NovelToon NovelToon
Satria Lapangan

Satria Lapangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: renl

Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.

Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6

Bab 6 Ara dan bagas

Bagas menghela napas panjang, pura-pura cemberut sambil melipat tangan di dadanya. “Parah sih, Ma. Masa anak gadisnya aja yang dipeluk? Bagas nggak dipeluk, gitu. Udah ah, Bagas ngambek sama Mama,” ujarnya sambil memalingkan wajah pura-pura kesal.

Ara tertawa kecil, matanya berbinar. “Kasian deh, iri bilang dong. Dapat pelukan dari Bunda blekk,” godanya sambil menjulurkan lidah ke arah Bagas.

Nyonya Wijaya menggelengkan kepala sambil tersenyum, menatap kedua anak remaja itu. “Udah, kalian ini kenapa sih? Kalian berdua itu anak Mama, jadi jangan pada rebutan, ya,” ujarnya, mencoba menenangkan suasana.

Namun, alih-alih memeluk mamanya, Bagas malah melingkarkan tangannya pada Bik Asih. “Bik Asih kan mama Bagas juga. Iya kan, Bik?” kata Bagas sambil tersenyum dan mengedipkan matanya ke arah Bik Asih.

Bik Asih tersenyum kecil, menahan tawa. “Aduh, Den Bagas. Nakal sekali, kamu,” ujarnya lembut, merasakan kehangatan kekeluargaan di dalam rumah itu.

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakang. “Kalian ini kenapa, sih?”

Bagas segera melepaskan pelukannya dan menoleh. “Eh, Papa pulang!” serunya, menyambut ayahnya dengan senyum lebar, sementara tangannya masih menggenggam lengan Bik Asih.

Ara buru-buru berdiri tegak, menyapa dengan sopan. “Malam, Om,” ucapnya dengan suara lembut sambil menyalami dan mencium telapak tangan ayah Bagas.

Pandangan lembut terpancar dari mata ayah Bagas saat ia mengusap kepala Ara. “Eh, ada Ara. Sehat, kan, kamu, Ra?” tanyanya.

Ara mengangguk. “Alhamdulillah, sehat, Om.”

Ayah Bagas menatap putranya dengan serius. “Bagas, kamu harus ingat ya, jaga jarak sama Ara. Kalian udah remaja, bukan anak-anak lagi. Udah nggak bisa tidur di kasur yang sama lagi,” lanjutnya tegas. Ia kemudian menoleh ke Ara. “Ara, kamu tidur di kamar tamu malam ini. Dan Bagas, jangan coba-coba jahil sama anak gadis Papa, atau kamu kena hukuman. Paham?” ancamnya sambil menatap Bagas dengan pandangan tajam.

Bagas hanya mengangguk, sedikit tersipu sambil melirik Ara yang menahan tawa kecil di balik hijabnya.

Setelah menikmati kehangatan percakapan di dapur, keluarga itu akhirnya pindah ke ruang tamu. Mama Bagas tak melepaskan genggaman tangannya dari Ara, menunjukkan kasih sayang yang begitu tulus. Mereka berbincang tentang banyak hal, mulai dari keluarga di Bandung hingga keseharian Ara. Ayah Bagas pun turut serta, menanyakan tentang sekolah Ara dan kegiatan sehari-harinya. Tawa kecil sering kali terdengar saat mereka menceritakan pengalaman-pengalaman lucu.

“Jadi, gimana sekolah di Bandung, Ra?” tanya ayah Bagas, senyumnya mengembang.

“Alhamdulillah, Om. Semuanya lancar, walaupun tugasnya banyak,” jawab Ara sambil tersenyum, matanya berbinar penuh semangat.

Ayah Bagas mengangguk puas, lalu melirik ke putranya. “Kalau Bagas, ya seperti biasa. Nggak usah ditanya. Kalau nggak main HP, pasti main game di kamar. Apalagi kalau libur, bisa-bisa 24 jam di depan PC. Kalau nggak, ya nongkrong sama temannya. Kegiatannya itu-itu saja,” kata ayah Bagas sambil tertawa kecil, membuat suasana semakin riuh.

