John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Heran
Setelah panggilan berakhir, Nadira menarik napas panjang. Tanggung jawabnya sebagai asisten dosen dan penerima beasiswa memberinya alasan untuk bertahan dan berjuang. Mungkin, jika ia terus melakukan yang terbaik, ia bisa membuktikan bahwa dirinya berharga, bukan hanya di mata dosennya, tapi juga mungkin suatu hari di mata John.
Baru saja Nadira menarik napas lega setelah panggilan dari dosennya selesai, ponselnya kembali berdering. Nama “Bu Vira” tertera di layar, atasan tempatnya bekerja paruh waktu di kafe dekat kampus. Nadira menggigit bibir, perasaannya mulai bercampur aduk. Ia tahu Bu Vira jarang menelepon kecuali ada hal mendesak.
“Halo, Bu,” Nadira menjawab pelan, berusaha terdengar sopan meski jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
“Nadira, kamu sudah dua hari nggak masuk kerja tanpa kabar,” suara Bu Vira terdengar tegas namun ada kekhawatiran yang tersirat. “Kamu baik-baik saja? Biasanya kamu selalu teliti soal jadwal kerja.”
Nadira menelan ludah, merasa sedikit bersalah. “Maaf, Bu. Saya... saya sedang ada masalah keluarga, jadi agak sulit buat datang,” katanya, mencoba memberi alasan sehalus mungkin. Ia tidak ingin Bu Vira tahu bahwa ia sebenarnya sedang kabur dari rumah.
“Baik, Nadira. Saya paham kalau kamu sedang ada masalah, tapi tolong kabari kami kalau tidak bisa masuk. Kafe lagi kekurangan orang, dan pelanggan tetap mencari kamu,” suara Bu Vira melembut. “Besok sore, kalau bisa kamu datang ya, setidaknya untuk shift malam.”
Nadira terdiam sejenak, lalu mengangguk meski tahu Bu Vira tak bisa melihatnya. “Iya, Bu. Besok saya akan datang, saya janji,” ucapnya dengan penuh tekad.
Setelah panggilan berakhir, Nadira merasakan tekanan yang semakin besar di dadanya. Panggilan-panggilan ini mengingatkannya akan kehidupan yang harus ia jalani, tanggung jawab yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Tapi di sisi lain, rasa ingin tinggal bersama John semakin kuat. Nadira terjebak di antara keinginannya untuk kabur dari rumah dan realitas yang menuntutnya untuk tetap bertanggung jawab.
"Astaga...!" gumam Nadira menyadari bahwa semua barang yang ia butuhkan, laptop, buku catatan, dan dokumen kuliah penting, masih tertinggal di rumah. Bagaimana aku bisa mengerjakan tugas tanpa semua itu? pikirnya, rasa cemas mulai merayap. Sementara ini, ia tak mungkin kembali ke rumah dengan kondisi keluarganya yang begitu menekan.
Mengambil napas dalam, Nadira akhirnya teringat satu orang yang mungkin bisa membantunya: pelayan kepercayaannya, seseorang yang selalu memperlakukannya dengan baik di rumah dan kerap membantu saat ia dalam kesulitan. Dengan ragu, Nadira membuka pesan dan mengetik dengan hati-hati, meminta bantuan untuk mengambilkan semua barang yang ia perlukan.
“Aku harap dia bisa mengambilkannya tanpa ketahuan,” gumamnya pelan. Di satu sisi, Nadira merasa khawatir melibatkan pelayannya dalam masalah ini, tetapi ia tahu betapa ia sangat membutuhkan barang-barang itu.
***
Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, Nadira tetap memutuskan untuk kembali ke rumah. "Aku harus mengambil semua yang berhubungan dengan kuliahku," pikirnya. Langkahnya penuh kehati-hatian saat ia menyelinap melalui sisi belakang rumah. Di sana, ia bertemu dengan pelayan kepercayaannya yang setia, seorang wanita paruh baya yang selalu memperlakukannya dengan baik.
Pelayan itu menyodorkan dua buah kantong sampah besar pada Nadira, wajahnya tampak tegang. “Maaf, Nona, saya harus meletakkannya di sini agar tidak dicurigai oleh yang lain,” bisiknya pelan, matanya sibuk mengawasi sekitar. “Saya juga sudah memasukkan sebagian pakaian Nona di sini. Saya harap ini tidak masalah.”
