Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 KASTIL LEMORIA
Zen berdiri di depan pintu besar kastil yang kini menjulang di hadapannya. Ukirannya memancarkan cahaya lembut keemasan, dengan pola-pola rumit yang tampak seperti menceritakan sejarah dunia ini. Aura magis yang keluar dari kastil begitu kuat hingga membuat semua yang hadir merasakan aliran energi yang luar biasa.
Saat ia memegang pintu tersebut, semua mata tertuju padanya. Para penghuni Lumoria menyaksikan dengan takjub, melihat sosok pemimpin baru mereka yang berdiri dengan wibawa yang terpancar dari dirinya. Selvina berdiri di sampingnya, dengan lembut menggenggam tangannya, memberikan dukungan.
“Tak perlu khawatir,” bisiknya dengan penuh kasih sayang. “Aku ada di sisimu.”
Zen menoleh, melihat Selvina yang tersenyum hangat. Rasa gelisah yang tadi sempat menyelimuti dirinya perlahan memudar. Ia mengangguk dan membalas senyum itu. "Terima kasih, Selvina."
Dengan tarikan napas panjang, Zen mendorong pintu kastil itu perlahan. Pintu tersebut berderit lembut, dan seketika, cahaya keemasan yang hangat memancar keluar, menyelimuti mereka yang ada di dekatnya. Ruangan besar yang megah terbuka di depan mata mereka.
Zen melangkah masuk, diikuti oleh Selvina dan Eryon. Ruangan utama kastil itu sangat luas, dengan dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan magis, menggambarkan sejarah dunia sejak awal penciptaannya hingga kehancuran dunia lamanya. Lantai kastil terbuat dari kristal biru yang memantulkan langkah mereka, memberikan sensasi seperti berjalan di atas air.
Di ujung ruangan, berdiri sebuah singgasana megah yang tampak seperti puncak dari seluruh keajaiban di kastil ini. Singgasana itu bersinar dengan warna emas dan perak, dihiasi permata yang memancarkan cahaya lembut. Di atasnya, terdapat ukiran simbol kuno—sebuah simbol yang tidak dikenali Zen, namun terasa akrab baginya.
“Singgasana itu adalah tempatmu, Zen,” kata Eryon, suaranya penuh kebanggaan. “Tempat bagi pemimpin dunia ini untuk memulai era baru.”
Zen melangkah perlahan ke arah singgasana itu, merasa campuran emosi yang tak ia pahami. Ada rasa bangga, namun juga tanggung jawab yang begitu besar. Selvina, yang tetap di sampingnya, menggenggam tangannya erat, memberikan dukungan tanpa kata.
Ketika Zen mendekati singgasana, ia merasakan aliran energi yang semakin kuat mengalir ke seluruh tubuhnya. Seperti ada sesuatu dalam kastil ini yang terhubung langsung dengan dirinya. Perlahan, ia duduk di singgasana tersebut, dan seketika seluruh kastil bergemuruh pelan.
Eryon mengangkat tangannya ke udara dan mengumumkan dengan lantang, "Pemimpin sejati kita telah kembali! Dunia akan memulai babak baru di bawah kepemimpinannya!"
Sorakan dari para penghuni Lumoria bergema di seluruh ruangan, menggema hingga ke langit. Namun, di luar kastil, sesuatu yang lain sedang terjadi. Di seluruh penjuru negeri Kaveri, ras lain mulai merasakan kehadiran energi yang asing.
“Zen,” Selvina memanggil lembut, membuyarkan pikirannya. “Apa yang kau rasakan?”
Zen menatap Selvina sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke ruangan megah itu. “Aku tidak tahu, Selvina. Ini semua terasa begitu nyata, tetapi juga berat. Aku merasa… ini bukan hanya tentang aku. Dunia ini telah mempercayakanku sesuatu yang besar.”
Selvina tersenyum. “Apa pun itu, kau tidak sendiri. Kami semua ada di sisimu.”
