Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB - Ada Yang Salah
“Lain kali tinggallah lebih lama. Jangan pekerjaan saja yang kau pikirkan,” ujar Mama pada Kaisar. “Mamak pun bisa kasih kamu uang, kalau tujuan kerja hanya uang.”
Pernyataan kali ini cukup menusuk. Kaisar menyadari kalau ia jarang meluangkan waktu bersama wanita yang sudah melahirkannya. Rumi sudah diminta menunggu di kamar, Kaisar sengaja bicara berdua menyampaikan kalau mereka akan pergi lagi besok.
“Makanya ikut aku ke Jakarta," pinta Kaisar dengan nada merajuk.
“Lalu siapa yang urus semua ini, banyak perut yang bersandar pada usaha kita.”
“Mak, perusahaan yang dipegang Om Johan, lebih banyak lagi yang harus kami tanggung. Ribuan keluarga bersandar pada perusahaan, bahkan cabangnya sudah tersebar di banyak kota.”
Wanita paruh baya itu hanya menarik nafasnya. Rumi berada di balik pintu kamar mendengar percakapan suami dan ibu mertuanya. Tidak ingin bergabung karena khawatir membuat canggung. Ibu dan anak itu tidak bisa dikatakan egois, sama-sama memiliki tujuan yang jelas.
“Posisiku bisa digantikan dengan siapa saja, aku sudah pernah usul untuk resign. Ibu Mihika menolak, begitupun dengan Om Johan. Mereka bilang kalau penggantiku tidak cakap, penjualan merosot dan pengaruh pada siklus keuangan pengaruhnya bisa macam-macam.”
“Aku tahu, aku paham. Sekarang kau punya istri, perhatikan dia. Jangan sampai dia kesepian karena kesibukan suaminya.”
Kaisar menghampiri mamak lalu memeluk erat dan mengusap pelan punggungnya. “Seharusnya mamak melahirkan banyak anak, biar tidak kesepian di masa tua.”
“Dasar anak kurang ajar.” Mamak mengurai pelukannya dan memukuli lengan Kaisar berkali-kali. “Kamu pikir bikin anak macam bikin kue bolu.”
“Aish, sakit mak. Jangan lakukan itu di depan Rumi, bisa malu anjlok wibawaku.”
Rumi tertawa sambil menutup mulut agar tidak bersuara. Kaisar masih mendapatkan ceramah dari ibunya. Hanya Kaisar satu-satunya anak kandung, tapi mamaknya memiliki beberapa anak angkat.
“Nanti aku bicara pada adikmu, sebagian toko sudah dikelola mereka. Mamak hanya mengawasi sawah dan ladang. Kapan-kapan mamak ke Jakarta.”
“Dua minggu lagi aku pesta, tinggallah lebih lama.”
“Tidak bisa, bulan ini musim panen. Mamak hanya bisa tinggal beberapa hari. Lain kali mungkin bisa lebih lama.”
“Hm, aku tunggu.”
“Apa kau masih tinggal di rumah tinggi?”
Kaisar berdecak mendengar pertanyaan barusan. “Apartemen mak, apartemen. Mana ada rumah tinggi.”
“Cari rumah tinggal yang normal, kasihan Rumi kalau dia hamil dan punya anak. Ada apa-apa susah.”
“Ah benar juga, aku belum pikirkan itu. Untung kita bahas masalah ini,” cetus Kaisar. “Ya sudah mamak tidur, sudah malam.”
“Kau juga, kasihan Rumi sendirian.”
“Aku yang kasihan Mak. Belum berhasil cetak gol,” keluh Kaisar dengan wajah sendu.
“Ya ampun anak ini, kalau mamak jadi Rumi pun akan lakukan yang sama. Mana mungkin siap digag4hi kalau menikah mendadak macam goreng tahu bulat. Sana temui istrimu, buat dia jatuh cinta dan termeh3k-meh3k.”
“Anak dan ibu sama saja,” gumam Rumi lalu bergegas menuju ranjang dan pura-pura tidur.
***
“Kami pamit, ibu … eh mamak. Jaga kesehatan, kami tunggu di Jakarta,” tutur Rumi sambil menggenggam tangan ibu mertuanya.
“Iya, mamak pasti datang. Bawa orang sekampung. Kalian siapkan tempat untuk kami, aula pun tak masalah.”
“Putramu Kaisar Sadhana, mana mungkin kasih kalian aula untuk menginap. Ada-ada saja,” gerutu Kaisar lalu memeluk mamak dan Rumi sekaligus. “Aku cinta kalian.”
“Uda, ayo!” teriak salah satu adik angkat Kaisar yang sudah siap mengantar pasangan itu ke bandara.
“Sudah-sudah, berangkatlah. Lama-lama aku bisa banjir air mata. Rumi kamu yang sabar dengan Kaisar. Meski dia menyebalkan, tapi wajahnya paling tampan di kampung ini. Kalau sudah cinta dia akan bucin, sama sepertinya papanya.”
“Benarkah?” tanya Rumi sambil melirik Kaisar lalu tersenyum.
Dalam perjalanan Rumi kembali resah. Kalau sebelumnya khawatir apa ia diterima oleh sang mertua, kali ini lebih kepada ragu. Rumi ragu untuk menemui paman dan bibinya, meski pasangan itulah yang menampung dan membesarkan sejak ditinggal kedua orangtuanya. Bukan menyesali pengkhianatan Mela, tapi kejadian tersebut menjadi akumulasi kekecewaannya selama ini.
“Tenang saja, ada aku.” Kaisar menggenggam tangan Rumi dan merem4snya pelan. “Jangan lagi menghadapi masalah sendirian, bersandar padaku.”
