Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Maaf."
Suara yang keluar dari mulut Aline terdengar gemetar. Aline gugup. Ia menengadah sebentar lalu menundukkan kepalanya. Tampaknya, Aline tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah pria berperawakan jangkung itu.
Pria itu berjalan dua langkah di depan Aline, lalu memajukan sedikit payungnya untuk melindungi kepala Aline dari hujan. Aline terheran-heran. Sekarang pria itu malah dengan sengaja membiarkan jas almamaternya bersentuhan langsung dengan baju Aline yang kotor dan basah.
Aline menggigit bibir bagian dalamnya dengan gugup. Aline merasa kalau pria itu sedang mengamatinya lekat-lekat.
Apa yang akan dia lakukan?
Seperti dugaan Aline, sedari awal sepasang mata pria yang terkesan dingin itu memang tak pernah lepas menatap wajahnya. Meski demikian, pria itu sama sekali tidak berkata apa-apa.
Dalam kebisuannya, Aline hanya bisa pasrah. Dan—entah bagaimana, semangat Aline yang sejak kemarin membara perlahan-lahan mulai terasa padam. Bagai nyala api yang tersapu angin lalu dihujani oleh jutaan tetes air. Tidak akan pernah timbul lagi ke permukaan. Sia-sia. Hancur sudah rencana Aline menciptakan kesan baik di hari pertamanya sebagai mahasiswa.
"Kamu, ikut saya sekarang!" Pria itu menarik tangan Aline.
Aline mengangkat kepalanya. "Mau ke mana?"
"Auditorium."
"Upacaranya dipindahkan ke auditorium?"
Pria itu mengernyit. "Maksud kamu, upacara penerimaan mahasiswa baru?"
Aline mengangguk.
"Sayang sekali, upacara itu sudah selesai sepuluh menit yang lalu."
"Apa?" Bola mata Aline hampir meloncat begitu mendengar pernyataannya. Aline menelan ludah.
"Aku pikir, upacaranya akan dimulai jam delapan tepat." gumam Aline hampir terdengar seperti berbisik.
"Sekarang sudah hampir jam sembilan lebih lima belas." timpal pria itu.
"Apa?" Aline menghentikan langkahnya.
Jam sembilan? Yang benar saja?
Agak terkejut juga, sih. Sampai-sampai Aline membelalakkan matanya di depan pria itu.
Aline menundukkan kepala. Malu sekali rasanya. Selama ini, Aline selalu mengatakan kalau ia akan menjadi mahasiswa teladan. Tapi, baru hari pertama saja sudah terlambat seperti ini. Apanya yang pantas ia sebut sebagai mahasiswa teladan?
Aline berpikir, semua ini tidak akan terjadi kalau saja jam tangannya tidak mati. Ini semua tidak akan terjadi jika tidak ada drama di perjalanan tadi, dan—kalau saja Aline tidak terlalu lama berbincang dengan Dr. Gita, kemungkinan besar Aline pasti tidak akan terlambat.
Berbagai macam alasan lain pun mulai bermunculan di kepala Aline. Seolah-olah Aline tidak mau terima dan mencoba untuk mencari pembenaran. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur juga. Mencari-cari alasan untuk saat ini juga akan percuma. Toh, manusia tidak dapat memulangkan waktu semudah mereka membuang masanya.
Hati Aline kini dipenuhi oleh perasaan gelisah. Sesaat lagi pria ini pasti akan menghukumnya di depan banyak orang. Kaki Aline bergetar. Dingin bercampur gugup.
Aline termangu. Pikirannya melayang-layang. Kecemasan yang ada dalam diri Aline seketika timbul tenggelam. Kalau nanti ia masuk ke auditorium dengan penampilan basah kuyup, kotor—seperti tikus tercebur got begini, pastilah Aline akan ditertawakan oleh orang-orang di sana. Sudah terlambat datang, baju yang ia kenakan pun sudah tidak karuan bentuk dan rupanya. Juga beraroma bau. Ah, lengkap sudahlah kesialan Aline hari ini. Benar-benar situasi yang buruk!
Aline dengan tatapan dongkol mencoba tenang dan mengembuskan napasnya.
