Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ucapan Dari Yang Terkasih
“Selamat ulang tahun, Edzhar.” Dia tersenyum kemudian memberikan bingkisan tersebut kepada Edzhar. “Ini hanya dariku, Levin tidak ikut berkontribusi loh.”
Edzhar sekali lagi mengujar kata terima kasih dan memberikan penawaran basa basi untuk makan siang bersamanya.
“Mau makan siang bersama?” tawar Edzhar.
“Ya boleh, kebetulan si Levin hari ini sedang absen. Entah kenapa dia tidak masuk. Pasti membolos untuk main di arcade,” ujar Kimber.
Edzhar hanya terkekeh, sebenarnya dia dan Levin sudah saling bertukar kata lewat telepon. Tetapi melihat Kimber yang tidak tahu kabar lelaki itu, Edzhar memilih untuk tidak menceritakan apa-apa. Pemuda itu kadang curiga dengan Kimber yang mungkin diam-diam memiliki perasaan khusus pada Levin. Sejak dulu, diam-diam mereka berdua terlihat seperti memiliki kesempatan untuk meningkatkan hubungan mereka ke arah yang lebih. Tapi hingga kini mereka masih tetap awet bersahabat.
Sebetulnya Kimber tidak begitu dekat dengan Edzhar pada awalnya. Tapi karena, Levin kedapatan sering bersama dengannya. Otomatis prilaku gadis itu berubah sedikit lebih ramah dan terkadang menegurnya sesekali. Hubungan yang ada diantara mereka berdua terjalin begitu saja dengan label teman meski dalam konteks sekadar formalitas. Alias teman dari teman.
Hal yang sama juga sebenarnya belaku untuk Levin. Edzhar mengenal pemuda itu karena dia sering dekat dengan Dizza. Dari yang dia ketahui Levin justru lebih lama berteman dengan gadis itu ketimbang Kimber. Intinya, dari circle tersebut, hanya Edzhar yang orang luar. Sebab Dizza dan Kimber nyatanya sudah saling mengenal sejak SMP.
Tapi sudahlah itu bukan hal yang perlu Edzhar ketahui seluk beluknya pula.
Selama itu berpengaruh positif terhadap kehidupannya dalam bersosialisasi, menurutnya itu tidak masalah.
“Mungkin saja mengingat kebiasaannya itu,” sahut Edzhar yang disambut dengan anggukan oleh Kimber.
“Ya, kau memang benar. Orang itu sudah berandalan sejak kami saling mengenal. Tidak heran kebiasaan buruknya masih terbawa sampai dewasa,” tambah Kimber lagi. Dia kemudian melirik sesaat pada bingkisan yang telah dia berikan kepada Edzhar. “Ngomong-ngomong apa aku orang pertama yang memberimu kado?” tanya Kimber lagi karena dia tidak melihat Edzhar membawa kado.
Pria itu menggeleng. “Pagi tadi aku menerima hadiah dari Daneth, kadonya aku simpan di loker soalnya aku masih ada kelas lagi.”
“Begitukah? Aku keduluan si ratu lebah ternyata,” balas Kimber sambil terkekeh dengan cara yang masam.
Suasana diantara mereka berdua semakin berkembang. Konversasi yang semula monoton mulai beranjak seru karena menyentuh topik sana-sini. Termasuk juga soal kisah masa lalu diantara Kimber, Levin dan Dizza. Edzhar dengan senang hati menyimak seluruh rangkaian cerita dari gadis itu tanpa jemu.
Dan ketika dia mendapati bahwa kelasnya akan dimulai lima menit lagi dengan berat hati Edzhar meminta undur diri lebih dulu. “Perbincangan kita sangat menyenangkan Kimber, tapi sayang sekali kelasku hampir dimulai lima menit lagi. Jadi, aku harus pergi sekarang.”
“Oh iyakah? Ya ampun aku sampai lupa waktu. Baiklah kalau begitu silahkan duluan. Kelasku masih setengah jam lagi,” kata Kimber sambil melirik ke arah ponselnya hanya untuk sekadar mengecek waktu.
“Haha, obrolan kita terlalu seru jadi mau bagaimana lagi kan? dan untuk makan siangnya biar aku yang traktir karena kau sudah repot-repot memberiku hadiah,” timpal Edzhar sambil menaikan bingkisan itu ke udara yang membuat senyuman Kimber merekah.
“Hei kau tidak harus sampai mentraktirku begitu, Edzhar.”
