Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Di sinilah Zeona sekarang. Berdiri di depan sebuah restoran mewah berlantai tiga.
Beberapa kali Zeona menarik napas lalu membuangnya demi untuk mengurangi rasa gugup yang mencengkram jiwa.
Kaki jenjangnya yang terbungkus celana jeans berwarna biru tua melangkah pelan masuk ke dalam restoran.
Ponsel di tangannya berdenting dan Zeona lekas memeriksanya.
Tuan Anjelo: Kalau kamu sudah sampai di restoran. Langsung naik saja ke lantai tiga. Masuk ke ruangan VVIP nomor sembilan.
Usai membaca pesan itu, Zeona mengikuti apa yang diperintahkan Anjelo. Dia masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai tiga.
Lift terbuka. Kaki jenjang Zeona kembali melangkah. Gemetaran di tubuhnya semakin tidak bisa dikendalikan.
"Tenang Zeona! Calm down." Zeona menarik napas panjang guna menenangkan diri. Matanya mencari ruangan yang dimaksud. "Itu dia!" serunya seraya mempercepat langkah. Zeona mengetuk pintu dengan tangan yang masih gemetaran. Apalagi saat suara berat dari dalam sana berkumandang menyuruhnya masuk. Semakin tremorlah kedua lutut Zeona.
Lagi, Zeona menelan ludah. Ketika tatapannya bersiborok dengan tatapan tajam dari sepasang mata bagai elang.
Anjelo duduk lesehan menghadap meja yang sudah penuh dengan hidangan ala Jepang.
"Ss-selamat malam, T-Tuan Anjelo?" Zeona menyapa dengan suara terpatah-patah seraya membungkukan sedikit badan.
"Malam juga Zeona. Mari, silakan duduk!"
Zeona mengayun langkahnya yang terasa berat. Bagai ada gerinding bola besi yang terikat di kedua kakinya.
Menjatuhkan bo kong. Dia berhadapan dengan Anjelo yang sangat menawan, namun juga terlihat sangat menakutkan.
"Jadi, kamu butuh bantuan seperti apa dari saya?" Tanpa banyak basa-basi, Anjelo langsung menanyakan pada masalah inti.
Malam ini, terhitung sudah lima kali meneguk ludah. Saking gugup menerjang tubuh Zeona. Gadis berhoodie gading tulang itu mulai membuka mulutnya.
"Ss-seperti yang pernah Tuan dengar saat di club malam. Bahwa ss-saya ingin membebaskan Kakak saya dari jerat nista pros ti tusi milik Miss Helena. Tapi saya butuh uang yang cc-cukup banyak untuk bisa membebaskannya. Jad-"
"Berapa?" Anjelo memotong perkataan Zeona. "Berapa rupiah yang kamu butuhkan?" sambungnya menanyakan.
Sebelum berbicara, Zeona selalu menelan ludahnya. "D-dua milyar." Zeona memejamkan mata. Mendadak dia takut kalau lelaki berjas hitam pekat di hadapannya tak bisa membantunya.
"Saya bersedia membantumu, membebaskan Kakakmu dari rumah bor dir milik Miss Helena. Tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holland seraya melempar senyum smirk pada Zeona.
Zeona kembali menelan ludah kasar, "M-maksud T-tuan, ss-saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu." Anjelo beranjak dari tempatnya dan menyamperi Zeona. Lalu berjongkok, mensejajarkan kepalanya tepat di telinga gadis itu. Membisikan sesuatu pada Zeona.
Seketika, tubuh Zeona langsung menegang. Dibarengi dengan pupil mata yang membeliak. Mendengar hal yang dibisikan Anjelo kepadanya. Lidahnya tiba-tiba seperti hilang dari dalam mulut. Membeku dengan tubuh yang gemetar.
"Semua keputusan ada di tangan kamu, Zeona. Pikirkanlah dulu! Jika kamu setuju, silakan hubungi saya lagi!" Anjelo sudah menjauhkan kepalanya dari telinga Zeona. Dia tersenyum samar melihat wajah Zeona yang memucat. "Sekarang ... ayo kita makan dulu!" ajaknya seraya kembali ke tempat duduknya.
