"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangku dan Roti
Kakek yang sudah sepuh itu terhenti sejenak ketika mendengar suara memanggilnya. Dengan langkah yang pelan, ia menengok ke arah kiri dan melihat dua pemuda duduk di dekatnya. "Iya nak? Kalian yang memanggil kakek?" tanya kakek dengan suara serak, namun penuh kehangatan, kepada Hamzah dan Robi.
“Iya kek, saya yang memanggil kakek," jawab Hamzah, wajahnya berseri-seri. Ia berdiri dari tempat duduknya, menunjukkan perhatian yang tulus. "Kakek mau kemana?" sambungnya.
“Kakek cuma ingin mencari tempat duduk, nak. Kaki kakek tidak kuat untuk berdiri lama," ujar kakek sambil mengusap-usap lututnya yang mulai keriput.
Hamzah segera merespons, "Kakek, sekarang kakek duduk saja di tempat Hamzah. Kakek tidak usah lagi mencari-cari bangku mana yang masih kosong," ucapnya dengan nada memohon, matanya berbinar penuh harapan.
“Beneran nak? Tapi ini kamu mau pergi kemana?” tanya kakek sebelum duduk, ragu akan tawaran tersebut.
“Hamzah mau ke Jakarta kek," jawab Hamzah dengan semangat.
Kakek mengernyitkan dahi mendengar nama kota besar itu. “Perjalanan ke Jakarta masih jauh nak, lebih baik kamu yang duduk biar kakek mencari tempat duduk yang masih kosong."
“Kalau kakek tujuannya kemana?" sahut Robi dari tempat duduknya, penasaran.
“Kakek mau ke Jakarta nak," jawab kakek dengan nada tenang.
Mendengar jawaban itu, Hamzah terkejut. “Kek, kakek juga mau ke Jakarta? Lebih baik kakek duduk di tempat Hamzah. Kalaupun kakek menolak dan ingin mencari tempat duduk lain, lihat kek, semua tempat duduk sudah penuh. Lebih baik kakek duduk di sini," ucap Hamzah sembari menggenggam tangan kakek dan berusaha membantunya untuk duduk.
Kakek tersenyum lebar mendengar perhatian Hamzah. “Iya nak, terima kasih banyak ya nak," katanya dengan suara lembut penuh rasa syukur.
Robi yang menyaksikan momen itu hanya bisa bergumam dalam hati, “Sungguh mulia akhlak Hamzah. Padahal perjalanan ke Jakarta masih jauh, tetapi ia rela berdiri untuk orang lain. Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya."
Di tengah keramaian gerbong yang bising dan hiruk-pikuk penumpang lainnya, sebuah ikatan sederhana antara generasi terjalin. Kakek dan dua pemuda itu berbagi cerita dan tawa, menciptakan momen berharga di perjalanan mereka menuju Jakarta.
Di dalam kereta yang bergetar pelan, suasana terasa hangat meski hawa dingin berhembus lembut dari AC. Hamzah, yang duduk di samping sahabatnya Robi, memperhatikan seorang kakek yang baru saja duduk di tempatnya. Kakek itu meluruskan kakinya dan menghela napas lega, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Hamzah menatap kakek tersebut dengan rasa iba. Kakek itu tampak sangat tua, mungkin sekitar tujuh puluh tahun. Tubuhnya kurus dan langkahnya sedikit membungkuk, menandakan perjalanan panjang yang telah dilaluinya.
Hamzah dalam posisi berdiri dan Robi duduk berdampingan dengan kakek, Hamzah dan Robi terbenam dalam percakapan yang penuh rasa ingin tahu. Suasana di dalam kereta terasa hangat, meskipun suara deru mesin mengisi udara. Tiba-tiba, pandangan mereka tertuju pada seorang kakek yang duduk di sebelah sahabatnya itu. Wajahnya yang teduh menambah kesan bijak di dalamnya.
