Lingga Sari tercipta sebagai makluk dalam dua wujud, bisa menjelma menjadi perempuan yang cantik jelita namun juga dalam wujud kera putih yang besar.
Lingga Sari jatuh hati pada Wanandi, pemuda desa manusia biasa, cinta terbalas, kebahagiaan mereka lengkap dengan hadirnya sang buah hati..
Akan tetapi kebahagiaan itu sirna saat Wanandi mulai tidak kerasan tinggal di kerajaan alam astral.
Kehancuran Lingga Sari semakin parah di saat dia dijadikan abdi oleh dukun sakti..
Suatu ketika Lingga Sari berhasil lepas dari dukun sakti dia lari sembunyi di hutan yang lebat dan bertemu dengan seseorang di hutan lebat itu, siapa dia akan mencelakakan atau membantu Lingga Sari?
Bagaimana perjuangan Lingga Sari untuk meraih lagi kebahagiaan nya, apakah dia bisa bersatu lagi dengan suami dan buah hatinya di alam astral atau di alam nyata????
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6.
Sebuah tamparan mengenai tangan Mona, Mona pun cepat cepat menarik tangannya..
“Hah anak sialan!” teriak Mona sambil mengusap usap tangannya yang terasa sangat panas dan sakit. Windy melindungi Ibu nya dengan menampar tangan Mona yang akan menarik selendang yang digunakan untuk kerudung Sang Ibu.
Lingga Sari terus melangkah di belakang orang orang yang menggotong jenazah.. orang orang pun terus melangkah hanya satu dua orang yang mengurusi Mona.. Mona tidak ikut ke makam tampak masih mengusap usap dan mengurut urut tangannya yang di tampar oleh Windy sambil mulutnya terus mengumpat..
“Dasar anak jin siluman kuat banget sih tenaga nya sakit nya parah banget ini tanganku..”
Sedangkan penggotong jenazah dan para pengantar terus melangkah menuju ke makam. Lingga Sari dan Windy terdengar masih sesekali terisak isak menangis apalagi jika ingat Ayah Windi juga sudah dimakamkan..
“Yang sabar ya Kakak Lingga Sari ...” ucap kerabat Wanandi yang berjalan di samping Lingga Sari..
“Apa Kakak Wanandi pernah mengeluh sakit?” tanya Lingga Sari sambil terus melangkah sambil menggendong tubuh mungil Windy.
“Tidak pernah bahkan dia sangat bersemangat bekerja apalagi jika hari Jumat saat bertemu aku di masjid dia selalu penuh semangat bercerita tentang Windy yang sangat pintar. Katanya dia selalu tidak sabar untuk menunggu hari sabtu hari yang ditunggu tunggu untuk bertemu dengan Windy ..”
“Apa ya yang menyebabkan Kakak Wanandi meninggal..” Gumam Lingga Sari..
“Tidak tahu Kakak, di sini jauh dari puskesmas orang sakit Cuma diurut dan minum ramuan ramuan.. Ina Wanandi kemarin tidak mau diurut dan tidak mau memasukkan apa pun ke dalam mulut nya, padahal tubuh nya sudah sangat lemas. “ ucap pemuda kerabat Wanandi.. Desa tempat tinggal Wanandi memang di atas gunung untuk ke puskesmas harus turun berpuluh puluh kilo meter. Petugas puskesmas memberi layanan ke desa itu satu minggu sekali itu pun di balai desa yang juga agak jauh dari rumah Ina Wanandi.
Tidak lama kemudian mereka semua sudah sampai di tempat pemakaman umum yang ada di desa luh sari itu, tempat agak jauh dari pemukiman penduduk.
“Nenek... huuuaaa... Ayah... huuuaaa... huuuaaa...” tangis Windy pecah lagi saat mereka sudah melangkah di antara kuburan kuburan dan menuju ke satu liang lahat yang sudah disiapkan untuk mengubur jenazah Nenek.
“Ayahhhhh huuuaaa... huuuuaaa....huuuaaaa...” tangis Windy saat melihat sebuah kuburan baru di samping liang lahat yang akan dipakai untuk mengubur Nenek ..
“Ayah huuu huu... huu...” Lingga Sari pun menangis tersedu-sedu dan melangkah lebih cepat sambil menggendong tubuh mungil Windy yang terus menangis histeris.
Lingga Sari duduk di samping makam sang suami sambil terus menangis tersedu sedu.. Windy pun ikut duduk di samping Sang Ibu tangan mungilnya mengkais kais tanah kubur itu bagai ingin membuka tanah kubur Ayah nya untuk melihat Ayah yang ada di dalam nya..
“Ibu.. ambil Ayah bangunkan Ayah Ibu .. obati Ayah.. sembuh kan Ayah Ibu... huuaaa... huuuaaaa.. huuaaaa... “ suara Windy tangannya masih terus mengorek orek tanah kubur itu..