Karena pikiran yang kalut dan juga tidak biasa memakan makanan luar negeri, perut Zeona terasa bergejolak dan mual. Buru-buru ia berpamitan pada Anjelo.
Di atas boncengan sang ojek online. Zeona terus memikirkan perkataan Anjelo tadi.
"Jadilah teman tidur saya."
Zeona bukan gadis polos. Dia tahu arah tujuan Anjelo ke mana. Kalau hanya jadi teman tidur saja tanpa melakukan apapun ia pasti langsung mengiyakan. Tapi yang dimaksud Anjelo adalah tidur dalam tanda kutip melakukan hubungan ba dan. Itu sama saja menjual d i r i. Sedangkan Zeona enggan untuk melakukan hal itu.
"Ya Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?" Sampai di kosan, dia langsung merebahkan diri di atas kasur. Memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Dilema melanda. Antara menerima tawaran atau mencari jalan keluar lainnya.
Ingatan Zeona kembali terlempar pada keadaan Kakaknya tadi siang. Memar-memar di wajah dan juga lengan. Belum lagi luka bekas cambukan. Semuanya membuat Zeona bergidik ngeri.
Apalagi teringat lagi pada berita di televisi yang tadi. Semakin gemetarlah tubuh Zeona.
"Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa melakukan ini demi Kakak." Tidak sampai satu hari, Zeona kembali menghubungi nomor Anjelo. Dia tidak bisa mengabaikan keselamatan Kakaknya. Semakin lama dia berpikir, maka semakin rentan pula Kakaknya mendapatkan kekerasan dari para pelanggannya.
Suara berat Anjelo kembali menggelitik gendang telinga Zeona.
[Kamu sudah memutuskan jawabannya, Zeona?]
Zeona mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik napas dan menghembuskannya. Ini pilihan yang sulit, tapi ia sudah memutuskan.
[Sudah Tuan. Saya bersedia menjadi teman tidur anda.]
Dia seberang telepon, Anjelo menyeringai lebar. "I got you, Zeona Ancala. And I won't let you go!"
[T-Tuan, apakah anda mendengar saya?]
[I hear you, Zeona. Besok, jam tujuh malam ... temui saya di hotel Diamond Holland. Kamar nomor seratus satu.]
Tanpa menunggu tanggapan dari Zeona, panggilan itu langsung diakhiri oleh Anjelo.
Zeona menunduk seraya menatap layar ponselnya yang sudah berubah lagi menjadi hitam. "Semoga ini jalan terbaik."
Mungkin ini adalah bentuk rasa terima kasihnya pada sang Kakak yang rela men ja jakan diri demi menyekolahkan dirinya.
Tiga tahun yang lalu.
"Zeo, Ibu dan Bapak 'kan sudah tiada. Kita juga tidak punya keluarga. Bagaimana kalau kita pindah ke Ibukota? Kita mengadu nasib di sana. Maksud Kakak bukan kita, tapi Kakak yang bekerja dan jika Kakak sudah punya pekerjaan tetap dan punya uang ... kamu bisa melanjutkan sekolah menengah pertama di sana. Bagaimana ... apakah kamu setuju?"
Zeona yang waktu itu baru lulus sekolah dasar hanya mengangguk setuju. Dia mengikuti semua yang diusulkan Kakaknya yang waktu itu sudah lulus SMA.
Mereka pun hijrah ke Ibukota. Menyewa kontrakan murah di pinggiran Ibukota.
Ternyata mencari kerja di Ibukota tak segampang di cerita FTV.
Zalina melamar ke sana ke mari. Tapi hasilnya tidak sesuai ekspetasi. Uang peninggalan almarhum orang tua mereka hampir habis. Zeona juga terpaksa menunda sekolahnya.
Di tengah rasa putus asanya, Zalina bertemu dengan seorang wanita cantik saat dia sedang panas-panasan mencari pekerjaan.
Siang itu di sebuah restoran. Zalina tidak sengaja menabrak wanita cantik tersebut.
"Maaf Bu! Maafkan saya. Saya tidak sengaja!" Zalina membungkukan tubuh seraya terus menggaungkan permintaan maaf.
