"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 11 : TRAUMA
"Sepertinya kamu sibuk banget ya Dabith, sampai lupa kalau masih ada Kakek dan Nenek disini." sindir Dzaki laki-laki berusia 83 tahun itu memulai obrolan dengan cucu pertama yang baru saja datang dan duduk di gazebo belakang rumah bersamanya.
"Maaf Kek. Akhir-akhir ini aku memang sibuk. Tapi bukan berarti aku lupa sama Kakek dan Nenek." lirih Arrazi menjawab sindiran Kakeknya.
Dabith adalah nama panggilan Kakek dan Neneknya kepada Arrazi. Diambil dari nama tengahnya, Arrazi Dabith Dzaki. Yang juga nama pemberian mereka untuk Arrazi. Kakek dan cucu pertamanya itu memang cukup akrab, tapi juga sering berdebat. Sama-sama keras kepala.
"Lalu bagaimana dengan permintaan Kakek. Apa kamu masih ingat juga?" tanya Dzaki. Arrazi terdiam.
Sebenarnya bukan karena kesibukannya, Arrazi alpa untuk mengunjungi rumah Kakeknya, namun karena permintaan sang Kakek yang selalu coba ia hindari. Permintaan yang cukup berat Arrazi jalani.
Permintaan yang pastinya akan merubah kehidupan 180 derajat. Ini pun dia terpaksa datang, karena permintaan sang Nenek yang sangat di sayangi dan sulit Arrazi tolak.
"Dabith, kamu masih ingat kan?" tanya Dzaki membuyar lamunan Arrazi.
Arrazi mengangguk pelan.
"Sudah ada keputusan?"
Arrazi menggeleng.
"Dabith, usia kamu sudah sangat matang, tua bahkan untuk menikah. Dan nikah itu sudah menjadi kebutuhan untuk menjalankan hidup. Kamu butuh pendamping, kamu butuh partner hidup." kalimat itu lagi yang Arrazi dengar dari mulut Kakeknya.
"Aku masih bisa hidup sendiri Kek. Aku nggak butuh pendamping hidup." ucap Arrazi dengan serius, hal itu memang yang saat ini ia rasakan.
Arrazi sudah nyaman hidup sendiri dan menjalankan rutinitas sehari-hari tanpa adanya drama kehidupan sepasang kekasih.
PLAK!
Dzaki menoyor kepala belakang Arrazi, menyadarkan kalimat yang baru saja di ucapkan cucunya itu. Nah, kalian tahukan alasan kenapa Arrazi suka sekalai menoyor kepala belakang Dhafir dan inilah jawabannya.
Ia meniru dari Kakeknya dan mempraktekkan di kepaa Dhafir. Bahaya kalau Arrazi mempraktekkan balik di kepala Kakeknya.
"Kakek tuh mikirin hidup kami Dabith! Umur udah tua masih jomblo! Cepatlah nikah, Kakek nggak mau ya punya cucu yang jomblo sampai mati." omel Dzaki.
"Si Dhafir udah punya cewek inceran tuh, Kek. Suruh aja dia nikah duluan." elak Arrazi melibatkan Dhafir sang Adik sepupu.
"Kamu duluan yang nikah, baru si Dhafir."
"Aku nggak mau nikah.....Aduh sakit Kek!" keluh Arrazi, lagi-lagi kepalanya di toyor oleh Dzaki. Namun kali ini toyoran Kakeknya lebih eras daripada sebelumnya.
Arrazi langsung menghindari dari Kakeknya.
"Biar sadar diri kamu!"
"Aku sadar kok Kek. Aku nggak butuh pendamping. Hidup aku aman-aman aja tuh. Lagian buat apa nikah, kalo cuma nambah masalah dan beban hidup." elak Arrazi.
Dzaki bertambah emosi. Cucunya yang satu ini memang keras kepala dan selalu berargumentasi yang membuat Dzaki kesal mendengarnya.
"Nggak gitu konsepnya Dabith. Nikah itu justru menambah kebahagian. Kamu akan bahagia mendapat istri dan kebahagian kamu akan bertambah saat kamu punya anak." kali ini Neneknya yang berbicara lembut. Perempuan yang terlihat sudah tua itu ikut bergabung di gazebo dengan membawakan kopi dan pisang goreng kesukaan kedua laki-laki yang disayanginya itu.
"Kalau itu sebuah kebahagian, kenapa yang aku rasakan sebaliknya, dari pernikahan Papi dan Mami, Nek?" ucap Arrazi dengan lirih.
Mengingat kegagalan di pernikahan orangtuanya dan ia menjadi korban dari kegagalan itu menggoreskan luka dan trauma di hati Arrazi. Maka dari itu, Arrazi tidak pernah berfikir untuk menikah.
Bahkan untuk berpacaran saja pun tidak pernah terlintas di benaknya. Yang ada di pikiran Arrazi selama hidupnya adalah bagaimana dia bisa bertambah hidup menggapai cita-cita dan juga menjalani profesinya sebagai seorang Dokter yang melayani masyarakat dengan baik. *That's it, nothing* *else*.