Orang orang yang melihat Windy tampak ikut sedih dan terisak isak menangis..
“Windy... kita akan mengubur Nenek.” Ucap pemuda kerabat Wanandi sambil mengangkat tubuh mungil Windy dan menggendong nya..
“Nenek... huuuaaa... Ayah... huuuaaa... Paman ... aku sudah tidak punya Nenek dan Ayah.. paman.. huuuaaa huuuaaa...huuuaaa.. “
“Windy.. masih ada Ibu, paman dan Allah.. kata Ayah kamu, Windy anak yang pintar dan sudah mengenal Allah.. Allah tempat berlindung kita yang selalu ada bersama kita selama nya .. Mari kita sekarang berdoa agar Nenek dan Ayah diterima di sisi Allah di rumah yang abadi di surga. “ ucap pemuda kerabat Wanandi yang masih menggendong Windy.. sambil mengusap air mata di wajah Windy. Windy pun mengerti lantas tidak lagi menangis histeris dia hanya terisak isak sambil ikut berdoa..
Setelah pemakaman Nenek selesai orang orang pulang ke rumah. Lingga Sari dan Windy masih tinggal di tempat pemakaman kedua nya duduk bersimpuh di tanah di antara makam Nenek dan Ayah..
“Windy ayo kita sekarang ke rumah Ayah.. kamu harus makan Nak..” ucap Lingga Sari sambil membelai wajah Windy yang masih basah oleh air mata.. dihapus nya dengan lembut air mata yang ada di kedua pipi mulus Windy.
“Ibu.. bangunkan Ayah.. buka kuburan ayah aku ingin melihat Ayah .. Ibu.. “ suara imut Windy penuh permohonan..
“Iya nanti Sayang Ibu cari tahu dulu penyebab Ayah meninggal “ ucap Lingga Sari lagi..
“Kita tanya Sang Ratu, Ibu mungkin Sang Ratu tahu..” suara imut Windy lagi..
“Sang Ratu mungkin tahu tapi tidak mau memberi tahu, tadi kan dia berkata agar Ibu tinggal di sini sampai masalah selesai.. ayo kita sekarang ke rumah Ayah mungkin masih ada petunjuk di sana.” ucap Lingga Sari sambil bangkit berdiri lalu menggendong Windy..
Lingga Sari mengedarkan pandangan matanya pada lokasi tempat pemakaman itu, sudah benar benar sepi tidak ada orang.. Sesaat kemudian..
CLING
Wujud Lingga Sari yang masih menggendong tubuh mungil Windy, sudah menjadi monyet putih besar yang tidak bisa dilihat oleh orang orang kecuali orang orang tertentu yang memiliki indera ke enam atau mata ke tiga..
Dalam sekejap Lingga Sari sudah berada di tempat yang tidak jauh dari rumah Nenek. Di tempat yang sepi yang tidak ada orang ..
CLING
Sosok Lingga Sari sudah kembali menjadi perempuan cantik..
“Ibu aku bisa jalan sendiri sudah dekat rumah Ayah..” suara imut Windy. Lingga Sari pun menurunkan tubuh mungil Windy. Windy kini melangkah biasa biasa saja tidak lagi berlari karena sudah tidak ada lagi orang yang ingin segera ia temui..
Sesaat mereka berdua sudah sampai di rumah Nenek, tampak be berapa orang sedang makan dan ada yang sedang beres beres membersihkan rumah dan halaman..
“Kakak makanlah bersama Windy ambil di belakang. “ ucap pemuda kerabat Wanandi yang sedang duduk makan.
“Iya Paman..” ucap Lingga Sari dan masuk ke belakang bersama Windy..
Saat di belakang Lingga Sari melihat dua keranjang buah.. Hatinya kembali sedih teringat akan kematian suaminya yang sangat dia cinta..
Lingga Sari berjalan menuju ke keranjang buah itu, ada buah pisang, jeruk, mangga, nanas, belimbing, pepaya, manggis, durian ..
“Ibu aku makan buah saja, Ayah pasti suka kalau aku makan buah yang sudah disiapkan untuk kita..” suara imut Windy dan tangan mungilnya mengambil satu buah pisang.
“Iya sayang..” ucap Lingga Sari. Sesaat perhatian Lingga Sari kini tertuju pada sebuah kendi tempat bekal minum milik suami nya..
Tangan Lingga Sari meraih kendi yang juga ada di dalam keranjang itu. Dia buka pelan pelan tutup kendi itu dan dia cium aroma air di dalam kendi dengan seksama.. sesaat mata Lingga Sari melotot..
“Racun..” gumam Lingga Sari di dalam hati..
Lingga Sari langsung menoleh ke arah Windy yang sedang menggigit pisang..
“Sayang jangan dimakan, jangan ditelan dulu, sini Ibu lihat..” ucap Lingga Sari sambil meraih pisang di tangan Windy..