Bagas yang mendengar itu langsung mengangkat wajahnya dengan ekspresi tak percaya. “Papa, kok begitu sih? Itu kan nggak sepenuhnya benar!” Bagas mencoba membela diri, namun sebelum kata-katanya selesai, mama Bagas memotong.

“Sudah, Gas. Memang itu kenyataannya, kok. Jadi nggak perlu berdebat,” ujar mama Bagas sambil tersenyum, menyindir putranya dengan lembut.

Bagas merasa terpojok dan akhirnya menyerah. Ia berdiri sambil menghela napas panjang. “Udah ah, Bagas mau ke kamar. Kayaknya nggak ada yang bela Bagas di sini,” katanya, pura-pura kesal. Namun, sebelum pergi, ia dengan iseng menarik ujung hijab Ara.

“Bagas!” teriak Ara, sedikit terkejut. Namun, tak lama kemudian, senyuman malu tersungging di wajahnya melihat kejahilan Bagas.

Semua yang ada di ruang tamu itu tertawa kecil, menikmati kehangatan momen sederhana yang terasa sangat berarti.

Setelah melangkah santai ke kamarnya di lantai dua, Bagas langsung melemparkan tas sekolahnya ke atas kasur. Tanpa membuang waktu, dia menuju kamar mandi, menyalakan shower, dan membiarkan air hangat mengalir di atas kepalanya, memberikan rasa nyaman yang sangat ia butuhkan. Lima belas menit berlalu, ia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang melilit pinggangnya.

Namun, saat menatap kamarnya, matanya membelalak. Ara sedang berdiri di samping kasur, merapikan sisa-sisa barang sekolah Bagas yang berantakan.

“Heh, nona kecil, berani-beraninya kau masuk kamar gue sembarangan,” ujar Bagas dengan nada menggoda, melirik Ara yang tubuhnya mungil.

Ara mendongak dengan ekspresi jahil dan tangannya terangkat, menunjukkan ponsel milik Bagas. “Berani, ya? Lihat apa yang aku pegang,” tantangnya sambil tersenyum nakal.

Panik, Bagas melangkah cepat ke arahnya. “Ra, balikin ponselku!” serunya, mencoba meraih ponselnya. Namun, Ara dengan cekatan melompat ke atas tempat tidur, membuat Bagas nyaris kehilangan keseimbangan. Gelak tawa kecil terdengar saat mereka kejar-kejaran di dalam kamar.

Ara, dengan lincah, melompat turun dan berlari ke arah pintu. “Kejar kalau bisa, blekk!” ejeknya sambil menjulurkan lidah.

Bagas tidak tinggal diam. Dengan gerakan cepat, dia mengejar, tapi tiba-tiba suara mama Bagas terdengar dari ambang pintu, “Heh, kalian ini, tidak berhenti-henti bercanda! Sudah, ini sudah malam. Ayo berhenti.”

Mendengar suara tegas mama Bagas, Ara berhenti dan dengan patuh menyerahkan ponsel itu kembali. “Ini ponselmu, maaf ya,” katanya dengan nada menyesal.

Bagas yang masih tidak terima digoda hanya bisa mengerutkan dahi. “Awas, ya. Tunggu pembalasanku!” ancamnya main-main, menggerakkan tangan ke leher seperti tanda peringatan.

Ara hanya terkikik, “Bleek!” ledeknya sebelum berjalan ke luar kamar, mengikuti mama Bagas ke bawah. Bagas menghela napas, memasang senyum tipis sambil mengecek ponselnya dan mengunci pintu kamarnya.

Bagas melemparkan tubuhnya ke atas kasur, merasakan empuknya bantal yang seakan-akan menyerap semua kelelahan dari latihan basket seharian. Punggungnya terasa pegal, otot-ototnya menjerit minta istirahat. Dia meraih ponselnya, membuka WhatsApp dan membaca obrolan di grup tim basket, penuh dengan candaan dan diskusi soal pertandingan berikutnya. Ia tersenyum kecil saat membaca lelucon temannya yang kerap membuat suasana grup ramai.

Setelah itu, jari-jarinya menggeser layar ke Instagram, melihat unggahan foto teman-temannya dan klip pendek dari pertandingan basket internasional. Tak lama, ia pindah ke TikTok, di mana video-video lucu dan cuplikan trik basket muncul bergantian di beranda. Tawanya pecah saat melihat satu video kompilasi momen gagal yang konyol di lapangan.

