Dante, pria kejam yang hidup di dunia kelam, tak pernah mengenal rasa iba. Namun segalanya berubah saat ia bertemu Lea, gadis lugu yang tanpa sengaja menjadi saksi pembunuhannya. Lea, seorang guru TK polos, kini menjadi obsesi terbesarnya—dan Dante bersumpah, ia tidak akan melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Lia menatap jam di pergelangan tangannya, matanya menyapu gelapnya jalanan yang semakin sepi. Rasa khawatir semakin menguasai dirinya, membuat langkahnya tak tenang. Lea sudah lama seharusnya pulang, tapi sampai sekarang belum juga muncul. Setiap menit terasa seperti berjam-jam bagi Lia.
"Dari tadi nggak ada kabar," gumam Lia sambil terus mondar-mandir. Dia menahan amarahnya yang mulai mendidih. "Kenapa sih dia nggak bisa lebih hati-hati? Malam-malam begini, masih aja keluyuran."
Sementara itu, Lea yang berjalan gontai mendekati rumah mereka, merasa gelisah. Martabak yang ia bawa terasa semakin berat di tangannya. Langkahnya semakin pelan, seolah menahan rindu dan beban yang mengikutinya sepanjang jalan. Dia tahu kakaknya pasti sedang khawatir, tapi dia tak bisa berbuat banyak. Pikiran tentang kejadian yang baru saja ia alami menghantui.
Lea akhirnya sampai di depan pintu rumah. Begitu melihat Lia berdiri dengan wajah cemas, Lea menurunkan pandangannya, menyesali keterlambatannya. "Maaf, Kak," katanya pelan, mencoba mencari alasan.
Lia menatap Lea dengan tatapan yang sulit dipahami. Ada campuran rasa marah, khawatir, dan cemas di matanya. "Kamu tahu nggak, sudah berapa lama aku menunggu di sini? Kenapa kamu nggak memberitahu aku kalau akan pulang terlambat?" suara Lia bergetar, tapi ia berusaha tetap sabar.
"Aku tadi menolong seseorang, Kak. Aku mengejar maling," ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Lia terkejut, suaranya meninggi. "Apa?!" Teriaknya, hampir tidak percaya dengan apa yang didengar. Lea sedikit terkesiap, tetapi tetap diam. Dia sangat takut menghadapi amarah Lia.
"Ceroboh sekali! Kenapa harus pusing-pusing menolong orang sih, Lea? Urusi saja hidupmu!" kata Lia dengan nada ketus, wajahnya penuh kesal.
Lea hanya diam, tak membalas sedikit pun. Matanya tertunduk, tak berani menyanggah.
Lia menatap keresek di tangan Lea dengan tatapan tajam. "Dan itu apa?" tanyanya dengan suara yang lebih rendah, tapi tetap penuh tanda tanya.
Lea membuka keresek itu perlahan, mengeluarkan martabak dari dalamnya. "Ini martabak kesukaan Kakak," jawabnya pelan, hampir seperti berbisik.
Lia terkejut, tak tahu harus berkata apa. "Kau menyogokku?" ucapnya dengan nada tak percaya.
Lea cepat-cepat membantah, "Bukan begitu, Kak. Aku hanya ingat saja kepada mu. Ini aku beli dengan uang gajiku sendiri," katanya dengan penuh ketulusan.
Lia terdiam sejenak, sedikit terharu dengan perhatian adiknya. Namun, dia berusaha menutupi perasaan itu. "Yaudah, kita makan bareng saja," ucap Lia dengan nada yang sedikit jutek, seperti biasa.
"Enggak, Kak. Kakak makan saja sendirian, itu martabak kesukaanmu kan?" ucap Lea tulus, sedikit ragu.
Lia melirik Lea sebentar, lalu dengan nada yang lebih lembut berkata, "Ayok, cepat kita makan di sini saja. Di luar, ayok duduk." Lia menepuk bangku kosong di sebelahnya, memberi isyarat agar Lea ikut duduk.
Lea tersenyum, senang melihat sikap Lia yang sedikit lebih terbuka. Ia kemudian duduk di sebelah kakaknya dan mengambil sepotong martabak. Mereka menikmati makanan itu bersama, sambil menatap bintang-bintang yang menghiasi langit malam.
"Kenapa kamu nggak angkat teleponku tadi?" tanya Lia sambil terus menyuap martabak.
Lea menoleh, ragu sejenak, lalu dengan canggung berkata, "Ponselku rusak, Kak," ucap nya sambil tersenyum kecil.
