berat. “Kamu di mana? Di kamar?”
Aku menelan ludah. Terfokus ke fakta dia emang belum pulang. “H-hah?”
Detik itu juga, bulu kudukku berdiri.
“Terus … yang di luar siapa?” bisikku lagi, lebih pelan.
Aku bisa merasakan napasku memburu. Telingaku semakin waspada terhadap suara sekecil apa pun di luar kamar.
“Om, takut, Om! Cepetan pulang!” desakku.
“Ada yang menerobos masuk?”
Aku menggigit bibir. “Saya lupa kunci pintu ....”
Hening.
Lalu Om Lino terdengar menghela napas berat di seberang sana. “Jihan ....”
“Iya, maaf! Nanti aja marahnya! Sekarang gimana? Kalau kamar saya didobrak gimana??” suaraku sudah semakin panik.
“Iya, ini saya sudah—”
Tok tok tok!
Jantungku seperti berhenti berdetak.
"Ada orang di dalam?"
OH, NO!
Tanganku semakin mencengkeram ponsel. “Om! Om denger?! Om, saya takut, huhu!”
Hening.
“Om—”
Tut!
Aku menatap layar ponsel dengan napas terputus-putus dan tatapan tak percaya. Panggilan berakhir.
“O-om?” suaraku lirih.
Jari-jariku buru-buru mengetik pesan. Mempertanyakan kenapa teleponnya dimatikan dengan keringat dingin.
Om Lino gila! Aku udah setengah mati ketakutan, tapi dia malah ninggalin aku kayak gini?!
Aku nggak ngerti jalan pikirannya. Memang benar, bagi dia aku bukan siapa-siapanya. Tapi, peduli dikit kek! Kalau aku mati di rumah dia, gimana?!
Tok tok tok!
Suara itu terdengar lagi.
Aku refleks lari ke ranjang, menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Tubuhku gemetar hebat. Aku nggak bisa berpikir. Nggak bisa bergerak.
Aku cuma bisa berharap Om Lino ngebut dan segera datang.
Kalau enggak … ya, aku pasrah.