realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
si gadis kaku!!
"apakah sangat membosankan " ucap seorang pria dari belakang sembari memperhatikan aluna yang nampak bosan dengan suasana kampus
...~||~...
Gadis itu tertegun, tubuhnya seolah membeku begitu suara pria itu menggema di telinganya. Suara yang dalam dan berat, namun entah kenapa terasa begitu familiar, seperti gema dari masa lalu yang ingin ia lupakan. Ia tidak bergerak, hanya duduk mematung di tempatnya, nyaris seperti patung marmer yang kehilangan jiwa.
Jantungnya berdetak keras, memukul rongga dadanya tanpa ampun, seolah memprotes keberadaan pria itu yang tiba-tiba muncul. Ia tahu pasti siapa pemilik suara itu, tapi keberanian untuk menoleh tidak kunjung datang. Hatinya diliputi gemuruh rasa takut dan amarah yang tak jelas asalnya. Angin siang yang seharusnya menyejukkan terasa dingin menusuk, memeluknya dalam keheningan yang menyiksa.
Waktupun seketika berlalu entah sudah berapa menit waktu itu berlalu dan pria itu masih tetap di sana dan menunggu balasan dari aluna namun tak kian di jawab.
iapun memberanikan dirinya dan memanggil nama gadis itu
“Aluna…” panggil suara itu lagi, lembut kali ini, nyaris berbisik, tapi tetap seperti petir yang mengguncang hatinya. pria itu kini duduk di dekat aluna, hanya tinggal 3 jengkal jari jarak di antara dia dan aluna.
Aluna tidak menoleh, tatapannya tertuju pada celah di antara kaki-kaki orang yang lewat, memohon waktu segera berlalu. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengusir bayangan masa lalu yang tiba-tiba menjeratnya.
“Sudah lama aku tidak melihatmu sejak hari itu…” ucap pria itu yang akhirnya duduk lebih dekat , di sisi Aluna. Suaranya rendah, lebih menyerupai permohonan daripada pernyataan. Tatapannya mengarah ke bawah, menelusuri keramik yang berkilauan karena sinar matahari, seolah ada sesuatu di sana yang mampu menjelaskan kesalahannya.
Aluna tetap diam. Hawa panas matahari seolah bersekutu dengan kenangan yang ia coba kubur.
“Kau menghilang selama dua tahun ini,” lanjut pria itu, mencoba membuka celah lain. “Tanpa kabar, tanpa keberadaan.… aku memang salah dengan kejadian itu, dan aku sangat menyesal.” Suaranya sedikit bergetar, menggantung di antara hiruk-pikuk langkah mahasiswa di sekitarnya.
Aluna mengencangkan genggaman pada buku yang saat itu iya pegang. Kuku jarinya menciptakan tekanan di telapak tangan, mencoba menyalurkan gejolak hatinya yang ingin menyeruak keluar.
“Aluna, tolong …” ucap pria itu kembali memanggil namanya, kali ini dengan nada yang seolah menyelipkan semua kesedihan dan penyesalan. “Apa kau masih marah? Apa aku bisa melakukan sesuatu… apa pun, agar kau mau berbicara lagi?”
Keheningan mencekik ruang di antara mereka. Hanya suara bising sepatu yang bergema samar sebagai pengisi celah.
“Navin… bisakah kau menjauh?” Aluna akhirnya membuka suaranya. Getar dalam nada bicaranya jelas, setiap kata yang keluar adalah perjuangan berat baginya. Ia tidak menoleh, wajahnya tetap terarah pada alas tangga, tapi ia tahu Navin mendengarnya.
Navin diam, napasnya tertahan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Aluna melanjutkan, “Aku sudah… ikhlas dengan hal itu. Jadi, kumohon, pergilah.”
Kata-kata itu terdengar pelan, tapi cukup menusuk untuk membuat Navin membeku sejenak. Ia menatap Aluna yang tetap tak menoleh. Wajahnya penuh dengan emosi yang sulit dijelaskan, sebelum akhirnya ia berdiri. “Baik, kalau itu maumu,” katanya lirih, lalu perlahan ia berbalik dan berjalan menuruni tangga. Setiap langkah terdengar berat, meninggalkan bayangan penyesalan yang menggantung di udara siang itu.
Aluna baru menoleh ketika ia yakin Navin benar-benar pergi. Matahari kini menyinari wajahnya, mengungkapkan mata yang mulai berkaca-kaca. Tak satu pun orang di sekitarnya memperhatikan, tetapi setitik air mata jatuh, membentuk jalur halus di pipinya. Tangga kampus yang sebelumnya terasa hangat kini bagai menjadi saksi bisu dari perasaan yang tak mampu diungkapkan sepenuhnya. Aluna tahu, segalanya mungkin berakhir, tapi luka itu akan tetap tinggal.