Ruangan megah kastil itu dipenuhi keheningan setelah perayaan kecil yang terjadi sebelumnya. Eryon, dengan sikap penuh wibawa namun santai, berdiri di samping Zen yang masih duduk di singgasana. Ia memandang Zen dan Selvina yang berdiri berdekatan, senyum tipis muncul di wajahnya.
"Zen," katanya dengan nada serius namun bersahabat. "Sepertinya ini akan menjadi awal yang baik. Kau pemimpin dunia ini sekarang, dan tentu, setiap pemimpin membutuhkan pendamping. Selvina," lanjut Eryon, menatap wanita muda itu, "apakah kau bersedia menjadi ratu Lumoria?"
Perkataan Eryon membuat semua orang di ruangan itu terkejut, termasuk Selvina. Ia terdiam sejenak, wajahnya memerah dan matanya melirik ke arah Zen dengan ragu. Bibirnya bergerak, namun suara tidak keluar. Akhirnya, ia hanya menundukkan kepala, malu dan bingung dengan pertanyaan mendadak itu.
Zen, yang mendengar ucapan tersebut, seolah terpaku. Tangannya tanpa sadar menyentuh cincin kecil yang menggantung di rantai di lehernya—cincin yang pernah ia berikan pada Lyra, kekasih yang telah ia kehilangan. Matanya melamun, memandang cincin itu, seakan mengingat kembali kenangan pahit yang ia simpan dalam hatinya.
Melihat Zen yang terdiam dan memegang cincin itu, Selvina menyadari sesuatu. Wajahnya yang semula tersipu malu kini berubah menjadi sedih. Ia menyadari bahwa Zen masih terikat pada masa lalunya—pada Lyra yang begitu berarti baginya. Rasa bersalah menyelimuti Selvina. Ia merasa dirinya egois, terlalu memikirkan perasaannya sendiri tanpa mempedulikan luka Zen yang belum sembuh sepenuhnya.
Perlahan, Selvina melangkah mendekat. Dengan lembut, ia memegang tangan Zen yang masih memegang cincin itu. “Zen…” bisiknya, suaranya penuh pengertian. Zen mengangkat pandangannya, menatap Selvina.
“Aku tahu kau masih merindukan Lyra,” lanjut Selvina dengan lembut. “Aku tidak akan memaksamu untuk melupakan kenangan itu. Aku hanya ingin kau tahu… aku ada di sini, untukmu. Semua akan baik-baik saja. Kau tidak perlu terburu-buru, Zen.”
Zen terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Kata-kata Selvina begitu tulus, seperti balsem yang menenangkan luka hatinya. Perlahan, ia menggenggam tangan Selvina, menatapnya dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Selvina. Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku menghargai itu.”
Eryon yang menyaksikan momen itu dari kejauhan tersenyum. Ia paham bahwa jalan Zen untuk melangkah maju tidaklah mudah. “Baiklah,” katanya memecah keheningan. “Aku tahu ini semua terjadi terlalu cepat. Selvina, jangan terbebani dengan pertanyaanku tadi. Itu hanya… sebuah ide. Apa pun keputusan kalian, kami tetap akan mendukung.”
Selvina hanya mengangguk perlahan, sementara Zen tersenyum tipis ke arah Eryon. “Terima kasih, Eryon,” katanya pelan.
Setelah suasana kembali tenang, semua penghuni kastil kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Zen dan Selvina, yang baru saja mengalami momen emosional, memutuskan untuk pindah ke kastil megah yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Sementara itu, Eryon menghampiri Zen sekali lagi, bertanya dengan senyum ramah, “Zen, apakah kau ingin melanjutkan pelajaran sihir sekarang, atau esok hari saja?”
Zen, yang masih merasa kelelahan namun penuh rasa ingin tahu, menjawab dengan santai, “Aku rasa aku akan melanjutkannya esok hari saja, Eryon. Malam ini, aku ingin menjelajahi perpustakaan dan membaca beberapa buku yang bisa membantuku memahami lebih banyak tentang dunia ini.”
