Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Sabrina merasa gelisah sepanjang ceramah berlangsung. Ia mencoba keras menghindari pandangan Ustadz Aiman, yang entah kenapa sesekali tampak menatap ke arahnya. Tatapan tajam itu seperti menembus semua lapisan dirinya, membuatnya semakin tidak nyaman.
"Ya Allah, kenapa sih harus dia? Di antara semua orang di muka bumi ini, kenapa mesti gue yang kena?" gumam Sabrina pelan, sambil pura-pura memperhatikan bunga plastik di depan podium.
Namun, nasib buruk tampaknya belum berhenti. Gina, yang duduk di sebelahnya, memukul pelan punggung Sabrina dengan telapak tangan.
"Eh, duduk tegak, Bina! Jangan kayak anak ayan gitu! Mau mamak ditanya orang, anaknya sakit apa?!" bisik Gina dengan nada setengah berteriak.
"Mak, kan ini Bina lagi nyaman. Biarin aja lah," sahut Sabrina kesal, sambil melirik tajam ke Gina.
"Nyaman apanya? Duduk kayak itu bukan anak mamak. Tegak, kayak orang punya harga diri sedikit!" Gina mencubit pelan lengan Sabrina.
Terpaksa Sabrina duduk tegak, walaupun hatinya penuh gejolak. Ia mencoba memandang ke depan, ke arah podium, tapi itu malah membuat pandangannya kembali bersilang dengan Ustadz Aiman.
Aiman, sambil berbicara soal kesabaran dan keikhlasan, menatap Sabrina dengan tatapan penuh arti yang sulit dijelaskan. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya tetap menusuk tajam.
"Astaghfirullah," bisik Sabrina sambil pura-pura menunduk memperbaiki gamisnya. Ia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu terlihat canggung.
Gina, yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi, malah berbisik lagi. "Tuh ustadznya ganteng, kan? Mamak doain biar kamu dapat jodoh kayak dia. Kalau bisa, dia langsung! Eh, kayaknya dia juga lihat kamu, tuh!"
Sabrina hampir memutar mata, tapi ia menahan diri. "Mak, itu mah nggak mungkin! Jangan ngarang-ngarang."
"Eh, nggak ngarang! Mamak tuh peka soal beginian. Nah, coba duduk lebih tegak lagi, biar dia makin tertarik." Gina menepuk punggung Sabrina sekali lagi.
Sabrina hanya bisa memejamkan mata, menahan diri agar tidak lari keluar dari pendopo. "Ini beneran apes banget! Kalau tahu begini, mending gue ngumpet di dapur aja tadi," pikirnya sambil mencoba fokus pada ceramah yang terasa semakin panjang.
Namun sebelum Gina sempat menjawab, suara Aiman tiba-tiba terdengar lebih tegas di mikrofon, seperti memberi penekanan pada poin ceramahnya.
"Sebagai manusia, kita harus selalu menjaga pandangan, baik terhadap sesama ataupun terhadap diri sendiri," ucapnya, sambil sesekali mengarahkan tatapan ke arah Sabrina.
Mendengar itu, Sabrina langsung mematung. "Nah, kan! Apa aku bilang, Mak? Dia tuh pasti lagi nyindir aku!" bisiknya cepat dengan nada nyaris panik.
Gina justru terlihat senang. "Alhamdulillah, dia perhatian sama kamu. Lihat tuh, dia sampai ngasih pelajaran buat kamu langsung. Siapa tahu habis ini kamu lebih pinter jaga diri."
Sabrina menatap Gina dengan mata melotot. "Mak, serius, aku nggak ngerti sama logika mamak! Aku nggak butuh ceramah personal dari dia, sumpah!"
Di tengah kekalutannya, Sabrina hanya bisa berdoa agar ceramah itu segera selesai, sementara tatapan tajam Aiman seolah menjadi pengingat bahwa ia tidak bisa bersembunyi lagi.
Sepanjang ceramah, Sabrina merasa dadanya panas. Bukan karena cuaca, tapi karena setiap kalimat yang keluar dari mulut Ustadz Aiman terdengar seperti tamparan keras yang ditujukan langsung kepadanya.
"Sebagai manusia, jangan lupa menjaga lisan. Lisan itu tajam, bisa melukai diri sendiri dan orang lain. Kalau tidak bisa berkata yang baik, lebih baik diam," ucap Ustadz Aiman, sambil sekali lagi menatap lurus ke arah Sabrina.
Sabrina mengerutkan dahi, matanya sempat melirik ke kanan dan kiri memastikan apakah ada orang lain yang merasa disindir. Tapi tidak. Semua orang tampak menikmati ceramah seperti biasa. Ia mendesah pelan, tapi nadanya penuh kekesalan. "Emang ustadz nggak ada akhlak! Ngapain coba nyindir gue terus? Gue kan nggak ngapa-ngapain dari tadi!" batinnya dengan penuh geram.