"Dabith memang tidak semua pernikahan itu berisi kebahagian, pasti ada luka dan derita di dalamnya. Tapi itu kembali ke masing-masing cara kita dalam menghadapi permasalahan umah tangga. Sabar dan ikhlas, itu kuncinya. Mungkin Papi dan Mami kamu memang tidak beruntung dalam pernikahan merek. Tapi Nenek harap, jangan jadikan alasan ketidakberuntungan mereka itu menjadikan alasan kamu untuk tidak menikah, Dabith."
***
Hampir 20 menit Daniah terdiam melamun sambil menatap kosong kearah es jeruk yang batu esnya sudah hilang, karena mencair. Namun tangannya bergerak memainkan sedotan esnya. Fisiknya memang sedang duduk di kantin RS.
Namun pikirannya kembali kepada kejadian semalam, saat Kakek membicarakan suatu hal yang akan merubah kehidupannya 180 derajat. Daniah benar-benar tidak menyangka kalau Kakeknya sangat memikirkan hidupnya.
Bahkan Kakeknya pun sudah memikirkan perihal jodoh untuk Daniah. Semalam itu, saat Daniah mendatangi Basim dan Dhiau yang sedang mengobrol di balkon, ternyata yang mereka bahas dalam obrolan it adalah masa depan Daniah.
Selesai makan, Daniah diajak mengobrol kembali oleh Kakeknya. Awalnya Basim begitu bersemangat menceritakan tentang teman seperjuangannya yang sukses memiliki perusahaan di bidang property, konversi kesehatan dan kuliner.
Daniah pun menyimak dengan baik cerita Kakeknya. Namun cerita itu berujung saat Basim menceritakan perihal janji antara dirinya dengan temannya itu. Basim dan temannya pernah mengikat janji untuk menjodohkan anaknya masing-masing, dengan maksud untuk mempererat hubungan silaturrahmi dan kekeluargaan diantara mereka.
Namun, perjanjian mereka gagal. Karena masing-masing anak mereka menikahi pilihannya sendiri. Untuk menepati janjinya yang sempat gagal itu, akhirnya mereka membuat ulang perjanjian, yaitu menjodohkan cucu-cucu mereka.
Kebetulan temannya Basim memiliki cucu pertama seorang laki-laki, Basim memiliki cucu pertama seorang perempuan. Dan cucu perempuan pertamanya adalah Daniah. Maka Daniah yang akan ia jodohkan kepada cucu temannya itu.
"Kakek kenal betul dengan cucu sahabat Kakek itu Daniah. Orangnya baik, santun, berpendidikan, mapan, rupawan lagi." ucap Basim menyebutkan kelebihan dari cucu sahabatnya yang akan di kenalkan kepada Daniah.
Daniah tidak langsung mengiyakan. Ia meminta waktu kepada Kakeknya untuk berpikir. Daniah tahu, Kakeknya tidak akan sembarangan memberikan cucu kesayangannya kepada orang yang salah.
Namun, rasanya Daniah pun tidak bisa langsung memutuskan, ada banyak hal yang harus di pikirkan, juga di bicarakan dengan orangtuanya. Karena ia belum bicara dengan Papi dan Maminya mengenai perjodohan yang di rencanakan Kakeknya.
Meskipun Daniah tahu, orangtuanya sudah lebih mengetahui hal ini. Tapi Daniah butuh pandangan dari kedua orangtuanya mengenai masa depannya. Beruntung Kakek tidak memaksanya untuk memberi jawaban langsung. Dan memberikan waktu untuk Daniah memikirkan dan mengambil keputusan.
"*Kakek sudah tua Yaya. Kakek ingin liat kamu menikah dan bahagia." ucap Kakek saat itu kepada Daniah. Dan sampai sekarang kalimat terakhirnya itu terus terngiang di telinganya*.
"*Kenapa gue jadi korban janjinya Kakek ya? Drama banget sih hidup gue. Apa karena gue jones kali ya, sampe Kakek mau jodohin gue? Eh, tapi emang gue nggak pernah pacaran sih. Pernah, tapi cuma 6 jam. Itu jga waktu gue SMA. Gue jomblo sampe sekarang juga gara-gara Papi ngelarang gue buat pacaran. Tapi kayaknya gue nggak asing sih sama nama temennya Kakek..Dzaki.....hmmm.....Dzaki...kek pernah dengar." Daniah bermonolog dalam hatinya. Kali ini alis Daniah mengerut sambil mengingat nama teman Kakeknya yang sempat di sebutkan oleh Kakeknya*.
Drrrrttttt......
HP Daniah bergetar, menginterupsi monolognya. Daniah segera mengambil HP dari jas putih yang di kenakannya.