Eryon mengangguk setuju. “Baiklah. Jangan ragu untuk memanggilku jika kau membutuhkan bantuan.” Setelah itu, ia meninggalkan mereka dengan langkah ringan.
Selvina, yang masih sedikit tersipu karena kejadian sebelumnya, mengajak Zen menuju perpustakaan. “Ayo, Zen. Kau bilang ingin melihat perpustakaan, kan? Aku rasa kau akan menyukainya.”
Zen tersenyum dan mengangguk. Bersama-sama, mereka menuju ke tempat yang Selvina sebut sebagai pusat ilmu pengetahuan terbesar di dunia ini. Saat mereka tiba, Zen masih terpesona oleh kemegahan perpustakaan itu—rak-rak tinggi yang penuh dengan buku, gulungan naskah kuno, dan ornamen-ornamen magis yang mengambang di udara.
Di dalam perpustakaan, Zen tiba-tiba memiliki dorongan kuat untuk memahami asal-usul dunia ini. “Selvina,” katanya, “apakah ada buku yang menjelaskan sejarah awal mula dunia ini diciptakan?”
Selvina hendak menjawab, tetapi sebelum ia sempat bicara, sebuah buku besar tiba-tiba melayang dari salah satu rak tinggi dan perlahan mendekati mereka. Buku itu berhenti tepat di depan Zen, mengambang seolah-olah ia telah dipanggil oleh pikiran Zen sendiri. Selvina menatap dengan mata membelalak. “Wow… buku itu benar-benar meresponsmu, Zen!” katanya kagum.
Zen juga terpana, tetapi ia mencoba tetap tenang. Ia menyentuh buku itu dengan hati-hati dan mulai membukanya. Di dalamnya tertulis sejarah yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya:
“Sudah lebih dari 2000 tahun sejak dunia ini diciptakan. Asal-usulnya masih menjadi misteri, tetapi leluhur kita menyebutnya sebagai Elemen Akhir Kehidupan. Elemen ini, yang diyakini sebagai benih awal kehidupan, membawa eksistensi kepada dunia yang sekarang kita pijak. Namun, asal mula elemen ini tidak pernah diketahui. Ada yang percaya bahwa elemen itu merupakan ciptaan entitas ilahi, sedangkan yang lain berspekulasi bahwa ia adalah hasil dari kekuatan iblis atau kehendak alam semesta yang tidak dapat dipahami. Mahluk-mahluk yang pertama kali mendiami dunia ini sangatlah banyak, namun kini tidak ada satu pun dari mereka yang tersisa. Leluhur kita menyebut mereka sebagai NULL—entitas kosong yang keberadaannya lenyap tanpa jejak.”
Zen membaca kata-kata itu dengan seksama, berusaha memahami maknanya. Selvina, yang duduk di sampingnya, juga memperhatikan isi buku itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Elemen Akhir Kehidupan… NULL…” Selvina mengulangi kata-kata itu perlahan. “Jadi dunia ini pernah dipenuhi oleh makhluk-makhluk lain yang kini sudah tidak ada? Sangat aneh dan menyedihkan pada saat yang sama.”
Zen mengangguk, pikirannya dipenuhi pertanyaan. “Mungkin ini ada hubungannya dengan elemen yang menghancurkan dunia lamaku,” gumamnya.
“Bisa jadi,” Selvina menjawab. “Mungkin elemen yang kau hancurkan di dunia lamamu adalah bagian dari Elemen Akhir Kehidupan ini.”
Zen membaca halaman berikutnya dengan hati-hati. Tulisannya semakin menarik perhatian, seolah-olah buku itu berbicara langsung padanya:
"Telah dinubuatkan bahwa akan ada satu manusia yang muncul di antara kehampaan, seorang pemimpin yang ditakdirkan untuk membawa keseimbangan bagi dunia ini. Namun, tidak ada yang tahu kapan ia akan tiba atau bagaimana ia akan muncul. Hanya satu yang pasti: manusia ini adalah yang terakhir dari kaumnya."