Namun, masalahnya bukan hanya Ustadz Aiman. Gina, yang duduk di sampingnya, justru semakin menyiram bensin ke api. "Tuh, dengerin, Kak. Mirip sekali sama kelakuan kamu, kan? Emang ustadz itu jeli banget lihat siapa yang perlu diajarin," bisik Gina dengan senyum puas.
Sabrina menoleh tajam, hampir saja membalas komentar Gina, tapi ia sadar mereka sedang di tempat umum. Ia hanya mendengus keras, lalu membetulkan duduknya.
"Aduh, kapan ceramahnya selesai? Ini lama banget rasanya!" pikir Sabrina sambil mencoba fokus, meski telinganya panas mendengar kata-kata Ustadz Aiman yang terus terasa seperti kritik personal.
Namun, entah bagaimana, di tengah kekesalannya, Sabrina tetap tidak bisa sepenuhnya menolak untuk mendengarkan. Ucapannya memang menyebalkan, tapi juga tajam dan benar. Sesekali, Sabrina bahkan menggigit bibirnya sendiri untuk menahan emosi.
Ketika akhirnya ceramah selesai, Sabrina menghela napas lega, tapi Gina justru terlihat sangat puas. "Alhamdulillah, ceramahnya tadi bagus sekali. Kakak harus berterima kasih sama ustadz. Kakak belajar banyak hari ini, kan?" goda Gina sambil menyikut lengan Sabrina.
Sabrina hanya mendesah panjang, "Belajar sih belajar, Mak. Tapi kalau yang diajarin sambil nyindir, itu namanya ustadz bukan ngajar tapi nyerang!" jawabnya dengan nada kesal.
Gina tertawa kecil, sementara Sabrina hanya bisa memutar matanya ke atas, merasa hari itu adalah hari terpanjang dalam hidupnya.
...➰➰➰➰...
Suasana di belakang pendopo masih hangat dengan obrolan ringan antara Pak RT, Pak Kelurahan, dan beberapa warga lainnya yang berkumpul setelah ceramah selesai. Mereka tampak asyik berbincang sambil menikmati hidangan siang yang disediakan. Masing-masing dari mereka tertawa ringan mendengar cerita dari Pak RT yang begitu bersahabat dan penuh perhatian.
Tiba-tiba, suara ketokan pintu yang keras terdengar di bagian depan, dan pintu mulai terbuka dengan pelan. Semua mata langsung tertuju ke arah pintu, menanti siapa yang datang. Dan saat itulah seorang perempuan melangkah masuk, dengan penampilan yang sama sekali tidak sesuai dengan adat sopan santun yang berlaku.
Perempuan itu bukan hanya tidak mengenakan hijab, tetapi juga mengenakan celana pendek yang hanya beberapa inci di atas lututnya, diiringi baju kaos kebesaran yang begitu longgar hingga menutupi celananya sebagian besar.
Mata kedua ustadz, Haidar dan Aiman, langsung melotot. Ustadz Haidar segera mengalihkan pandangannya, seolah-olah berusaha menghindari gambar yang tak pantas itu. Sedangkan Ustadz Aiman, entah keberanian dari mana, beranjak dari duduknya dengan santai. Ia menyampirkan sorban panjangnya pada pundak perempuan itu, menyentuh kainnya lembut dan langsung menegur dengan suara tenang namun tegas.
"Perhatikan pakaiannya, Mbak," kata Ustadz Aiman, suaranya terdengar lembut tapi mengandung makna serius.
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, tanpa menunjukkan rasa bersalah, seakan tahu bahwa apa yang dikenakannya memang tidak pantas. Setelah memberikan teguran, Ustadz Aiman kembali duduk ke tempat semula, menyisakan Sabrina yang masih berdiri mematung di depan pintu, bingung dan sedikit gugup.
Sementara itu, Pak RT yang sedang menikmati makanan di sebelah langsung beranjak dari kursinya, berseru dengan suara sedikit keras, memperhatikan kehadiran perempuan itu dengan serius.
"Sabrina! Astaga? Ngapain kamu kemari? Dan pakaian kamu sangat tidak sopan!" tegur Pak RT dengan nada sedikit tidak enak di hadapan tamu-tamu lain yang ada di sekitarnya.
Sabrina terdiam sesaat. "Hehehehe, maaf Pak RT dan semuanya mengganggu, saya disuruh Mamak buat antar bingkisan buat semuanya," jawab Sabrina dengan cengengesan, mencoba meredakan situasi.
Pak RT menatap Sabrina dengan mata sedikit mengerut, wajahnya penuh tanda tanya. "Bu Gina? Antar ke rumah saya aja kenapa harus kemari?" tanya Pak RT keheranan.
Sabrina mengangguk kecil. "Katanya buat para tamu Pak RT, jadi saya yang disuruh antarkan," jawabnya santai, seraya mengambil kantongan yang cukup besar berisi beberapa kotakan berisi makanan.