Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nara Diserang Prajurit
Suasana di kedai kecil itu terasa lebih panas dari biasanya, meskipun matahari sedang tertutup awan. Di luar, debu jalanan bertiup pelan, tetapi di dalam kedai, ketegangan sudah mulai menyelimuti udara. Nara duduk di bangku panjang, mengamati orang-orang berbicara tentang Dewa Iblis.
BRAK!
Lelaki berpakaian jubah hitam mengkilap dengan lambang kerajaan yang jelas terlihat di dada dan berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih gelap.
“Aku tidak akan membayar! Anda tahu siapa saya?” lelaki itu berkata dengan suara bergetar marah, mengarahkan jarinya pada pemilik kedai.
“Saya anggota keluarga kerajaan! Ini hanya makanan murahan, jadi berhentilah mengganggu saya dengan tagihan ini!”
Pedagang tampak gemetar, bingung dan ketakutan. “Tuan, saya... saya hanya menjalankan usaha kecil ini. Anda sudah makan, dan sudah seharusnya membayar sesuai harga yang tertera.”
Nara menyaksikan perdebatan itu dengan seksama. Matanya menyipit melihat betapa takutnya pedagang ini. Nara bukan orang yang akan diam saja ketika melihat ketidakadilan, apalagi jika itu melibatkan penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan tenang, Nara berdiri dan melangkah mendekat. Suaranya penuh wibawa, meskipun tetap tenang.
“Maafkan saya, Tuan, jika saya boleh ikut campur.” Matanya menatap tajam lelaki arogan itu. “Tapi saya rasa, Anda salah paham tentang harga diri dan keadilan.”
Lelaki itu menatapnya dengan pandangan meremehkan. “Hah! Apa kau tahu siapa aku? Kau berani memberi nasihat padaku, seorang anggota kerajaan?! Lagipula kau ini siapa Nona?” Ia menggertakkan giginya, berusaha menakut-nakuti. “Apakah kalian semua di sini lupa dengan siapa yang kalian hadapi?”
Nara tersenyum tipis, senyuman itu seperti pisau yang tajam. “Memang, Anda anggota kerajaan. Tapi bukan berarti status Anda bisa membeli segala-galanya, apalagi harga diri seseorang. Anda pikir uang adalah segalanya, Tuan? Itu hanya sepotong logam yang berarti jika digunakan dengan bijak. Pedagang ini sedang menjalankan usaha, bukan sedang berbagi cuma-cuma.”
Ia beralih menatap pedagang yang cemas, lalu kembali ke pembeli yang masih bersikeras menolak membayar. “Kekuasaan Anda memang memberi Anda hak-hak tertentu, Tuan, tapi ingatlah, kekuasaan itu juga datang dengan tanggung jawab. Dan tanggung jawab terbesar seorang pemimpin adalah mengayomi, bukan menindas. Tidak ada hukum yang mengizinkan seseorang untuk menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain hanya karena status atau kedudukan.”
Pedagang itu tampak tertegun, namun masih ketakutan. Dia berusaha menghentikan agar Nara tidak mendapat masalah lebih jauh. Biarlah hanya dirinya yang berurusan dengan pembeli ini. “Tapi... dia benar, Nona. Saya tidak bisa memaksa Tuan itu untuk bayar... dia bagian dari kerajaan.”
Nara memotongnya dengan lebih tegas. “Jangan takut Pak. Tetaplah pada pendirian awal yang mengharuskan pria ini tetap membayar."
Dengan langkah mantap, Nara mendekati lelaki arogan, matanya menembus tanpa gentar. “Anda mengaku sebagai bagian dari kerajaan, tapi di hadapan saya, Anda hanyalah seorang pria yang mencoba meloloskan diri dari tanggung jawab. Di dunia ini, tidak ada yang luput dari hukum, Tuan. Tidak peduli seberapa tinggi tahta Anda, hukum akan selalu mengejar Anda. Dan untuk pedagang ini, uang yang Anda bayar adalah harga dari sebuah usaha dan keberanian untuk tetap berdiri di kaki sendiri.”
Pembeli itu terpana, wajahnya memerah karena marah dan malu. Ada saatnya ia ingin membentak, namun entah kenapa kata-kata Nara membuatnya terdiam. “Baiklah... baiklah, saya akan bayar. Tapi ini tidak akan selesai di sini, ingatlah itu!"
Dengan cepat, ia melemparkan sejumlah uang ke meja pedagang dan pergi, meninggalkan kedai dengan langkah terburu-buru.
Pedagang itu menghela napas lega, meskipun masih terkejut. “Terima kasih, Nona... saya tidak tahu harus bagaimana tanpa bantuan Nona.”
Nara tersenyum tipis, kembali duduk di kursinya--yang entah kenapa Uto tidak ada di sana. “Tidak usah khawatir, Pak. Kebenaran selalu menemukan jalannya, meski kadang harus melalui jalan yang sempit dan penuh rintangan.”
...*******...
"Uto..!!!"
Sudah tak terhitung Nara menggaungkan nama tersebut berharap si pemilik nama bisa memunculkan wujud. Tapi sekeras apapun Nara memanggil, Uto tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Nara jadi mempunyai pikiran, kalau tugas Uto sudah lah berakhir. Dia harus menghadapi dunia bayangan ini seorang diri tanpa pemandu lagi.
Tindakannya menegakkan keadilan di kedai berbuntut panjang. Tidak butuh waktu lama bagi anggota kerajaan yang dipermalukan Nara merencanakan balas dendam. Mereka--tidak hanya orang itu-- datang kembali ke kedai, mengumumkan penangkapan Nara karena dianggap menghina martabat kerajaan dan harus menghadapi pengadilan istana.
Setelah itu, pemilik kedai tidak lagi tenang. Para pelanggan banyak yang pergi karena takut jadi sasaran balas dendam. Nara tidak mengetahui itu semua, lantaran ia beranjak pergi mencari Uto.
"Apa gue pergi ke hutan lagi aja ya? Ah, masa gue baru awal gini udah jiper duluan."
Nara benar-benar bingung harus melakukan apalagi. Wanita itu samar-samar mendengar suara langkah kaki manusia, serta semak-semak yang bergerak.
Tidak hanya itu yang menyita atensi, alunan tapal kuda menyerbu indra pendengarannya.
Wuuush, wush, wush!
Anak panah melesat ke arah Nara. Ketika prajurit-prajurit itu meluncurkan panah-panah mematikan, Nara hanya bisa menghindar secepat kilat. Namun, jumlah serangan yang datang begitu banyak, sehingga tak ada ruang untuknya bernafas. Setiap detik terasa begitu dekat dengan kematian. Dan tepat saat satu panah hampir menembus dada, udara di sekitarnya bergetar, dan seberkas cahaya merah menyala mengubah atmosfer menjadi kegelapan.
Sebuah tangan besar, gelap dan berkilau seperti obsidian, muncul mendadak. Sosok itu menangkap panah itu di udara, menghancurkannya dalam genggaman dengan begitu mudah. Hanya begitu saja mampu mengusir prajurit yang menyerang Nara tak kenal ampun.
"Teri-makasih. Anda si-apa?" Ucap Nara tergagap pada sosok tinggi besar bersayap hitam dengan wajah yang tak dapat terdeteksi. Alih-alih menjawab, sosok mirip iblis tersebut melayang ke udara lalu pergi dari hadapan Nara. Tidak lama Uto datang tergopoh-gopoh.
"Nara..."
"Uto! Lo darimana aja hah? gue nyari-nyari lo dari tadi, dan gue.. hampir mati tau nggak?!"
"Gue dari..
.
.
Bersambung.