"Ini kakek ke Jakarta sendirian?" tanya Hamzah, suaranya penuh rasa ingin tahu.
"Iya, nak. Kakek sendirian," jawab kakek itu dengan senyum ramah, matanya berkilau seolah menyimpan seribu cerita.
Hamzah terkejut mendengar jawaban itu. "Kakek memangnya mau ngapain ke Jakarta sendirian?" ucap Robi, penasaran.
"Kakek mau ke rumah anak kakek yang tinggal di Jakarta. Lebaran tahun ini ia tidak bisa pulang, kakek kangen dengan anak dan cucu kakek. Makanya kakek berniat ingin pergi ke sana," jelas Mbah Dul, sapaan akrab untuk kakek itu, sambil menatap jauh ke luar jendela seolah membayangkan keluarga yang dirindukannya.
"Tapi, anak kakek yang ada di sana apakah tahu kalau kakek sekarang pergi ke Jakarta?" tanya Hamzah lagi, khawatir akan keselamatan sang kakek.
"Tidak tahu, nak. Kakek sengaja tidak ingin memberitahu mereka," jawab Mbah Dul sambil tersenyum misterius.
"Eh, kalian berdua mau ke Jakarta ada urusan apa kalau kakek boleh tahu?" Mbah Dul melanjutkan dengan rasa ingin tahu yang sama.
"Jadi kita berdua mau ke Inggris kek, mau kuliah di sana. Dan tujuan ke Jakarta karena nanti kita berangkat dari bandara Soekarno-Hatta," Hamzah menjelaskan dengan semangat membara di wajahnya.
Mendengar hal itu, Mbah Dul terkejut. "MasyaAllah, jadi ini kalian berdua mau kuliah ke luar negeri?"
"Iya kek, kita akan keluar negeri kek. Oh iya, sebelumnya kakek namanya siapa ya kek?" tanya Hamzah dengan antusiasme yang tak terbendung.
"Subhanallah, hebat kalian nak. Kakek namanya Abdul, biasanya kakek dipanggil Mbah Dul," ucap Mbah Dul dengan senyuman bangga yang mengembang di wajahnya.
"Iya kek, minta do’a dan restunya ya kek," lanjut Hamzah penuh harap.
"Oh iya kek, nama saya Hamzah dan sahabat saya yang duduk di sebelah kakek namanya Robi," sambung Hamzah memperkenalkan diri dan sahabatnya dengan bangga.
"Ini kalian berdua rumahnya mana?" tanya Mbah Dul lagi dengan antusiasme yang tak kunjung padam.
"Kalau Hamzah tinggal di Sawah Lor kek," jawab Hamzah dengan percaya diri.
"Kalau nak Robi?" sambung Mbah Dul dengan rasa ingin tahu semakin mendalam.
"Kalau saya dulu lahir di Sawah Lor kek, satu desa dengan Hamzah. Cuma waktu saya lulus sekolah dasar, saya dan keluarga pindah ke Jogja," jawab Robi sambil membuka tutup botol minumannya.
Mbah Dul tertawa kecil mendengar penjelasan itu. "Rupanya kalian ini sahabat dari kecil ya. Kakek jadi ingat sahabat kakek. Dulu sewaktu kecil, kita sering mencuri buah di kebun tetangga kakek."
"Ngomong-ngomong, kakek rumahnya di mana kek?" tanya Robi penasaran.
"Rumah kakek di desa Kebon Kidul, masih satu kecamatan dengan Sawah Lor," jawab Mbah Dul dengan bangga.
"Wah, berarti dekat dong kek dengan desa kita," sahut Hamzah ceria.
"Iya nak. Kapan-kapan kalau kalian sudah pulang dari luar negeri, mampir ke rumah kakek," kata Mbah Dul dengan penuh harapan dan kerinduan akan masa lalu yang indah.
"Hehehe, iya kek insya Allah," jawab Hamzah sambil tersenyum lebar.
