Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Dylan duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptopnya yang terbuka pada halaman Weibo Rose.
Ia memperhatikan unggahan terakhir Rose, sebuah foto sederhana dengan pemandangan kota yang biasa saja, disertai dengan caption singkat: "Hari terakhir di sini. Waktunya kembali ke awal yang sebenarnya."
Unggahan itu diposting tiga hari yang lalu—tepat pada hari terakhir magangnya. Dylan merasa dadanya bergetar. Ia telah melewatkan begitu banyak kesempatan untuk berbicara dengannya, untuk memastikan bahwa Rose tahu bagaimana perasaannya.
Sekarang, satu-satunya petunjuk nyata adalah Mr. Harold, kakek Rose, yang tinggal di kota tak jauh dari kantor pusat perusahaan Dylan. “Aku harus berbicara dengannya,” pikir Dylan, segera meraih jasnya dan bergegas pergi.
Di rumah Mr. Harold
Rumah tua bergaya kolonial itu tampak tenang dan hangat. Mr. Harold, pria tua yang masih terlihat energik meski sudah berusia lanjut, menyambut Dylan dengan senyuman tipis.
“Dylan Wang,” kata Mr. Harold sambil mempersilakannya duduk di ruang tamu. “Sudah lama aku tidak melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”
Dylan duduk dengan hati-hati, mencoba menyusun kata-katanya. “Saya ingin bertanya tentang Rose, Pak. Dia sudah kembali ke Korea Selatan, dan saya ingin tahu alamatnya.”
Mr. Harold mengangkat alis, matanya meneliti Dylan dengan cermat. “Kau mencari Rose?” tanyanya, nadanya penuh arti. “Kenapa? Bukankah selama ini dia ada di dekatmu, tapi kau tidak melakukan apa pun?”
Pertanyaan itu menusuk Dylan seperti belati. Ia tidak bisa menyangkalnya. Dengan nada serius, ia menjawab, “Saya memang terlambat menyadarinya, Pak. Tapi saya ingin memperbaiki semuanya. Saya ingin bertemu dengannya dan memastikan dia tahu apa yang saya rasakan.”
Mr. Harold terdiam sejenak, menyesap tehnya. Akhirnya, ia menghela napas panjang. “Rose memang sudah kembali ke Korea Selatan. Tapi sejak sampai di sana, dia jarang menghubungi saya. Dia bilang ingin fokus pada pekerjaannya dan tidak ingin diganggu.”
Dylan merasa jantungnya mencelos. “Jadi... Anda tidak tahu di mana dia sekarang?”
Pria tua itu tersenyum samar. “Aku tahu, tapi aku tidak akan memberitahumu begitu saja. Kalau kau benar-benar serius, Dylan, kau harus mencarinya sendiri. Aku hanya akan memberimu petunjuk kecil.”
Dylan mengangguk tegas, meskipun perasaan gugup mulai menghantuinya. “Apa petunjuk itu, Pak?”
Mr. Harold bangkit perlahan, berjalan ke rak buku di sudut ruangan. Ia mengambil selembar kertas kecil dan menyerahkannya kepada Dylan. Di sana tertulis sebuah alamat singkat di Busan, Korea Selatan, tanpa detail lebih lanjut.
“Inilah alamat terakhir yang aku punya,” katanya. “Tapi itu mungkin bukan tempat tinggalnya sekarang. Rose adalah tipe gadis yang tidak suka menetap terlalu lama di satu tempat. Kau harus mencarinya dengan caramu sendiri.”
Dylan menatap kertas itu dengan penuh tekad. “Terima kasih, Pak Harold. Saya tidak akan menyerah sampai saya menemukannya.”
Di pesawat menuju Korea Selatan, Dylan merasa gelisah. Ia memandangi alamat singkat yang diberikan oleh Mr. Harold, mencoba membayangkan langkah-langkah yang harus ia ambil begitu tiba di sana.
“Apa dia akan mau bertemu denganku? Atau mungkin dia sudah melupakan semuanya?” pikir Dylan.
Namun, di balik semua keraguannya, satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa membiarkan penyesalan ini berlarut-larut.
Setibanya di Korea Selatan, Dylan langsung menuju Busan. Ia mengikuti alamat yang tertulis di kertas, yang membawanya ke sebuah studio seni kecil di tepi kota. Namun, ketika ia tiba, seorang wanita muda yang bekerja di sana memberitahunya bahwa Rose sudah pindah beberapa hari yang lalu.
“Kau mencarinya? Rose memang sempat bekerja di sini, tapi dia hanya sementara,” kata wanita itu dengan nada ramah. “Maaf, aku tidak tahu di mana dia sekarang.”
Dylan terdiam sejenak, tetapi ia tidak menyerah. Ia memutuskan untuk melanjutkan pencariannya, memanfaatkan semua kontak dan sumber daya yang ia miliki.
Beberapa hari kemudian, di sebuah kafe kecil di Seoul, Dylan akhirnya menemukan secercah harapan. Saat duduk menikmati kopi setelah hari yang melelahkan, ia melihat sebuah sketsa di dinding kafe—sketsa yang tidak asing baginya. Itu adalah karya Rose, lengkap dengan tanda tangannya di sudut gambar.
Ia mendekati pelayan dan bertanya, “Siapa yang membuat sketsa ini?”
“Oh, itu karya seorang seniman freelance. Namanya Rose. Dia sering datang ke sini untuk menggambar, tapi akhir-akhir ini dia jarang terlihat,” jawab pelayan itu.