Angin yang berembus di halaman kampus terasa begitu dingin. Bersamaan dengan itu, alam seolah tidak dapat terkendali.
Cuaca mendung. Gemuruh petir saling bersahutan menyambar puncak gedung-gedung pencakar langit, hujan pun bertambah deras. Saat itu genangan air mulai membasahi lapangan Trapunto yang luasnya lebih dari enam hektar. Aline belum bergerak dari tempatnya semula. Ia masih berdiri di depan pria itu. Dengan wajah memerah sekaligus kaki yang basah terkena cipratan hujan.
Pria itu meraih tangan Aline. Tanpa banyak bicara, ia menuntun Aline masuk ke lingkungan kampus, melewati lorong-lorong di gedung utama, lalu berhenti di ujung tangga.
Aline tercengang. Sejak mereka masuk, pandangan Aline selalu tertuju pada koleksi yang ditaruh di sebuah ruangan. Gaun-gaun adibusana yang dibuat oleh para alumni dipajang di berbagai etalase. Kemeja pria, hingga setelan anak kecil pun memenuhi satu ruangan berukuran besar itu. Bermacam-macam warna dan gaya busana tampak ciamik dipandang mata.
Gedung itu memiliki koridor yang memanjang. Atapnya juga tinggi-tinggi. Sama persis dengan yang pernah Aline lihat di website. Dinding-dinding yang didominasi oleh warna putih dihiasi oleh potret-potret model, serta tokoh-tokoh fashion terkemuka dari tahun ke tahun.
Rasanya, Aline masih seperti bermimpi bisa menjadi salah satu mahasiswa di tempat ini.
"Oh!" Aline menunjuk salah satu poster yang digantung di dekat tangga.
"Charles Frederick Worth itu Bapak Fashion dunia, toh." Tanpa sadar Aline berseru kencang hingga pria yang berada di dekatnya menoleh dan tertawa sinis.
"Kamu baru tahu? Ke mana saja kamu selama ini?"
Dalam sekejap tatapan pria itu seolah mencemoohnya. Aline yang melihat itu langsung menunduk, kikuk.
Pria itu menggelengkan kepala. Lalu berjalan memunggungi Aline. Tangannya mengibaskan gagang payung sebelum ia melipatnya kembali. Ia mengelap permukaan payung itu dengan sehelai kain tipis.
Aline terus saja memperhatikan gerak-gerik pria itu tanpa berkedip. Walaupun tadi pria itu sempat mengejek Aline, tapi sikap tenangnya itu membuat Aline merasa kagum kepadanya.
Aline menilai, mungkin sebenarnya pria itu orang baik. Dan sepertinya pria ini juga tipikal orang yang perfeksionis. Terlihat dari cara kerjanya. Meski hanya membersihkan payung, ia hampir tidak bisa melewatkan setetes air pun di permukaan kainnya. Pembawaannya juga lugas. Kalau dipikir-pikir, pria ini juga memiliki banyak kesamaan dengan Aline. Bedanya Aline sedikit serampangan, sedangkan ia adalah pria rapi dan teliti.
Aline menatap belakang tubuh pria itu dengan serius.
Andaikan saja aku memiliki teman laki-laki sebaik dan sekeren dia.
Tanpa Aline sadari, pria itu sudah berbalik dan berdiri di hadapannya. "Kamu melihat apa sampai sepasang matamu tidak mau berkedip?"
Aline terperanjat.
Pria itu merogoh sakunya, mengulurkan sapu tangan kepada Aline. "Untuk membersihkan wajahmu."
Aline melongo, bingung.
Entah sejak kapan pria itu mulai tersenyum sambil menatapnya. Bukan, bukan menatap—mungkin kata yang lebih tepatnya adalah merunduk. Karena postur tubuh Aline lebih kurus dan lebih pendek darinya, otomatis jika ingin bicara kepada Aline, pria itu harus menundukkan kepalanya. Begitu juga dengan Aline.
"Terima kasih." Aline menerima sapu tangan itu.
