" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Orang yang Sama
Raya melangkah pelan di sepanjang jalan setapak desa, pikirannya melayang pada kejadian tadi di tepi sungai. Blaze, pria asing itu, memanggilnya dengan nama yang sudah lama tak ia dengar. Nama yang hanya satu orang di dunia ini yang biasa mengucapkannya—ayahnya.
Flashback On
"Selamat ulang tahun, Resha!" seru seorang pria paruh baya sambil membawa kue tart cokelat dengan senyum hangat di wajahnya.
Seorang gadis kecil berambut ikal berlari ke arah pria itu, matanya berbinar bahagia. "Ayah!"
Raya Altaresha, itulah nama lengkapnya. Dulu, hanya ayahnya yang memanggilnya dengan nama "Resha." Nama itu terasa spesial, penuh kasih sayang dan kenangan indah yang ia simpan di hatinya.
Namun, kenangan itu juga mengingatkannya pada seseorang lagi, seorang anak laki-laki yang pernah menolongnya saat ia tersesat di suatu tempat yang asing. Anak laki-laki yang sudah tumbuh menjadi pria yang ia temui hari ini—Blaze.
Raya menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri dari kejutannya. "Apa mungkin Blaze masih mengingatku seperti dulu?" gumamnya pelan. Pertemuan itu membawa begitu banyak pertanyaan yang kembali berputar di kepalanya, seakan masa lalunya yang telah ia pendam lama kini bangkit kembali.
Flashback Off
Raya tersenyum kecil, meskipun ada perasaan yang campur aduk di hatinya. Pertemuan dengan Blaze membuka lembaran lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Mungkin, perjalanannya ke desa ini tak hanya membawanya pada ketenangan alam, tapi juga pada potongan masa lalunya yang masih menyimpan banyak misteri.
Bayangan wajah ayahnya kembali terlintas di benak Raya, namun kali ini bukan kenangan manis ulang tahunnya. Ingatan itu membawa Raya pada momen pahit yang menghantui masa kecilnya—saat ia baru berusia sepuluh tahun dan mengetahui kenyataan yang mengguncang dunianya. Ayahnya ternyata memiliki istri lain selain Bundanya.
Waktu itu, Raya kecil sebenarnya sudah lebih dewasa dibanding anak-anak seusianya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam keluarga mereka, meski tidak pernah ada yang menjelaskan langsung. Sampai suatu hari, ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan orang-orang yang mengungkap kenyataan bahwa Bundanya adalah istri kedua. Rasanya seperti dunia yang ia kenal selama ini runtuh seketika.
Raya masih ingat bagaimana hatinya bergejolak antara bingung, marah, dan kecewa. Dalam usianya yang masih muda, ia mulai mempertanyakan cinta dan kesetiaan. Mengapa ayahnya, yang selalu ia kagumi, bisa menyakiti Bundanya seperti itu? Sejak saat itu, kepercayaan Raya pada ayahnya perlahan memudar, menyisakan luka yang ia bawa hingga kini.
Mengingat semua itu, Raya merasakan kepedihan yang lama kembali menyelinap ke hatinya. Ia mencoba untuk menahan rasa kecewa yang dulu pernah membebani pikirannya. Namun, pertemuannya dengan Blaze, panggilan "Resha" yang asing tapi akrab, serta bayangan tentang ayahnya, semuanya seolah membawa kembali masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.
Kini, Raya berdiri di persimpangan antara kenangan pahit dan kenyataan yang harus ia hadapi. Apakah ia siap menerima kembali bagian dari masa lalunya ini?
TIIIIINNNNNNNN
Suara klakson motor sport hitam yang nyaring mengejutkan Raya, membuat lamunannya buyar. Ia menoleh, mendapati seorang pria turun dari motor dan membuka helm full-face-nya. Ternyata, itu adalah Bilal, dengan alis sedikit mengernyit, menatapnya bingung.
“Ngapain di tengah jalan gitu?” tanya Bilal dengan nada heran.
Raya tersentak sejenak, lalu mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Eh, Kak... aku... mau pulang," jawabnya sambil tersenyum canggung, berusaha terlihat tenang.
Bilal menatapnya sejenak, seolah ingin memastikan kalau Raya baik-baik saja. "Pulang kok malah melamun di jalan? Ada yang dipikirin, ya?"
Raya menggeleng cepat, lalu tertawa kecil untuk menghilangkan suasana canggung. "Nggak, kok, Kak. Cuma... tadi kepikiran sesuatu aja."
Bilal tersenyum tipis, lalu menepuk motornya. "Mau nebeng? Biar cepat sampai rumah."
Raya terkejut, tapi dalam hati ia merasa bersyukur atas tawaran itu. "Boleh, Kak?"
“Yuk, naik aja,” sahut Bilal sambil memiringkan motornya sedikit agar Raya bisa naik lebih mudah.
Raya pun naik ke motor Bilal, dan mereka melaju perlahan melewati jalan desa yang sepi. Sementara angin mengusap wajahnya, Raya merasa sedikit tenang. Entah kenapa, kehadiran Bilal membuat pikirannya yang tadinya dipenuhi bayangan masa lalu menjadi lebih ringan.
Rian berdiri tercengang di depan rumah, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Di depan sana, kakaknya, Raya, turun dari motor dengan bantuan Bilal. Bilal, yang selama ini dikenal Rian sebagai sosok yang sangat menjaga jarak dengan perempuan, kini terlihat santai mengantar Raya pulang.