"Karena itu, para leluhur Lumoria meninggalkan wasiat ini, yang akan diteruskan secara turun-temurun di antara para penghuni Lumoria. Wasiat ini mengajarkan kami untuk menghormati, melindungi, dan menerima sang manusia terakhir dengan layaknya seorang pemimpin agung. Sebab, kehadirannya akan menandai awal baru bagi dunia ini dan menjadi penjaga keberlangsungan kehidupan.”
Zen terdiam, merenungkan setiap kata yang baru saja ia baca. Pandangannya beralih kepada Selvina, yang duduk di sampingnya dengan raut wajah yang penuh rasa ingin tahu. “Jadi... semua ini memang sudah direncanakan?” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Selvina mengangguk pelan. “Mungkin itulah sebabnya kenapa Eryon dan seluruh Lumoria sangat menghormatimu. Mereka telah menunggu sosok seperti dirimu selama ribuan tahun. Kamu adalah bagian dari ramalan itu, Zen.”
Zen menarik napas dalam, mencoba mencerna semua ini. “Tapi kenapa aku? Aku hanya manusia biasa... Aku bahkan gagal melindungi dunia lamaku. Bagaimana aku bisa menjadi pemimpin bagi dunia ini?”
Selvina menggenggam tangan Zen, memberikan senyuman lembut. “Mungkin kamu merasa tidak layak sekarang, tetapi bukankah setiap pemimpin besar memulai perjalanan mereka dengan keraguan? Dunia ini tidak memilihmu secara kebetulan, Zen. Ada alasan di balik semuanya.”
Zen kembali memandang buku itu. Ia merasa seperti berat tanggung jawabnya bertambah, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang menguatkan hatinya. Kata-kata itu seolah menjadi panggilan—panggilan untuk menjadi seseorang yang lebih dari dirinya saat ini.
“Kalau begitu,” Zen berkata akhirnya, dengan nada suara yang lebih tegas, “Aku akan menerima tanggung jawab ini. Jika aku memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin, maka aku akan melakukannya. Bukan hanya untuk Lumoria, tetapi untuk seluruh dunia ini.”
Selvina tersenyum bangga. “Itulah semangat yang aku harapkan darimu, Zen.”
Zen membuka buku yang tampak lebih kuno dari yang lain. Judulnya tertulis dengan tinta emas yang sudah pudar: "Esensi dan Seni Sihir: Panduan Awal untuk Pengendali Mana." Di dalamnya, ia menemukan pengertian dasar tentang sihir dalam dunia Kaveri, yang berbeda jauh dari apa yang pernah ia bayangkan di dunia lamanya.
Pengertian Sihir di Dunia Kaveri:
Asal Usul Sihir:
Sihir bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang terpilih. Dalam dunia Kaveri, sihir adalah hasil dari mana, energi tak kasatmata yang mengalir melalui dunia ini seperti arus air di sungai. Mana berasal dari Elemen Kehidupan, kekuatan purba yang menjadi dasar terciptanya dunia. Semua ras di dunia ini memiliki kemampuan untuk mengakses mana, meskipun kemampuan itu berbeda-beda tergantung pada ras dan individu.
Jenis-Jenis Sihir:
Buku itu menjelaskan bahwa sihir terbagi menjadi beberapa jenis utama, berdasarkan elemen atau aspek alam yang diwakilinya:
Sihir Api: Berfokus pada kekuatan destruktif dan transformasi.
Sihir Air: Terkait dengan penyembuhan dan adaptasi.
Sihir Angin: Berkaitan dengan kecepatan, kelincahan, dan kendali jarak jauh.
Sihir Tanah: Memanipulasi kekuatan fisik dan pertahanan.
Sihir Cahaya: Digunakan untuk perlindungan dan penyucian.
Sihir Kegelapan: Berhubungan dengan ilusi, kendali pikiran, dan kekuatan tersembunyi.
Konsep Pengendalian Mana:
Setiap makhluk hidup memiliki mana core (inti mana) di dalam tubuh mereka, yang berfungsi sebagai sumber kekuatan sihir. Untuk menggunakan sihir, seseorang harus mampu memfokuskan pikirannya dan menarik mana dari inti tersebut, mengubahnya menjadi bentuk atau efek yang diinginkan.