Aroma parfum menyegarkan tercium hingga ke lubang hidungnya. Aline suka wangi itu. Wangi yang dapat membangkitkan semangatnya. Wangi yang tidak terlalu menyengat namun terkesan lembut dan mewah. Mungkin pria itu menggunakan parfum seri Le Gemme. Aromanya itu khas sekali. Kalau saja Aline tidak malu, ia mungkin akan menghirup sapu tangan itu lebih lama untuk menghilangkan rasa mual yang berasal dari bajunya.
"Ngomong-ngomong, mengapa kamu bisa terlambat? Kamu punya jadwal dari kampus, bukan?"
"Jadwal? Jadwal apa, Kak?"
"Kamu, kok, tanya saya? Memangnya kamu tidak mendapat e-mail atau pesan pemberitahuan dari kampus?"
Aline mengerutkan alisnya. "Tidak ada."
"Benar-benar, deh."
Pria itu menarik napas panjang dan menggerutu kecil.
Melihat ekspresi itu, Aline tahu betapa kesalnya pria itu. Pria itu melangkah menjauhi Aline. Ia mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah nomor, dan menelepon seseorang. Ia berbicara panjang lebar. Kadang-kadang pria itu juga tampak kesal dan mengatakan sesuatu dengan suara yang cukup keras.
Tak lama ia kembali lagi ke tempat di mana Aline berdiri. "Ayo, cepat!"
"Ke mana lagi, Kak?"
Pria itu menatap Aline. Matanya seakan berkata agar sebaiknya Aline tidak perlu bertanya lagi.
Aline yang tidak peka malah balas menatap wajahnya. Pria itu menghela napas panjang lantas memandangi Aline dengan tatap tajamnya. Sementara itu Aline terdiam menunggu jawaban. Aksi saling tatap itu pun berlangsung selama sepuluh detik.
Glek.
Aline menelan ludah. Tanpa sadar ia terbawa dalam suasana ini. Pandangan pria itu malah membuat Aline jadi salah tingkah.
"Maaf, Kak. Tadi aku cuma—"
"Auditorium. Saya sudah bilang kan, kamu harus ikut saya ke auditorium." Pria itu memotong perkataan Aline dengan suara pelan.
Aline mendongak. "Apa aku... dihukum?"
"Hah? Hukuman apa yang kamu maksud?"
"Eh?"
Wajah pria itu kembali berubah seperti kali pertama ia menatap Aline. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman kecil.
Pria itu mendekati Aline dan menepuk pundaknya. "Kamu tahu, bukan? Ini adalah kampus, Aline. Kamu tidak boleh menyamakan kampus ini dengan sekolah kamu yang dulu. Tidak ada yang namanya hukuman di sini. Kamu tidak perlu mencemaskan apa pun."
Sebentar Aline memandangi wajahnya.
Dari mana pria ini tahu namaku?
Aline merasa aneh. Meskipun pria itu menyuruhnya untuk tidak mengkhawatirkan apa pun, tetapi pikirannya saat ini sudah mulai terinfeksi oleh bayangan masa lalu.
Di saat pria itu merunduk di depannya, Aline mundur satu langkah. Kakinya lagi-lagi terasa bergetar, lebih hebat dari sebelumnya. Ia begitu cemas. Aline sudah tidak lagi memikirkan tentang hukuman. Fokusnya telah berubah semenjak pria itu menyebut namanya.
Singkatnya, sekarang ini Aline lebih tertarik memikirkan sosok pria itu dibandingkan hal yang lainnya. Bukan karena ia menyukai pria ini, ia hanya mencemaskan masa depannya di kampus ini.
"Ayo kita pergi!" ajak pria itu sambil melangkahkan kakinya.
Aline mematung. Ia sama sekali tidak ingin bergerak dari tempatnya. Pikirannya saat ini sibuk mempertanyakan tentang identitas pria ini. Tetapi, meski ia telah berpikir keras, ia sama sekali tidak punya ingatan pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya.
Apa mungkin dia salah satu senat di kampus ini? Kalau memang benar, tidak mungkin juga kan dia sampai tahu namaku?
Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Ah!" Aline tersadar dan segera menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memikirkan apa-apa."
"Kamu yakin?"
Aline mengangguk cepat. "Tidak ada apa-apa, Kak."
Pria itu memicingkan mata. Karena Aline terlihat begitu ragu, pria itu lalu menarik tangan Aline seperti sebelumnya. "Ayo!"