Lia mengerutkan dahi, tampak bingung. "Kenapa?" tanyanya lagi, sedikit curiga.
Lea ingin menjelaskan, tapi Lia langsung menyela, "Hey, sebelum kamu menjelaskan, telan dulu martabakmu." Lia mengingatkan dengan nada yang agak tegas.
Lea mengangguk patuh, "Baiklah, Kak," jawabnya sambil mengunyah dan menelan martabak yang ada di mulutnya, lalu baru melanjutkan penjelasannya.
"Apa?!" teriak nya lagi, kaget. Dan lagi lagi Lea terkesiap mendengar suara kakaknya, namun dia tak berani menyela. Tangan nya yang memegang sepotong martabak terlihat bergetar.
"Kamu melempar tasmu ke maling itu dan membiarkan ponselmu rusak?" tanya Lia, memastikan dengan nada serius.
Lea hanya mengangguk pelan, tak berani menjawab lebih banyak.
"Apakah orang itu akan menggantinya?" tanya Lia, penasaran.
"Iya, Kak. Tapi aku menolaknya," jawab Lea dengan tegas, meskipun suaranya pelan.
Lia menatap Lea dengan tatapan marah. "Bodoh sekali, Lea! Kamu ini, terima saja, kenapa sih? Jangan jual mahal! Kita orang susah, lalu bagaimana kamu akan membeli ponsel baru lagi? Jangan pernah pinjam uang padaku, aku nggak punya!" ucap Lia dengan kesal, merasa frustasi dengan keputusan adiknya.
"Aku tidak akan meminjam uang darimu, Kak. Tenang saja," jawab Lea lirih, pelan.
Lia menghela napas panjang, menatap Lea dengan tatapan tak sabar. "Uang gajimu sedikit, Lea. Sudahlah, ikut kerja dengan aku saja. Aku juga nggak yakin orang seceroboh kamu bisa mengajar murid," ucap Lia dengan nada pesimis.
Lea menatap kakaknya, lalu menjawab dengan tegas, "Tidak mau, Kak. Aku suka pekerjaan ini. Jadi guru TK itu seru," katanya, berusaha menjelaskan.
Lia memandang adiknya dengan rasa iba, namun tetap tak bisa menahan sindiran. "Sudahlah, terserah. Kalau kakakmu ini kaya raya nanti, aku akan membelikanmu lima ponsel sekaligus. Biar nanti kamu bisa membantu banyak orang kalau ada yang kemalingan," ucap Lia, menyindir dengan nada cemas dan kesal.
--
Pagi itu, saat Lea bangun tidur, dia mendapati sang kakak sedang menangis tersedu-sedu. Ini adalah pertama kalinya Lea melihat kakaknya, yang biasanya pemarah dan tegas, menjadi serapuh ini.
Lea berjalan perlahan menghampiri kakaknya. Dengan hati-hati, dia mengelus punggung Lia dengan lembut, berusaha memberi kenyamanan.
"Ada apa, Kak?" tanya Lea, merasa ikut sedih melihat kakaknya menangis begitu.
"Sialan itu, Si Anton! Dia menjual motorku!" Lia terisak, suaranya dipenuhi rasa marah dan kesedihan.
Lea terkejut, matanya membulat. "Apa, Kak? Motor Kakak yang baru lunas nyicil nya?" tanyanya dengan nada cemas.
Lia mengangguk pelan, sambil menghapus air mata yang terus mengalir dari matanya.
"Kenapa Ayah setega itu?" lirih Lea, dengan tatapan iba kepada sang kakak.
Lia menatap adiknya dengan mata penuh kemarahan. "Dia bukan ayah kita, Lea. Dia iblis," ucap Lia dengan suara pelan, namun tegas, sambil mengepalkan tangannya dengan kuat, menunjukkan betapa marah dan kecewanya dia.
"Pasti dia sudah menjual motorku. Baru saja minggu kemarin motor itu lunas," ucap Lia, suaranya penuh kekesalan, sambil menunjukkan sisi rapuhnya kepada adiknya.
Lia meringis, membayangkan motor itu dijual dan uangnya dipakai untuk berjudi. Ekspresinya berubah muram, seolah membayangkan betapa sia-sianya semua itu. "Dia pasti pakai uang itu untuk judi," lirih Lia, penuh kebencian dan kesedihan.
Lea benar-benar terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Namun, dia merasa tidak bisa melakukan apapun. Anton, ayahnya, ternyata begitu jahat bahkan rela mencuri dan menjual motor milik Lia, putrinya sendiri, yang sudah susah payah menyicilnya selama tiga tahun lamanya.