Rian menggaruk kepalanya, menggumam pada dirinya sendiri, "Kak ustadz tumben banget mau boncengan sama cewek selain Kak Fatimah..." Ia melirik lagi ke arah mereka, matanya masih terbelalak.
Raya, yang baru saja turun, menyadari kehadiran adiknya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan. " Lo ngapain melongo di situ?"
Rian tergagap sejenak, lalu berusaha terlihat santai. "Nggak apa-apa, cuma... heran aja," ujarnya sambil memalingkan pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa penasaran yang sudah tak terbendung.
Bilal yang mendengar itu hanya tertawa kecil sambil menepuk bahu Rian. "Jangan heran, Rian. Kakak cuma bantuin Raya biar nggak jalan sendirian. lagian searah jadi ya bareng aja. "
Rian mengangguk, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan kebingungan. "Oh... gitu, Kak. Tapi tetap aja... tumben," katanya sambil tersenyum tipis, tak kuasa menahan rasa ingin tahunya. Raya dan Bilal hanya saling tersenyum menanggapi, sementara Rian masih berusaha mencerna kejadian yang baru saja dilihatnya.
"Jadi nanti Raya izin gak ke toko bunga ya, Kak," kata Raya sambil melihat ke arah Bilal, mencoba memastikan bahwa alasannya cukup kuat.
Bilal menatapnya dengan alis terangkat sedikit. "Alasan?"
Raya tersenyum canggung. "Aku banyak tugas sekolah, jadi kerja di toko bunga ijin dulu, boleh kan?"
Bilal tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, itu keputusan yang baik. Fokus dulu ke tugas sekolah, biar gak keteteran."
Raya terlihat lega. "Makasih, Kak. Aku pikir Kakak bakal marah karena sering izin."
"Selama alasannya jelas, gak masalah kok," jawab Bilal sambil tersenyum ramah. "Lagipula pendidikan tetap yang utama."
Raya mengangguk mantap. "Iya, Kak. Aku bakal kerjain tugas-tugas dulu, biar lebih tenang."
Bilal menepuk pundaknya ringan. "Good. Kalau ada yang perlu dibantu buat tugas, kabarin aja. Jangan sungkan, ya."
"Siap, Kak! Makasih banyak," kata Raya dengan senyum lebar.
"Ngomong sama Kak Bilal aku-kamu, ngomong sama adeknya gue-lo," cibir Rian sambil menyeringai, menahan tawa.
"Terserah gue lah, " Kata Raya lalu masuk ke dalam rumah sementara Bilal sudah melajukan motor nya meninggalkan pekarangan rumah Raya.
Raya masuk ke kamar dan mengunci dari dalam. Dia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kunci.
Lalu, ia berjongkok mengambil sebuah kotak di bawah tempat tidur nya. Kotak itu tertutup oleh tebalnya debu. Kotak yang sudah lama tidak pernah ia buka, disimpan selama bertahun-tahun.
Dengan hati-hati, Raya membersihkan debu dari permukaan kotak itu, seolah menyapu kenangan-kenangan lama yang terkubur di dalamnya. Ia duduk di lantai, menatap kotak yang kecil namun penuh dengan beban emosional. Tangan Raya gemetar saat ia memasukkan kunci ke dalam gembok kecil dan memutarnya perlahan.
Setelah gembok terbuka, ia membuka tutup kotak tersebut dan menemukan beberapa benda yang penuh makna bagi masa lalunya—foto-foto lama, secarik kertas dengan tulisan tangan ayahnya, serta beberapa barang kecil yang dulu dianggapnya sangat berharga.
Raya mengambil salah satu foto, gambar dirinya saat masih kecil bersama ayahnya. Senyum lebar tergambar di wajah kecilnya, dan di sampingnya, ayahnya tersenyum lembut. Foto itu menangkap momen saat dirinya masih percaya pada kebahagiaan keluarga yang sempurna, sebelum ia tahu tentang sisi lain kehidupan ayahnya.
Tangannya bergetar saat ia mengambil secarik kertas kecil yang terlipat di sudut kotak. Ia mengenali tulisan tangan ayahnya, kata-kata penuh kasih sayang yang ditujukan padanya. "Untuk Resha, gadis kecil ayah yang pemberani. Ayah selalu mencintaimu, ingat itu."
Air mata perlahan mengalir di pipi Raya saat ia membaca kata-kata itu. Bagian dari dirinya yang rapuh, yang sudah lama ia coba abaikan, kini terbuka lagi. Kata-kata ayahnya membuatnya merasakan kembali kerinduan yang mendalam, tetapi juga membawa rasa sakit akibat pengkhianatan yang pernah ia rasakan.
Raya menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Ia tahu bahwa kenangan-kenangan ini adalah bagian dari dirinya, baik yang indah maupun yang pahit. Meskipun masa lalunya tidak selalu sempurna, kotak kecil ini mengingatkannya bahwa dirinya masih memiliki tempat untuk kenangan itu—tempat yang tidak bisa diambil oleh siapa pun.
Ia menutup kotak itu kembali dan meletakkannya di bawah tempat tidurnya. Mungkin suatu hari, ia akan lebih siap untuk menghadapi semuanya. Tapi untuk saat ini, cukup baginya untuk mengingat bahwa ia pernah dicintai dan pernah bahagia, meski hanya sebentar.
Setelah itu, Raya bangkit, menghapus air matanya, dan tersenyum kecil pada dirinya sendiri di cermin. Ia tahu, untuk melangkah maju, ia harus bisa menerima masa lalu, bukan melupakannya.