"Kek, ini perjalanan masih panjang. Lebih baik kakek beristirahat terlebih dahulu," saran Hamzah lembut ketika melihat Mbah Dul mulai mengantuk.
"Iya nak, kakek juga sedikit mengantuk. Yasudah kalau begitu kakek tidur dulu," kata Mbah Dul sambil memejamkan mata, wajahnya tampak tenang seolah sudah menemukan tempat nyaman dalam perjalanan ini.
"Iya kek, silakan kek," balas Hamzah sambil melihat Mbah Dul tertidur pulas. Dalam hati Hamzah berharap agar perjalanan ini membawa mereka semua pada kisah-kisah baru yang lebih indah di masa depan—sebuah petualangan yang tak hanya menjanjikan ilmu pengetahuan tetapi juga persahabatan dan kenangan tak terlupakan.
Setelah mempersilakan Mbah Dul untuk beristirahat, Hamzah mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Ia berdiri di antara penumpang lain, di mana cahaya lembut dari lampu dalam kereta menciptakan suasana hangat dan tenang. Di sekelilingnya, orang-orang tampak tenggelam dalam dunia mereka masing-masing. Seorang pemuda di sebelahnya asyik menatap layar ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat, sementara di sudut lain, sepasang remaja terlibat dalam pertarungan game yang tampaknya sangat seru. Tak jauh dari mereka, seorang wanita paruh baya terlelap, napasnya teratur dan damai.
Hamzah memalingkan pandangannya ke arah jendela. Pemandangan luar yang menakjubkan menyajikan langit biru cerah dengan awan-awan putih berarak pelan. Seketika, ingatan akan senyum manis Ririn dan lambaian tangannya saat ia melewati rumahnya pagi tadi menghantui benaknya. Senyum itu, seolah menjadi cahaya dalam hidupnya yang kadang terasa kelam.
Dengan hati yang bergetar, Hamzah merogoh tasnya dan mengeluarkan pena serta buku catatan kecil yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Ia tak pernah bisa jauh dari alat tulisnya; pena dan kertas adalah teman setianya dalam mengungkapkan perasaan. Dengan penuh semangat, ia mulai menuliskan sajak yang terlintas di benaknya.
“Andai akulah kosong itu,
Akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku.
Di antara orang berlalang-lalu,
Ada masinis dan para portir.
Di antara kenanganku padamu,
Ada yang berpangkal manis di getir.”
Hamzah berhenti sejenak, menatap keluar jendela lagi, membiarkan sinar mentari menerpa wajahnya. Ia melanjutkan,
“Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
Kunang-kunang di gerumbul malam.
Serupa harapanku padamu yang lindap,
Tinggal kenang timbul-tenggelam.”
Ia merasakan setiap kata yang dituliskannya mengalir dari hatinya. Dalam kebisingan ruangan itu, Hamzah merasa seolah dunia luar menghilang.
“Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
Hanya bersama tapi tak bertemu.
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
Terlalu berat menahan beban.”
Sajak itu semakin mendalam, menggambarkan kerinduan dan harapan yang terpendam dalam dirinya.
“Di perempatan kau akan bertemu garis-garis lain,
Begitu pula aku.
Kau akan jadi kemarin,
Kukenang sebagai pengantar besokku.”
Saat pena Hamzah berhenti menari di atas kertas, ia merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Dalam setiap bait yang ditulisnya, ada harapan untuk masa depan—masa depan di mana ia dan Ririn bisa saling bertemu tanpa batasan waktu dan ruang. Dengan senyum tipis menghiasi wajahnya, Hamzah menutup buku catatannya dan menatap kembali ke luar jendela, membiarkan impian-impian itu terbang bebas seperti burung-burung di langit biru.
“Hamzah, Kamu tadi sudah sarapan belum?” tanya Robi, dengan nada khawatir.
