Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi ---
Sudah dia duga, pasti masalah itu yang akan dibahas. Om Reksa adalah papanya Lila. Sekaligus relasi kerja. Perusahaannya dan perusahaan om Reksa ada kerjasama, sejak perusahaan ini dipegang papanya. Wajar saja, papanya dan Om Reksa bersahabat.
"Tidak ada, Om," sahut Aksa tenang.
Rikho yang sadar diri segera menyingkrih. Ini diluar pekerjaan, dia tidak berhak menguping.
"Sebenarnya om tidak mau ikut campur, mau kalian ada masalah atau tidak, om juga tidak ada hak untuk ikut campur. Tapi ...."
Pria paruh baya itu menghentikan ucapannya.
"Lila sakit. Dan sedang di rawat di rumah sakit."
Raut Aksa biasa saja. Tidak terkejut, juga tidak senang. Biasa saja.
"Sudah sekitar semingguan, atau lebih sepertinya, entah pulang darimana, Lila mogok makan. Kerjaannya cuma mengurung diri di kamar, nangis. Setiap ditanya, diam saja, tidak menjawab. Akhirnya dia jatuh sakit. Dan sekarang dirawat di rumah sakit."
Seminggu, berarti bisa jadi setelah pulang dari kantornya. Tapi dia rasa, dia tak ada andil dengan sakitnya Lila.
Om Reksa menatap Aksa serius. "Dia hanya menyebut namamu, Sa."
Aksa tersenyum tipis.
"Dia ingin kamu menjenguknya."
Seperti yang dia duga. Arahnya pasti kesana.
"Maaf, om. Tapi saya tidak bisa."
"Kenapa? Bukannya kalian dekat?"
"Sebatas teman biasa."
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak menjenguknya? Bukannya kalian teman?"
"Maaf, om. Tapi saya----"
"Saya tahu yang sebenarnya, Aksa. Kalian berpacaran, kan?"
Aksa diam.
"Kalian lebih dari teman. Bahkan setelah kamu menikah, hubungan kalian masih berlanjut."
"Itu dulu. Sekarang tidak lagi," Aksa menjawab dengan rautnya yang tetap tenang.
"Menurutmu seperti itu. Tapi, mungkin belum untuk Lila. Dia sakit karna kamu."
"Itu karna dia belum menerimanya."
"Tentu. Setelah Lila memberi semua yang dia punya, kamu mau pergi begitu saja?" tatapan Reksa menajam.
Aksa diam. Entah bagaimana dia mengelaknya.
"Saya tahu semuanya, Sa. Saya marah, itu pasti. Tapi selama ini saya diam, saya menahannya. Karna apa? Karna Lila yang menghentikannya. Dia yakin, kamu akan bertanggung jawab nantinya. Tapi, sepertinya kamu mudah berpaling."
"Itu tidak seperti yang om kira."
"Apalagi? Kamu mau mengelak?"
"Saya dan Lila memang pernah berpacaran. Tapi untuk dikatakan seperti yang om maksud, saya rasa itu berlebihan."
"Jangan berbohong, kamu, Aksa! Atau, saya berikan bukti-buktinya pada perempuan itu."
Tangan Aksa mengepal. Napasnya memberat.
"Maksud Om?" tukasnya tak suka.
"Kamu seharusnya paham."
Reksa berbalik. "Temui Lila. Mungkin saya akan mempertimbangkannya," tukasnya, tanpa menoleh. Melanjutkan langkahnya.
Aksa menghembuskan napas kasar. Hubungannya baru saja membaik. Dan yang dia hadapi sekarang adalah Laras yang bar-bar, bukan Bunga yang penerima. Laras pasti tak segan untuk meninggalkannya saat ini juga, kalau dia berani berhianat.
Arrh! Apa yang harus dia lakukan?
.
.
Ternyata sampai sore Aksa belum kembali ke kantor. Laras ke ruangan Aksa untuk mengajaknya pulang. Tapi pria itu tak ada. Sekretarisnya juga gak ada.
"Apa dia belum balik, ya? Masih ada kerjaan di luar?" gumamnya. Mencoba menghubungi Aksa, tapi nomornya tak aktif. Laras menimang-nimang ponselnya, berfikir.
"Tunggu atau enggak ya? Tapi, kalau dia pulang malam gimana? Terus, kalau gue pulang duluan, ntar dia dateng gimana?" ujarnya, bicara sendiri.
"Coba aja deh. Tunggu setengah enam. Kalau belum balik dan gak ada kabar, ya gue pulang duluan aja," tukasnya.
Laras merebahkan badannya ke sofa. Tubuhnya letih, dan dia mengantuk. Pikirnya, tidur sebentar tak masalah. Nanti kalau Aksa pulang, pasti dia dibangunkan.
Tubuhnya letih. Membuat tidurnya lelap. Jarum jam terus berdetak memutar. Mengganti menit ke menit hingga pindah angka. Laras bergerak cepat, berganti posisi. Tapi tubuhnya lupa kalau saat ini sedang tidur di sofa. Akibatnya ....
Brugh!
Tubuhnya menghantam lantai. Spontan kantuknya hilang. Berganti rasa sakit tak terkira.
"Aww ...." ringisnya, memegang punggungnya.
Awalnya dia masih menghayati rasa sakitnya, hingga matanya menangkap angka di jam dinding. Netranya membulat seketika.
"Astaga! Jam tujuh!" memeriksa ponselnya. Benar. Angka jam ponselnya menunjuk angka tujuh lewat lima menit.
Desahan berat terembus. Tak ada pesan atau panggilan. Aksa belum pulang, juga tidak mengabarinya.
"Apa mungkin pekerjaannya padet banget ya?" tukasnya, menenangkan diri. Mencoba tetap berfikir positif, meski ada sisi hatinya yang sempat menduga-duga.
Meski kecewa, tapi akhirnya Laras memutuskan untuk pulang saja. Nomor Aksa masih belum aktif, yang ada dia hanya akan menunggu ketidak-pastian.
Dengan memesan taksi online, dia pulang.
.
.
Sampai rumah, Laras tidak langsung pulang. Dia hanya membersihkan diri, dan kembali menunggu Aksa di balkon. Hembusan dingin angin malam bahkan dia abaikan. Tatapannya berkali-kali mengecek arah gerbang, dan juga ponselnya. Tetap belum ada kabar.
Entah berapa kali helaan berat nan kasar lolos darinya. Sepertinya malam ini jiwa Bunga mendominasinya. Akal sehatnya mati-matian menaruh curiga, tapi jiwa Bunga membuat kecurigaan itu melemah.
Sebentar lagi dia pasti pulang. Iya, kan?
Pengharapan yang ternyata tak kunjung terpenuhi.
Pukul dua belas, dia memutuskan masuk. Meski awalnya matanya enggan memejam, tapi kesadarannya tetap perlahan menghilang.
Dalam mimpinya dia menyaksikan Aksa kembali berselingkuh dengan Lila. Keduanya berada di dalam mobil, tertawa mengejeknya.
Dan, yang membuatnya terkejut, dia melihat sosok dirinya terbaring dengan tubuh berlumuran darah. Tepat berada di depan mobil Aksa dan Lila!