Meskipun tidak mendapat jawaban pasti, Dylan merasa ia semakin dekat. Dengan semangat baru, ia memutuskan untuk menunggu di kafe itu setiap hari, berharap Rose akan muncul. Waktu terus berjalan, tetapi Dylan tahu, perasaan yang tulus akan membawanya pada jawaban yang ia cari.
***
Hari ketiga di Seoul, Dylan merasa frustrasi. Semua usahanya untuk menemukan Rose belum membuahkan hasil. Ia sudah mengunjungi alamat-alamat yang mungkin, menelusuri tempat-tempat yang biasanya ia kunjungi, bahkan kembali ke kafe di mana ia melihat karya Rose, tetapi tidak ada petunjuk baru.
Kecewa dan kelelahan, Dylan memutuskan untuk menghubungi temannya, Wang Yibo, yang kebetulan sedang berada di Seoul. Yibo adalah seorang entertainer terkenal sekaligus pebisnis sukses, yang memiliki label musik sendiri. “Mungkin bertemu Yibo akan sedikit mengalihkan pikiranku,” gumam Dylan sambil mengetik pesan untuk mengatur pertemuan di sebuah kafe.
Di kafe, Dylan dan Wang Yibo duduk di sudut ruangan, menjaga privasi mereka dari mata-mata publik. Yibo, dengan tampilan kasual yang tetap modis, menyapa Dylan dengan senyum khasnya.
“Dylan, lama tidak bertemu! Apa yang membawamu ke Seoul?” tanya Yibo dengan nada santai, menyeruput es kopinya.
Dylan hanya mengangkat bahu. “Ada urusan pribadi,” jawabnya singkat, tidak ingin menjelaskan terlalu banyak.
Yibo mengangguk, lalu langsung beralih ke topik yang lebih ia minati. “Ngomong-ngomong, aku ingin membicarakan sesuatu. Aku sedang mencari peluang investasi baru, dan aku pikir perusahaanmu adalah tempat yang tepat.”
Dylan yang semula lesu, menatap Yibo dengan penuh minat. “Investasi? Apa yang kau maksud?”
“Aku ingin menanamkan modal di proyek pengembangan mobil listrikmu. Dengan namaku di belakang proyek itu, aku yakin produkmu akan lebih mudah diterima di pasar internasional. Bagaimana?” Yibo menyeringai penuh percaya diri.
Tanpa berpikir panjang, Dylan menjabat tangan Yibo. “Aku menerimanya. Kalau ini akan membantu mengembangkan perusahaanku, aku tidak akan menolak.”
Setelah kesepakatan itu, Yibo mulai bercerita tentang bisnis label musiknya. “Oh ya, di labelku sekarang, kami sedang merekrut artis-artis K-pop baru. Banyak yang kontraknya sudah selesai di label sebelumnya, dan sekarang mereka bergabung denganku untuk karir solo. Kami bahkan sudah menyiapkan beberapa proyek besar untuk debut mereka.”
Dylan, meskipun tidak terlalu tertarik pada dunia hiburan, tetap mendengarkan dengan sopan. “Itu bagus untukmu, Yibo. Industri ini memang penuh peluang.”
Yibo mengangguk penuh semangat. “Benar. Salah satu artis yang baru saja bergabung cukup menarik perhatian. Dia punya bakat luar biasa, dan aku yakin dia akan menjadi bintang besar. Namanya...” Yibo berhenti sejenak, mencoba mengingat. “Ah, Roseane. Dia sebelumnya magang di perusahaan besar di Tiongkok, tapi akhirnya memilih kembali ke dunia seni.”
Dylan membeku. “Roseane? Apa kau yakin?” tanyanya dengan nada penuh emosi.
Yibo menatap Dylan dengan kaget. “Ya, kenapa? Kau kenal dia?”
“Dia yang sedang kucari,” jawab Dylan cepat. “Dia adalah... seseorang yang sangat penting bagiku.”
Yibo terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa detik, ia berkata, “Kalau begitu, kau beruntung. Rose akan tampil di acara jumpa pers besok untuk pengumuman artis baru di labelku. Kalau kau mau, aku bisa mengatur agar kau bisa bertemu dengannya di belakang panggung.”
Mata Dylan berbinar untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. “Aku akan sangat berterima kasih jika kau bisa melakukannya, Yibo.”
Yibo tersenyum kecil. “Santai saja. Aku akan memastikan kau bisa bertemu dengannya.”
Keesokan harinya, di lokasi jumpa pers, Dylan berdiri di belakang panggung, menunggu dengan gelisah. Ia bisa mendengar suara tepuk tangan dari arah panggung saat Yibo memperkenalkan para artis barunya. Nama Rose disebut, dan Dylan merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Ketika Rose akhirnya masuk ke belakang panggung setelah acara selesai, Dylan berdiri di sana, tepat di jalur yang harus ia lewati. Rose berhenti sejenak, terkejut melihat sosok yang sangat ia kenal.
“Dylan?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Dylan menatap Rose, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Rose, aku mencarimu. Aku harus bicara denganmu.”
Rose tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi tidak di sini. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang.”
Dylan mengikuti Rose ke ruang kecil di belakang gedung. Ia tahu, inilah kesempatan terakhirnya untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Dengan hati yang penuh tekad, ia berkata, “Rose, aku tahu aku terlambat menyadari segalanya. Tapi aku tidak bisa terus membiarkan jarak memisahkan kita. Aku di sini untuk menebus kesalahan itu dan mengatakan... bahwa aku tidak bisa tanpamu.”
Rose menatap Dylan dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi ia tetap diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Apakah pertemuan ini akan mengubah segalanya? Hanya waktu yang akan menjawab.
Bersambung