Rumi tersenyum dan mengangguk bahkan ia menyandarkan kepalanya pada bahu Kaisar.
Kita buat mereka terkejut, tapi pelan-pelan, batin Kaisar dengan senyum sinis.
***
Tiba di Surabaya sudah sore, kalaupun mereka paksakan langsung ke tujuan mungkin akan tiba malam. Sedangkan Rumi tidak ingin Kaisar bermalam di rumah itu, tidak akan membuat nyaman. Akhirnya mereka menginap di hotel yang berada di pusat kota Surabaya.
Esok pagi setelah sarapan, Kaisar menyewa mobil untuk menuju tempat tinggal keluarga Rumi. Rumi tidak banyak tanya, ketika Kaisar hanya menyewa mobil biasa bahkan lebih sederhana dari mobil pribadi Medi.
Sempat berdebat perihal siapa yang mengemudi, meski Kaisar memaksa dia yang akan menggerakan mobil itu sampai tujuan dengan selamat.
“Kita pakai GPS, kamu bisa arahkan kalau mendadak kita tersasar.”
“Tapi ….”
“Tenang saja, kita pasti sampai. Memang aku tidak tahu medan, tapi ada teknologi yang bisa kita percaya.”
Setengah sebelas siang, akhirnya mobil memasuki pekarangan kediaman Paman Rumi. Kebetulan sang Bibi sedang berada di beranda.
“Rumi,” ucapnya saat melihat Rumi keluar dari mobil.
Kaisar yang lebih dulu turun, lalu merangkul bahu istrinya menghampiri wanita yang masih berdiri terpaku menatap mereka.
“Apa kabar Bi?” tanya Rumi lalu menyapa berbasa basi.
Pasangan itu terkejut dengan kedatangan Rumi dengan seorang pria. Penampilan Rumi berbeda, itu yang diakui oleh bibinya meski hanya lewat tatapan.
“Dia siapa?” tanya paman.
“Ah iya, jadi aku ke sini untuk mengenalkan dia,” jelas Rumi. “Dia suamiku, kami sudah menikah.”
“Suamimu?” tanya Paman dan Bibi serempak.
“Betul, saya Kai. Suami Rumi.” Kaisar memperkenalkan diri dan menjelaskan pernikahan mereka meski tidak disampaikan secara gamblang.
“Jadi kalian tinggal di Jakarta?” tanya Paman dan dijawab oleh Kaisar.
“Kantor pusat Iniland Property?” tanya Bibi.
“Iya.” Kaisar menjawab dengan yakin bahkan sambil tersenyum.
“Menantu kami bekerja di sana. Jabatannya manager, sebentar lagi akan naik jadi direktur. Bahkan mereka akan mengadakan resepsi pernikahan sangat mewah. Kamu pasti kenal, namanya Ardi.”
“Bik,” tegur Rumi.
“Ardi, sepertinya saya tahu," sahut Kaisar.
“Baik-baik dengannya, mana tahu kamu bisa direkomendasikan naik gaji. Jaman sekarang kerja tidak hanya modal tampang,” seru Bibi dan Kaisar terkekeh lalu mengangguk setuju dengan ucapan wanita itu.
“Rumi, kamu sudah bersuami baiknya lupakan masa lalu dan fokus saja dengan rumah tanggamu dengan dia. Jangan ganggu Mela dan Ardi.”
“Bu,” tegur Paman.
“Aku belum selesai,” sentak Bibi. “Kemarin Mela telpon kalau kamu mendatangi Ardi, untuk apa?” tanya Bibi sambil menunjuk wajah Rumi
“Bu,” tegur Paman lagi. Dia merasa ada yang salah meski tidak tahu apa dan istrinya tidak bisa mengontrol apa yang diucapkan.
“Rumi ke kantor untuk menemui saya. Benar ‘kan sayang?”
“Hm,” jawab Rumi lalu saling tatap dan tersenyum.
“Kedatangan kami untuk mengundang kalian. Kami akan mengadakan syukuran atas pernikahan kami, hanya acara keluarga. Semoga kalian hadir mewakili keluarga Rumi.” Kaisar menjelaskan sambil merendah.
“Kalau syukuran adakan saja di sini, kenapa juga kami harus datang ke Jakarta. Buang waktu dan biaya.”
“Bu, diamlah!”
“Masalah itu kalian tidak usah khawatir, kami akan siapkan tiket untuk berangkat dan pulang juga tempat menginap," cetus Rumi yang merasa tidak enak dengan suaminya karena ucapan bibi.
“Tidak usah, dari mana uangnya. Nanti kamu malah menagih pada Ardi. Kami bisa tinggal di tempat suaminya Mela, apartemen mewah.”
“Terserah kalian, yang jelas kami akan siapkan semua akomodasi. Aku tidak pernah memohon sebelumnya, tapi pastikan kali ini kalian datang untuk menghargai keluarga suamiku,” tutur Rumi. “Kami pamit, masih ada tempat yang harus didatangi.” Rumi sudah berdiri, Kaisar pun ikut berdiri begitu pula dengan Paman dan Bibi.
“Tenang saja, Paman akan datang.”
Pasangan itu masih menatap mobil yang perlahan meninggalkan pekarangan rumah.
“Sombongnya, bahkan aku belum sempat buatkan minum.”
“Mana ingat buatkan minum, bibirmu sibuk bicara tidak jelas. Semoga saja mereka tidak tersinggung, aku merasa ada yang salah.”
“Tersinggung apanya? Lihat saja mobil yang mereka gunakan, butut. Masih jauh Ardi kemana-mana.”
Paman Rumi hanya menghela pelan, mengabaikan istrinya yang masih mengoceh tidak jelas.
ini mau melahirkan tapi si papa masih aja kocak...