Waktu perlahan mengendap menuju pukul dua siang, dan Aluna masih duduk di tangga yang sama. Kehangatan lantai keramik kini berangsur-angsur berubah menjadi dingin, sementara pikiran terus berputar
Namun, keheningannya tak bertahan lama. Dari menjadi
"Hei, gadis kaku!" terdengar suara Mery, teman yang baru ia kenal di kelas tadi pagi yang terkenal dengan cara bicara yang selalu penuh energi. Mery berdiri di puncak tangga, memandang Aluna yang terlihat tenggelam dalam pikirnya
Aluna mengangkat wajahnya perlahan seraya tersadar dari lamunanya dan berkata " ada apa?.." ucapnya dengan penuh tanda tanya
Mery memutar matanya, menggeleng penuh drama. "Dasar pelupa! Kau belum tua, tapi sudah pikun. Gadis kaku memang!" Ia menuruni tangga dengan langkah cepat hingga berdiri di depan Aluna .
Aluna terdiam sejenak. " Oh iya… kelas" Ia benar-benar melupakan segalanya setelah kejadian dengan Navin tadi.
"Ayo, bangun. Kau mau duduk di sini sampai dosen lebih dulu masuk atau kau mencoba membolos seperti kelas tadi pagi" ujarnya mengajak gadis itu bergegas ke kelas
Tanpa protes, Aluna pun mengikuti langka mery yang berjalan ke kelas
Waktu berlalu, dan matahari mulai condong ke barat. Jarum jam menunjukkan pukul empat sore, menandakan kelas telah selesai. Para siswa berbondong-bondong keluar dari ruangan, wajah mereka cerah menyambut sisa hari.
Aluna, sebaliknya, iya menunggu para mahasiswa di kelasnya habis keluar satu persatu setelahnya ia baru keluar
Mery, yang berjalan di belakangnya, memperhatikan tingkah Aluna dengan keheranannya. "Dasar gadis kaku. Kau memang susah ditebak," gumamnya sambil menggeleng pelan. Ia tahu, Aluna bukan orang yang suka berbagi perasaannya, bahkan pada dirinya sendiri. Tapi itulah Aluna—dingin di luar, tapi ia tahu teman yang baru ia kenal itu menyembunyikan banyak hal
Tanpa banyak bicara lagi, Mery hanya mengiringi langkah Aluna yang semakin menjauh, yakin gadis itu akan membuka dirinya sendiri
Namun, sudah dekat dengan parkiran aluna tak kunjung menoleh ke arah belakang dan mengucapkan sepata kata terhadap mery yang sedari tadi mengikutinya
"Aluna" terdengar suara lembut yang memanggil aluna dari arah parkiran
Alunapun melirik ke arah suara itu dan melihat sosok elvanzo yang sedari tadi menunggunya untuk pulang
"Hey cepatlah " teriak elvanzo ke arah aluna yang berjalan seperti siput
Alunapun mempercepat langkahnya tanpa memperhatikan mery pada akhirnya
"Dasar lamban ini hari pertamamu loh" ucap elvanzo mendekat mengelus kepala aluna dengan lembut
Aluna yang mendapat perlakuan itu seketika tertegun diam namun, ia berusaha lepas dari rasa nyaman itu dan berkata " kak elvanzo tolong jaga sikapmu" ucapnya dengan nada berat menatap sinis ke arah pria itu
Elvanzo hanya tersenyum dan sadar bahwa yang ia lakukan cukup lancang untuk gadis yang baru ia kenal beberapa hari lalu
Alunapun tanpa respon apapun lagi membuka pintu mobil di belakang dan ingin naik namun,
"Apakah aku supirmu nona??.." gumam elvanzo menghentikan langkah kecil gadis itu yang ingin naik ke job belakang mobil
"Lalu aku harus duduk dimana" ucap aluna tenang dengan nada bicaranya yang selalu berat
" Bukankah tempat di depan kosong nona, jadi duduklah disitu" ujarnya melirik ke kursi depan yang kosong
Aluna yang tak suka basa basi yang panjang pun hanya menutup pintu mobil yang sempat ia buka dengan pelan dan melangkah dengan langkah kecilnya menuju kursi depan
Elvanzo yang melihat itu hanya tersenyum yang mengisyaratkan ia sangat senang
Merekapun pergi dengan mery yang memperhatikan dari jauh sedari tadi
"Pantaslah gadis kaku itu tak tertarik , lihatlah dia " ujar mery yang tak menyangka bahwa gadis kaku itu teryata begitu dekat dengan dosen yang sangat di incar Mahasiswa di kampusnya namun, dengan muda gadis kaku itu mendapatkan pelakuan spesial dari elvanzo yang sangat di impi-impikan gadis kampus