Risiko dan Keterbatasan:
Namun, sihir tidak tanpa risiko. Menggunakan terlalu banyak mana dapat melemahkan tubuh, bahkan menyebabkan kematian dalam kasus ekstrim. Selain itu, jika seseorang kehilangan kendali atas sihirnya, efeknya bisa sangat merusak, baik bagi pengguna maupun lingkungan sekitarnya.
Filosofi Sihir:
Bagi penghuni Kaveri, sihir bukan hanya alat atau senjata, tetapi juga bagian dari keseimbangan dunia. Menggunakannya tanpa tujuan yang jelas atau dengan niat buruk dianggap sebagai penghinaan terhadap Elemen Kehidupan, yang bisa mendatangkan bencana besar.
Zen membaca penjelasan itu dengan penuh perhatian. Ia merasa takjub sekaligus khawatir. "Jadi sihir ini bukan hanya kekuatan, tapi juga tanggung jawab," pikirnya. Ia kemudian melihat daftar teknik-teknik dasar yang bisa dipelajari oleh pemula, seperti:
Meditasi Mana: Teknik untuk meningkatkan hubungan dengan inti mana.
Formasi Dasar: Mengubah mana menjadi bentuk energi sederhana.
Pemanggilan Elemen: Menghubungkan diri dengan salah satu elemen dan menggunakannya secara langsung.
Zen tahu bahwa jalan untuk mempelajari sihir ini akan panjang dan penuh tantangan, tetapi ia merasa siap untuk memulai perjalanan ini. Setelah selesai membaca beberapa halaman, ia memutuskan untuk membawa buku itu kembali ke kastil sebagai referensi lebih lanjut. "Aku harus memahami ini sepenuhnya," katanya pada dirinya sendiri.
Zen menyuruh Selvina untuk kembali ke kastil dan menyiapkan hidangan malam. Setelah Selvina pergi, Zen melanjutkan membaca buku-buku di perpustakaan dengan lebih fokus. Ia merasa masih banyak yang belum ia ketahui tentang dunia Kaveri dan segala misterinya. Dalam sunyi perpustakaan, pikirannya melayang memikirkan perannya sebagai pemimpin dan tantangan yang telah ia baca sebelumnya.
Selvina, sementara itu, kembali ke kastil dengan langkah ringan. Ia merasa senang bisa membantu Zen dan menyiapkan sesuatu untuknya. Sesampainya di kastil, Selvina langsung menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam. Ia memastikan semuanya sempurna, karena ia tahu Zen sedang menghadapi banyak hal yang menguras energi dan pikirannya.
Zen membaca dengan hati-hati tulisan pada kertas robek itu. Teksnya tampak tua, dengan tinta yang sedikit pudar, tetapi cukup jelas untuk dibaca:
"Dalam sejarah Kaveri, meskipun ras-ras telah hidup berdampingan selama ribuan tahun, tidak semua menerima kehadiran entitas asing. Setiap ras memiliki kebanggaan, tradisi, dan kepercayaannya sendiri, yang terkadang menimbulkan rasa curiga terhadap sesuatu yang berbeda. Kehadiran manusia terakhir, sosok yang diramalkan sebagai pemimpin, dapat menimbulkan konflik baru, terutama di antara ras-ras yang merasa terancam oleh perubahan ini."
Zen memikirkan kata-kata itu dan mengingat pembicaraan Eryon. Pemimpin Lumoria itu memang sudah menyebutkan sebelumnya bahwa beberapa ras tidak menganggap dirinya sebagai pahlawan, tetapi sosok yang disebut sebagai "NULL"—sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya dan mungkin dianggap sebagai ancaman bagi keseimbangan dunia.
