Kejadian tak pernah terbayangkan terjadi pada Gus Arzan. Dirinya harus menikahi gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. "Saya tetap akan menikahi kamu tapi dengan satu syarat, pernikahan ini harus dirahasiakan karena saya sudah punya istri."
Deg
Gadis cantik bernama Sheyza itu terkejut mendengar pengakuan pria dihadapannya. Kepalanya langsung menggeleng cepat. "Kalau begitu pergi saja. Saya tidak akan menuntut pertanggung jawaban anda karena saya juga tidak mau menyakiti hati orang lain." Sheyza menarik selimut yang menutupi tubuhnya. Sungguh hatinya terasa amat sangat sakit. Tidak pernah terbayangkan jika kegadisannya akan direnggut secara paksa oleh orang yang tidak dikenalnya, terlebih orang itu sudah mempunyai istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon anotherika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Nabila sudah lebih dulu melengos, tak suka melihat Anisa bermanja-manja seperti itu dengan abangnya. Bukan karena Nabila cemburu, tapi Nabila tidak suka dengan perempuan yang berstatus sebagai kakak iparnya karena dirinya tahu bagaimana sifat asli perempuan itu, jahat dan tentunya pandai berkelit.
Abang, Abah dan umminya saja yang selama ini dibohongi oleh Anisa. Padahal Nabila sudah pernah mengatakan tentang kejanggalan pada diri Anisa, tapi mereka tidak percaya padanya.
Sheyza, perempuan itu juga ikut melengos ke samping, tak kuasa melihat pemandangan di depannya. Hatinya sakit, bagaimana pun dirinya juga bisa merasa cemburu. Tapi Sheyza harus sadar kalau perempuan itu lebih berhak daripada dirinya.
Arzan melirik ke arah Sheyza. Dia tahu apa yang dirasakan oleh istri rahasianya itu. Langsung saja tangannya menyingkirkan tangan Anisa.
Anisa melotot, "Mas kamu kenapa sih?!!"
"Anisa, jaga bicara kamu. Malu dilihat orang lain,"
"Ck, cuma perawatnya ummi kan? Dia harusnya paham kalau kita suami istri wajar jika suami istri bermesraan. Nanti juga terbiasa," jawab Anisa tanpa malu.
Arzan mengusap wajahnya kasar. Menarik tangan Anisa dan membawanya pergi sebelum kesabarannya habis untuk menghadapi Anisa.
"Mbak maaf ya, jadi lihat kayak gitu deh." Sesal Nabila tak enak hati.
Sheyza tersenyum, kepalanya menggeleng. "Tidak masalah, dia kan istrinya Gus Arzan. Seperti yang dikatakan sama mbak Anisa tadi, mereka suami istri jadi wajar-wajar saja." Balas Sheyza. Walaupun hatinya nyeri mengatakan hal itu, tapi Sheyza berusaha untuk biasa saja.
Nabila mencibir. "Bener sih mbak sah-sah saja. Tapi kalau kayak tadi kesannya nggak tau malu. Masa bermesraan di depan orang lain. Malah pernah juga di depan santri mbak, emang dasar nggak punya malu. Padahal sudah sering ditegur sama bang Arzan, tapi ya gitulah mbak bebal orangnya."
Sheyza hanya tersenyum tipis, tidak membalas ucapan Nabila karena dirinya tidak ingin memancing keributan. Bukankah sebaiknya Sheyza diam saja? Karena dirinya juga tidak tahu apa-apa disini.
"Ini ibu makannya jam berapa aja? Boleh dikasih tahu? Biar nanti saya tidak melewatkan makannya. Masih harus minum obat juga kan?" Tanya Sheyza mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ya ampun hampir lupa kan. Ck, gara-gara dia kan. Ini mbak ummi makan pagi jam tujuh, makan siang jam satu. Kalau makan malamnya biar aku aja mbak, karena makan malam pasti mbak Sheyza udah dirumah. Mbak kasih ummi makan pagi sama makan siang aja," ucap Nabila. "Sebenarnya aku pengennya aku sendiri yang ngerawat ummi, tapi aku masih kuliah dan setelah selesai kuliah aku masih harus ngajar santri di pesantren." Lanjut Nabila sedih.
Sheyza tahu bagaimana sibuknya Nabila, dulu dirinya juga sesibuk Nabila sampai tidak ada waktu untuk ibunya. Tapi waktu itu Sheyza tidak punya cukup uang untuk menyewa seorang perawat hingga ibunya meninggal saat Sheyza tengah pergi bekerja. Mengingat itu membuat embun di pelupuk mata Sheyza ingin keluar. Bayang-bayang ketika dirinya pulang kuliah menemukan sang ibu sudah tak bernyawa membuat dadanya sesak.
"Bakti seorang anak kepada orang tuanya, tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku nggak bisa meninggalkan kuliah karena kuliah juga merupakan cita-cita ummi yang harus aku wujudkan." Tambah Nabila, menatap sendu ke arah umminya yang juga tengah menatapnya.
Sheyza mencoba menormalkan tekanan di dalam dadanya, mencoba tenang. Tangan Sheyza terulur mengelus pelan pundak Nabila.
"Semua orang pasti ingin merawat orang tuanya sendiri, tapi kita juga harus realistis kalau kita juga harus meraih masa depan. Orang tua kamu pasti ingin yang terbaik untuk kamu. Apalagi tadi kamu bilang kuliah adalah salah satu cita-cita ibu kamu kan. Jadi jangan kecewakan beliau, jadilah seperti yang ibu kamu inginkan." Ucap Sheyza mencoba menenangkan Nabila.