“Alhamdulillah, sudah, Rob. Jangan bilang kamu pingin turun dan mencari warteg, hahaha,” sahut Hamzah sambil tertawa lepas. Tawa Hamzah membuat Robi ikut tertawa.
“Yeee, mana ada! Ini lho, kalau kamu tadi belum sarapan, aku bawa roti,” jawab Robi sambil mengeluarkan sebungkus roti dari tasnya.
“Sudah, Rob. Simpan saja dulu. Mendingan rotinya nanti untuk Mbah Dul saja,” kata Hamzah dengan nada lembut.
ucapan sahabatnya itu, Robi tersenyum dan berkata, “Beruntung aku punya teman seperti kamu. Aku sungguh terkesan dengan akhlakmu. Kamu rela berdiri padahal kamu sendiri juga lelah, dan perjalanan masih jauh pula. Terus ini juga, kamu lebih memilih kelaparan asal melihat orang lain dapat merasakan kenyang.”
“Robi, sekarang begini. Mana ada orang yang tega melihat seorang kakek tua berdiri sampai ke Jakarta?” balas Hamzah dengan serius.
“Itu sekelilingmu! Semuanya pada cuek sama Mbah Dul,” sahut Robi dengan sedikit nada kesal.
Hamzah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata sahabatnya. Kemudian ia melanjutkan, “Dan juga, mana ada yang bisa melihat orang lain kelaparan sedangkan kita dalam keadaan kenyang? Ini seorang kakek pula.”
“Iya, aku faham itu. Tetapi lihat di sekelilingmu! Mereka pada asyik sama kesibukannya masing-masing, sedangkan mereka tidak sadar jika ada pahala di depan mata,” ucap Robi dengan nada frustrasi.
“Sudah tidak apa-apa sahabatku, biarkan saja mereka. Yang penting kita tidak seperti itu. Ingat pesan dari Pak Kyai Rozi kepada kita sewaktu mengaji dulu: ‘Bagaimanapun keadaan kamu, entah senang atau susah. Jika ada seseorang yang membutuhkan bantuanmu, bantulah. Sebab Allah akan membantumu di saat kamu sedang membutuhkan bantuan’,” jelas Hamzah dengan penuh keyakinan.
“Iya, iya,” jawab Robi singkat yang masih dalam keadaan kesal.
“Sstttt! Sudah, nanti Mbah Dul malah kebangun karena suara berisik kita,” ucap Hamzah menutup obrolan mereka.
Tanpa mereka sadari, Mbah Dul yang duduk di dekat Robi, ternyata tersenyum mendengar percakapan dua sahabat itu. Selama ini ia hanya memejamkan matanya dan mendengarkan dengan seksama. Senyum di wajahnya menunjukkan betapa bahagianya ia mendengar kebaikan hati Hamzah.
Mbah Dul adalah seorang kakek tua yang telah menjalani banyak liku kehidupan. Namun hari ini terasa istimewa baginya; mendengar percakapan dua pemuda yang peduli kepada sesama membuat hatinya hangat.
Saat Hamzah dan Robi melanjutkan obrolan mereka tentang impian dan harapan masa depan, Mbah Dul merasa terinspirasi oleh semangat mereka. Ia ingin berbagi kisah hidupnya kepada mereka—kisah tentang perjuangan dan harapan yang tak pernah padam meski usia terus bertambah.
Ketika percakapan berlanjut, Mbah Dul membuka matanya perlahan dan memutuskan untuk bergabung dalam obrolan hangat tersebut. Dengan senyuman tulusnya, ia berkata, “Anak-anak muda, bolehkah saya ikut mendengarkan cerita kalian?”
Kedua sahabat itu terkejut namun segera menyambut kehadiran Mbah Dul dengan penuh rasa hormat dan antusiasme. Hari itu pun menjadi momen berharga bagi mereka bertiga—sebuah pertemuan yang mengajarkan arti dari kepedulian dan kasih sayang antar generasi.
***