Kertas itu melanjutkan:
"Ras Beast, misalnya, sangat menghargai kekuatan dan tradisi. Mereka memandang entitas asing, termasuk manusia, sebagai ancaman terhadap kebanggaan mereka. Ras High Druid, meskipun tidak sekeras Beast, sangat melindungi keseimbangan alam dan mungkin merasa keberadaan manusia yang membawa 'takdir baru' bisa mengganggu keharmonisan. Firlinione lebih netral, tetapi mereka hanya akan berinteraksi jika ada manfaat praktis yang bisa diperoleh. Lumoria, di sisi lain, memiliki keyakinan yang diwariskan tentang pentingnya manusia terakhir, meskipun keyakinan ini tidak selalu diterima dengan baik oleh ras lain."
Zen menutup matanya sejenak, memikirkan betapa rumitnya situasi ini. Ia merasa bahwa menjadi pemimpin bukanlah hanya soal memiliki kekuatan atau pengakuan, tetapi juga memahami dan mendamaikan perbedaan antara ras-ras ini.
"Akan ada masa ketika sang pemimpin manusia harus membuktikan dirinya bukan hanya kepada satu ras, tetapi kepada seluruh dunia Kaveri," tertulis di bagian akhir kertas itu.
Zen menyimpan robekan itu dengan hati-hati di kantong bajunya. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar informasi acak, tetapi sebuah peringatan dan tantangan yang harus ia hadapi. Dengan tekad baru, ia menutup buku yang sedang ia baca dan bersiap untuk kembali ke kastil. "Aku harus mencari cara untuk membangun kepercayaan dengan mereka semua," pikirnya.
Langkahnya terasa lebih berat saat ia keluar dari perpustakaan, tetapi pandangan mata Zen menunjukkan tekad yang baru. Dunia Kaveri menantinya dengan berbagai rintangan, dan ia harus siap untuk menghadapi semuanya, termasuk keraguan dan prasangka dari ras-ras lain.
Zen berjalan kembali menuju kastil dengan langkah mantap, membawa tumpukan buku yang baru saja ia pilih dari perpustakaan. Sambil melangkah, pikirannya perlahan-lahan mulai merenung tentang apa yang baru saja ia baca, serta kehangatan yang ia rasakan dari Selvina. Ia tahu, meskipun kenangan tentang Lyra masih kuat, dunia ini telah memberinya kesempatan baru untuk hidup dan bertumbuh.
Setibanya di kastil, ia melihat Selvina sudah menunggunya di ruang makan, dengan hidangan sederhana namun terlihat lezat yang telah disiapkan dengan sepenuh hati. "Kamu datang tepat waktu," kata Selvina dengan senyuman kecil. Zen hanya tersenyum tipis, menyadari betapa keberadaan Selvina telah memberikan arti baru dalam hidupnya.
Saat mereka makan bersama, Zen merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar rasa syukur atas makanan yang ia nikmati, tetapi juga rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sejak kehilangan Lyra. Ia tahu bahwa Selvina adalah bagian dari dunia barunya, seseorang yang memberinya alasan untuk terus maju.
Setelah makan malam, Zen memutuskan untuk berbicara dengan Selvina secara jujur. "Selvina," katanya, memecah keheningan. "Aku ingin memulai hidup baru di dunia ini, dan aku ingin membawa kenangan masa lalu sebagai pelajaran, bukan beban."
Selvina menatapnya dengan mata yang penuh harapan, meskipun terlihat sedikit gugup. "Zen, aku tidak akan memaksa apa pun darimu. Aku hanya ingin ada di sisimu, apa pun yang terjadi."
Zen mengangguk, merasakan kehangatan yang tulus dari kata-katanya. "Terima kasih, Selvina. Aku akan belajar untuk membuka hatiku lagi, untuk dunia ini... dan untukmu."
Perkataan itu membuat Selvina tersenyum hangat, dan malam itu menjadi awal dari keputusan Zen untuk hidup sepenuhnya di dunia baru ini. Bukan dengan melupakan masa lalunya, tetapi dengan menghormati kenangan tersebut, sambil membuka hatinya untuk kesempatan dan hubungan baru.
Bersambung!