"Kamu beruntung karena masih ada yang bisa menjaga ibumu, jadi kamu tidak terlalu khawatir saat kamu tinggal. Terkadang banyak di luaran sana yang rela meninggalkan ibunya demi bekerja, mencari pundi-pundi rupiah untuk sesuap nasi." Tambah Sheyza.
Nabila mengangguk, dirinya sepertinya kurang bersyukur sampai melupakan hal itu. "Astaghfirullah, aku nggak bersyukur banget ya mbak. Aku harusnya bersyukur masih punya keluarga utuh, bahkan harta yang Allah titipkan."
Sheyza tersenyum tipis menanggapinya.
"Mbak kok pandai banget sih. Nanti cerita tentang mbak Sheyza ya, aku pengen denger."
Sheyza meringis, bingung mau menceritakan kisah yang mana. "Kisah apa?"
"Emm kisah cinta mbak Shey misal. Aku penasaran pria beruntung mana yang bisa mendapatkan gadis sebaik mbak ini."
Nata Sheyza bergerak gelisah, bingung mau menjawab apa.
Nabila tertawa melihat wajah lucu perawat umminya itu. "Hiss mbak lucu banget sih,"
***
"Kenapa? Mau larang-larang lagi?? Udah basi mas. Mas itu udah kayak orang asing tau nggak?!!" Pekik Anisa kesal.
Arzan mengusap wajahnya kasar, memilih sabar menghadapi istrinya itu. Mau bagaimanapun Anisa adalah istrinya. "Maafkan mas karena sibuk akhir-akhir ini. Tapi tolong kamu tenang Anisa, jangan tantrum seperti ini. Apa kamu tidak bisa seperti dulu lagi? Berbicara dengan nada lembut dan mematuhi peraturan pondok pesantren."
Anisa tersenyum, "Aku bisa nurutin kemauan mas, tapi ada syaratnya."
"Kenapa harus ada syarat segala? Kalau mau berubah ya berubah saja, tidak perlu ada syarat." Balas Arzan.
Anisa hanya diam tak menanggapi ucapan Arzan.
Mau tidak mau Arzan mengalah. "Baiklah, apa syaratnya?" Tanya Arzan. Dirinya sudah bosan dengan sikap Anisa yang seperti ini terus. Malu juga dirinya sampai ditegur oleh abahnya karena perubahan sikap Anisa.
Anisa menatap lekat wajah suaminya. "Berikan malam yang indah untukku nanti malam,"
Deg
Tubuh Arzan mematung.
"Kenapa? Tidak bisa??" Tebak Anisa seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Arzan. Suaminya selalu menolak ketika dirinya meminta nafkah batin. "Mas sudah tidak cinta sama aku? Apa sudah ada perempuan lain yang membuat mas tergoda hingga bersikap seperti ini sama aku??!" Tanya Anisa marah.
Arzan menggeram penuh emosi, tangannya terkepal erat. "Jaga bicara kamu Anisa!!" Desis Arzan dingin.
Tapi Anisa tidak peduli dengan kemarahan suaminya. Anisa malah mamatik api kemarahan sang suami. "Apa yang aku bilang benar bukan? Mas punya perempuan lain diluar sana! Kalau tidak mana mungkin mas mengabaikan aku seperti ini!!" Pekik Anisa marah.
"Kamu?!!"
"Apa?!!" Tantang Anisa.
Arzan beristighfar dalam hati, lalu berlalu pergi dari sana tanpa mengatakan apapun. Hatinya kecewa dengan sikap Anisa. Arzan sadar kalau dirinya salah, tapi setidaknya Anisa tidak bersikap seperti itu.
***
Saat ini Sheyza dan Nabila menuju rumah yang akan ditempati oleh Sheyza. Namun saat di tengah perjalanan, mereka malah bertemu dengan ustadz Anwar dan ustadz Hanan. Keduanya langsung menyapa Nabila dan Sheyza. Mereka penasaran dengan gadis yang dibawa oleh Gus Arzan tadi.
Sheyza benar-benar cantik, wajahnya yang kalem itu mampu membuat semua orang terkesima. Ustadz Anwar dan ustadz Hanan sampai beristighfar berulang kali di dalam hatinya karena telah lancang menatap wajah yang bukan muhrimnya.
"Maaf ya Ning mengganggu, kita cuma penasaran saja." Ucap ustadz Anwar menyenggol lengan ustadz Hanan.
Ustadz Hanan tersentak, menatap ustadz Anwar dengan tatapan tajamnya. Ini ustadz Anwar loh yang ingin tahu siapa gadis cantik itu, tapi kenapa dirinya yang dijadikan tumbal?
"Kok saya?"
"Ya kamu kan yang mau kenalan sama ekhm, siapa namanya mbak?" Tanya ustadz Anwar pada Sheyza. Tapi pandangannya menunduk tidak berani menatap Sheyza secara langsung.
Nabila sudah terkikik geli. "Mbak ditanyain tuh sama ustadz Anwar," Nabila sengaja menyenggol lengan Sheyza membuat sang empu tersentak.
"Eh apa?"
"Itu ustadz Anwar mau ngajakin kenalan." Ucap Nabila sambil menggoda.
Sheyza terkesiap, lalu menoleh ke arah dua orang ustadz yang berdiri tak jauh di depannya. "Emm, nama saya Shey-"
"Nama saya Arzan. Kenapa? Mau kenalan sama perempuan bukan MAHRAM??!"