"Tidak apa-apa." Suara wanita itu begitu lembut. "Ayo bangun! Jangan menunduk seperti itu," sambungnya seraya merengkuh kedua bahu Zalina agar berdiri tegak.
Zalina pun menegakkan badan.
"Nama kamu siapa?" tanya wanita tersebut.
Zalina menjawab pelan. "Nama saya Zalina Anela, Bu."
Wanita itu mengulas senyum, "Nama yang sangat cantik sesuai dengan orangnya," pujinya. "Perkenalkan ... nama saya Helena." Dia mengulurkan tangan dan Zalina menyambut uluran tangan tersebut.
"Kamu pelayan di restoran ini ya?" Helena bertanya karena melihat pakaian hitam putih yang dipakai Zalina.
"B-bukan Bu. Saya habis melamar pekerjaan di sini, tapi kata managernya tidak ada lowongan. Padahal saya sudah dari tiga hari yang lalu memasukan lamaran ke sini. Tapi hasilnya malah mengecewakan. Eh ..." Zalina menutup mulutnya. "Maaf Bu, saya malah curhat sama Ibu?" Zalina meringis malu.
"Hm, Zalina, bagaimana kalau kita duduk di sana!" Telunjuk Helena mengacung pada salah satu meja dekat kaca.
Zalina mengangguk dan mengikuti langkah Helena.
Obrolan pun dimulai. Helena tanpa basa-basi langsung menawarkan pekerjaan kepada Zalina.
Awalnya gadis itu terlihat sangat syok mendengar pekerjaan yang ditawarkan Helena. Tapi karena desakan ekonomi yang menghimpit, keinginan untuk menyekolahkan Zeona dan bujukan maut dari Helena, akhirnya Zalina menganggukkan kepala.
Dia menerima tawaran Helena untuk bekerja menjadi wanita penjaja selang kangan.
Dan ternyata, pekerjaan hina itu membawa Zalina pada kubangan dosa dan kehancuran.
_________
Sepulang kerja dari restoran, Zeona langsung membersihkan diri. Memoles wajah cantiknya dengan sedikit make-up. Menyapu bibirnya dengan lipstik berwarna chery. Dia mengambil kemeja berwarna merah muda dan celana bootcut jeans berwarna biru muda. Mengikat rambut panjangnya bagai ekor kuda. Lalu menyambar tas berwarna hitam berisi dompet dan ponsel.
Keluar dari kontrakan. Zeona berjalan pelan melewati gang sempit yang becek dan agak gelap.
Sampai di ujung gang, sudah ada tukang ojek online yang menunggunya.
Sepanjang perjalanan ke hotel Diamond Holland, dia terus meyakinkan diri, bahwa jalan yang ia ambil saat ini adalah jalan terbaik.
"Makasih, Mas!" Zeona turun dari atas motor dan memberikan helm milik si Mas ojol. "Ongkosnya sudah saya bayar lewat aplikasi ya?" katanya menerangkan.
"Siap Dek!" kata si Mas ojol membalas sebelum akhirnya tancap gas lagi.
Untuk beberapa detik, Zeona masih berdiri mematung di depan hotel berbintang lima itu. Keraguan menusuk kalbu. Namun untuk mundur sudah terlambat. Perlahan, ia mengayun langkah masuk ke dalam hotel.
Lift yang ditumpanginya serasa melesat bagai roket. Kini dia sudah sampai di lantai dua puluh, di mana Anjelo menunggunya di kamar seratus satu.
Memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan guna meminimalisasi kegugupan yang ia rasakan.
Percuma!
Karena rasa gugup itu semakin menggelegak. Menghasilkan gemetar yang tidak bisa dikendalikan.
Zeona menekan bel dan tak berapa lama, pintu di depannya terbuka. Munculah Anjelo dengan kemeja putih dan celana slimfit berwarna hitam.
"Masuk!" Perintah itu bagai suara malaikat pencabut nyawa karena berhasil membuat Zeona menegang di tempatnya.
Gadis itu menggeret langkah yang terasa sangat berat.
Tubuhnya tersentak ketika suara Anjelo berkumandang tepat di lubang telinganya.
"Sudah siap mela yani saya?"
Makasih udah baca😊