"Hallo Ghaniyyah?" ucap Daniah saat ia sudah mengangkat panggilan telepon dari amanda.
"Nia, lo ke bangsal melati, sekarang!" ucap Ghaniyyah terdengar panik, selain suara Ghaniyyah, Daniah juga dapat mendengar suara kerusuhan di sana.
"Oke. Gue kesana sekarang." ucap Daniah. Ia langsung mematikan telepon. Lalu melangkah cepat menuju bangsal tempatnya bertugas.
Daniah meninggalkan es jeruk yang ia pesan. Namun belum ia minum sama sekali, untung saja sudah Daniah bayar saat ia memesan es jeruk itu. Saat Daniah sudah sampai bangsal, Ghaniyyah langsung menghampirinya dengan wajah panik.
"Nia, coba lo tenangin Bu Farida deh, dari tadi dia ngamuk. Selang imfusnya sampe lepas." ujar Ghaniyyah langsung menjelaskan permasalahannya.
Mendengar itu, Daniah langsung menghampiri pasiennya yang sedang mengamuk. Beruntung pasien di bangsal itu hanya ada Farida, karena kebetulan empat pasien yang pasien yang lain ada yang sudah pulang dan dipindahkan ke bangsal lain.
"Bu Farida..." panggil Daniah kepada perempuan paruh baya yang saat ini sedang duduk meringkuk dan menangis di pojok ruangan. Disekitarnya berserakan barang-barang hasil amukannya.
Farida adalah pasien mengalami Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD. Yaitu gangguan mental yang terjadi pada seseorang karena mengalami kejadian traumatis, seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang atau pertempuran, pelecehan seksual, kekerasan dan sejenisnya.
Farida adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Dia di selingkuhi suaminya juga mendapat tekanan dari keluarga suaminya karena belum hamil setelah 3 tahun menikah. Penyebab itu, Daniah ketahui dari teman Farida yang membawanya ke RS saat berobat.
Awalnya Farida hanya berobat karena ia mengeluhkan pusing di kepalanya yang tidak kunjung sembuh dan meminta temannya untuk mengantarkan RS. Namun saat Daniah melakukan wawancara mengenai kondisi Farida kepada temannya, barulah Daniah paham dengan permasalahan yang terjadi pada Farida.
Mendapati pasiennya mengalami PTSD, saat itu Daniah langsung konsultasi ke Dokter Fadiyah, sang psikiater di RS Harapan Keluarga. Daniah bekerja sama dengan Dokter Fadiyah dalam menangani Farida.
Daniah menghampiri Farida lalu duduk berlutut di hadapannya. Kemudian Daniah mengelus bahu Farida dengan lembut.
"Bu Farida, ini saya Daniah. Ibu tenang ya." ujar Daniah dengan lembut.
"Ibu aman di sini." lanjut Daniah.
Kepala Farida yang tadinya menunduk kini terangkat, lalu mata basahnya menatap tajam ke arah Daniah.
"Jahat! Licik! Perempuan iblis!" umpat Farida, bersamaan itu tangannya menjambak rambut Daniah.
Melihat itu, Ghaniyyah dan dua perawat yang ada di bangsal mencoba memisahkan Daniah dari Farida. Sedangkan Daniah tetap tenang menghadapi amukan Farida yang sedang menjambak rambutnya. Ia juga berusaha melepaskan tangan Farida dari rambutnya.
"KAMU JAHAT! KEJAM!" teriak Farida.
"Bu lepasin teman saya Bu!" ujar Ghaniyyah berusaha melepaskan tangan Farida dari rambut Daniah.
"Mbak Fahimah tolong bius Mbak!" pinta Daniah.
Fahimah yang namanya di panggil Daniah segera melakukan perintah. Dengan buru-buru ia pergi untuk mengambil suntikan dan obat bius. Farida masih tidak melepaskan tangannya yang menjambak rambut Daniah, ia terus memaki Daniah.
Seolah Daniah adalah perempuan yang menjadi orang ketiga di rumah tangganya, sehingga menyebabkan suaminya pun berani melakukan kekerasan kepadanya.
"Bu tolong lepasin saya Bu." pinta Daniah yang sudah tidak kuat menahan sakit di kepalanya.
Sedang kan Ghaniyyah dan Ghadah masih terus mencoba melepaskan Daniah dari amukan Farida. Farida melepaskan tangannya dari rambut Daniah. Ghaniyyah dan Ghadah menghela nafas lega, karena berhasil melepaskan Daniah dari cengkraman Farida.
Kemudian Ghaniyyah dan Ghadah menahan badan Daniah yang sudah sempoyongan, karena sakit di kepalanya. Selang beberapa detik kemudian, Farida kembali menyerang Daniah dengan tiba-tiba.
Ia menarik kedua bahu Daniah dan membanting tubuhnya ke lantai. Naasnya kepala Daniah sempat terbentur sudut nakas, lalu Daniah pingsan.
"DANIAH!!"
ha..ha...ha