Namun, di sela-sela hiburan itu, Bagas tak lupa menyempatkan diri menonton video highlight pertandingan basket. Mulai dari teknik dribble canggih hingga momen dramatis di final kejuaraan dunia, semua menyita perhatiannya. Matanya berbinar saat menyaksikan pemain-pemain idola seperti memamerkan skill luar biasa mereka.

Mata Bagas mulai berat. Genggamannya di ponsel melemah, hingga ponsel itu terlepas dan tergeletak di sampingnya. Udara dingin dari AC menggerakkan gantungan pintu yang bergemerincing halus, seperti alunan musik pengantar tidur. Lampu tidur yang temaram membuat suasana semakin nyaman. Perlahan, kelopak matanya tertutup, dan dunia nyata menghilang, digantikan oleh imaji dan mimpi yang membawa Bagas terbang ke arena basket impian. Ia pun terlelap dalam keheningan malam, mengumpulkan tenaga untuk hari esok yang menanti.

Di ruang keluarga yang hangat, Ara duduk di antara kedua orang tua Bagas, sesekali tertawa kecil mendengar cerita dan candaan ringan yang dilontarkan. Bagi Ara, suasana ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti memiliki dua keluarga yang saling melengkapi. Kedekatan yang terjalin di antara mereka begitu kuat, tanpa sekat status atau kasta.

Mama Bagas tersenyum sambil menyodorkan segelas teh hangat kepada Ara. "Jadi, gimana kabar nenekmu, Ra?" tanyanya lembut.

Ara mengangguk dan menerima teh itu. "Alhamdulillah, buk, nenek sekarang sudah agak mendingan, walaupun masih butuh istirahat banyak," jawabnya dengan suara penuh kasih.

Ayah Bagas, yang sejak tadi mendengarkan obrolan, ikut menimpali. "Bagus, Ra. Jaga kesehatan nenekmu, ya. Dan kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Om dan Tante," ujarnya sambil menepuk punggung Ara dengan lembut.

Ara tersenyum penuh syukur. "Iya, Om, makasih. Om dan Tante memang seperti orang tua sendiri buat Ara."

Mereka tertawa bersama saat Mama Bagas menceritakan momen lucu sewaktu kecil antara Ara dan Bagas, ketika Bagas tak sengaja menjatuhkan vas bunga dan Ara yang berusaha menutupi kesalahannya. Gelak tawa mereka mengisi ruangan itu, menandakan betapa eratnya hubungan mereka.

Di lain sisi, Ayah Bagas dan Ayah Ara seringkali menghabiskan waktu bersama, menonton pertandingan sepak bola di layar TV besar ruang tamu. Walau beda tim favorit — Ayah Ara yang selalu setia mendukung Juventus, dan Ayah Bagas yang mengidolakan Manchester City — adu komentar mereka saat menonton pertandingan selalu mengundang tawa seisi rumah.

"Heh, Juventus lawan Manchester City nih! Awas kalau City kalah, saya traktir satu minggu penuh!" ujar Ayah Bagas sambil tertawa menantang.

Ayah Ara membalas sambil mengangkat alis, "Boleh, Pak! Siap-siap aja, saya yang traktir makan siang minggu depan kalau Juventus menang."

Tawa kedua pria itu meledak, diikuti tawa Ara dan Mama Bagas yang menyaksikan keakraban mereka. Walaupun di luar pekerjaan mereka adalah majikan dan pekerja, di ruang ini, status itu hilang. Yang tersisa hanyalah persahabatan dan kekeluargaan yang menyatu dalam harmoni.

1
Aimee
Baca ini karena lihat cover sama sinopsisnya, eh mau lanjut... sesimple itu
Dragon 2345: makasih kakak Uda mampir,
total 1 replies
Cute/Mm
Keren abis nih karya, besok balik lagi baca baruannya!
Dragon 2345: aman kak makasih dah mampir, tmbah semangat aq buat up makasih sekali lagi support nya
total 1 replies
Celeste Banegas
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Dragon 2345: makasih kakak sudah mampir,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!