“Tidak apa-apa, kapan lagi aku membelikanmu makanan. Kalau begitu sampai jumpa,” kata Edzhar mulai melangkah menjauh menuju ke kasir dan membayar semua tagihan.
Ya, setidaknya dia bersyukur masih menyimpan beberapa lembar uang di dompetnya untuk mentraktir makan siang Kimber.
***
Pukul lima sore, itulah informasi yang Edzhar dapati dari arloji yang terpasang di tangan kirinya. Edzhar bergegas keluar kelas setelah sang dosen undur lebih dulu. Dia melangkah dengan gerak cepat menuju ke pelataran parkir untuk kemudian segera mengendarai kuda besi miliknya.
Setelah keluar ke jalan raya dia mengabaikan kakofoni tak terarah yang bersebab dari uaran suara-suara entitas lainnya di sepanjang jalan. Entah itu orang yang sedang berbincang di trotoar, suara pedagang, hiruk pikuk klakson dan deru mesin baik dari motor maupun mobil. Isi kepalanya benar-benar tidak bisa tenang hanya karena satu eksistensi semata.
Ketika tiba di depan lampu rambu lalu lintas, Edzhar menghentikan motornya karena lampu berwarna merah. Saat itulah dia menghela napas sesaat. Sudah terlalu sore untuk berharap. Di kampus dia tidak bertemu Dizza dan dia juga kepalang sibuk sampai tidak sempat mengirimnya pesan. Ada terlalu banyak gangguan dari sekitar. Entah itu berbincang di telepon dengan Levin atau bahkan konversasi super panjangnya dengan Kimber. Ya, kalau boleh dibilang Edzhar memang tidak pernah terang-terangan soal perasaannya. Maka dari itu dia tidak bisa sejujur itu memperlihatkan dan terbuka akan perasaannya sendiri karena dia tahu betul konsekuensi dari itu semua. Tapi …
“Sudah terlalu sore untuk melupakan ulang tahunku,” bisik pemuda itu diam-diam.
Kemana sebenarnya kau?
Tiba di rumah Edzhar sebelum membuka pintu tiba-tiba ada kiriman paket, pria itu menerimanya dengan sumringah. Apalagi setelah dia melihat dari siapa paket itu dikirim. Segera dia masuk ke dalam dan menuju ke dapur untuk membongkar isinya. Dan saat itulah ada panggilan telepon masuk dan itu berasal dari orang kesayangannya.
“Oh, Ibu!”
Edzhar segera mengubah posisinya, menegakan tubuh di ranjang seolah sang ibu bisa melihatnya sekarang. Dia menutup mata untuk mendengarkan secara seksama suara ibunya tersayang.
“Edzhar maaf Ibu telat menghubungimu,” katanya.
Edzhar tidak mampu menyembunyikan senyum dan wajah hangatnya. Ibunya adalah seorang single mother yang selalu sibuk, makanya ketika dia mendapatkan kesempatan ditelepon seperti ini oleh ibunya Edzhar langsung merasa sumringah.
“Tidak apa-apa, Ibu. Seharusnya Ibu kirim pesan saja kalau sedang sibuk.”
“Tidak, hari ini Ibu dapat shift pagi,” balas wanita itu lagi. “Kamu sudah pulang? Sudah makan?”
Edzhar menganggukan kepala terlampau bersemangat. “Huum, aku sudah dirumah dan aku juga sudah makan. Hari ini menu makanan di kampus enak sekali, Bu.”
“Syukurlah kalau begitu. Kiriman dari ibu sudah tiba belum?”
“Sudah, sedang aku bongkar ini.” Kurva melengkung di bibir tipis Edzhar. Kedua matanya berbinar senang ketika melihat isinya yang adalah masakan rumah. Masakan buatan ibunya yang sangat Edzhar rindukan. “Terima kasih ya, Bu. Pasti rasanya enak sekali. Aku tidak sabar mencicipinya.”
“Sama-sama, selamat ulang tahun ya. Jaga diri baik-baik di sana, dan jangan lupa pulang kalau kau punya waktu luang yang panjang. Ibu kangen padamu.”
Lengkungan kurva itu kian melebar. Edzhar menggenggam erat ponselnya saking kesenangan. “Terima kasih Ibu. Aku sayang Ibu.”
“Iya, ibu juga menyayangimu, Nak.”
Dan panggilan telepon itu berakhir sudah.
Setelah itu kembali raut muka Edzhar ditekuk lagi. Sekarang jika begini saja, dia merasa kesepian.
“Mungkinkah dia lupa ya?”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