Nadira mengangguk, memahami situasi mereka yang serba hati-hati. "Terima kasih banyak, Bik," ujarnya penuh rasa syukur. Ia menerima kantong besar itu dan melihat sekilas isinya, memastikan laptop, buku-buku, dan dokumen kuliahnya semua ada di dalam.
"Jaga diri Nona baik-baik," ucap pelayan itu menatap Nadira dengan perasaan campur aduk antara iba, tak tega, kasihan dan khawatir. Nadira hanya mengangguk pelan penuh rasa terima kasih. Tak ingin mengambil risiko lebih lama, pelayan itu langsung berbalik dan bergegas kembali ke dalam rumah, meninggalkan Nadira dengan dua kantong sampah yang besar itu.
Perjalanan kembali ke apartemen John terasa penuh perhatian orang-orang di sekitarnya. Nadira bisa merasakan tatapan aneh dari mereka yang melihatnya, terutama ketika ia membawa kantong sampah besar yang tampak tidak lazim. "Oh, pasti mereka berpikir aneh-aneh tentangku sekarang," pikir Nadira dengan sedikit tersipu, namun ia tak peduli. Baginya, yang terpenting adalah membawa semua barang-barang itu ke apartemen dan melanjutkan pekerjaannya.
John baru saja duduk di sofa ruang tamu, melepas lelah sambil memeriksa pesan-pesan penting di ponselnya. Baru lima menit yang lalu ia kembali dari rapat pemegang saham yang cukup melelahkan di salah satu perusahaan. Pikirannya masih dipenuhi angka-angka dan rencana investasi ketika tiba-tiba suara pintu yang terbuka dari luar mengalihkan perhatiannya.
Ia mendongak, matanya menyipit melihat sosok Nadira yang masuk dengan susah payah membawa kantong sampah besar di kedua tangannya. Alis John langsung berkerut.
"Nadira?" tanya John, suaranya terdengar penuh keheranan. “Apa yang kau bawa?”
Nadira sedikit canggung, berusaha memasang senyum saat ia menurunkan kantong besar itu di lantai. “Ini… barang-barangku, Om,” ujarnya sambil sedikit tertawa, seolah mencoba meredakan suasana.
John masih menatapnya, bingung sekaligus tidak percaya. “Kau membawa barang-barangmu... di kantong sampah?” Nadanya terdengar skeptis, dan ia memandang kantong itu dengan tatapan penuh pertanyaan.
Nadira mengangguk pelan, wajahnya sedikit memerah. “Aku tak punya tas atau koper untuk membawa barang-barangku. Jadi, ya…” Ia mengangkat bahu, seolah berkata bahwa ini satu-satunya pilihan yang ada.
John terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang sambil mengusap wajahnya. “Kau benar-benar nekat, ya…” Ia sedikit menggelengkan kepala, antara kesal dan kagum pada tekad Nadira.
Sadar John mungkin masih menatapnya dengan tatapan tak percaya, Nadira menunduk dan menggumamkan permintaan maaf, “Maaf kalau ini mengganggu, Om…”
John mendesah lagi, melembut. “Sudahlah, bawa saja barang-barangmu ke kamar dan keluarkan dari kantong itu. Tapi lain kali, pikirkan cara yang lebih... masuk akal.”
Nadira mengangguk cepat sambil tersenyum malu, "Iya, Om, terima kasih," ucapnya ceria sebelum segera membawa kantong besar itu dan bergegas masuk ke kamarnya. John hanya bisa menghela napas sambil menatap punggung Nadira yang semakin menjauh. Ia menyandarkan diri ke sofa, memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Gadis ini..." gumamnya pelan, suaranya penuh keheranan sekaligus geli. “Tidak pernah kehabisan cara untuk membuatku terheran-heran.”
Ia menatap ke arah pintu kamar Nadira yang tertutup, memikirkan betapa keras kepalanya gadis itu. Meski tampak polos dan terkadang ceroboh, Nadira selalu punya caranya sendiri untuk bertahan dan menunjukkan tekadnya. John pun tersenyum tipis, menyadari bahwa kehadirannya mulai membawa warna baru yang tak terduga dalam hidupnya.
John tiba-tiba termenung, pikirannya kembali mengembara ke malam itu, malam ketika Nadira tiba-tiba muncul di kamar hotelnya dengan wajah bingung, takut namun dengan sorot mata yang penuh harap dan ketulusan. Tanpa disadari, kenangan saat keduanya berada begitu dekat, hingga melampaui batas-batas yang pernah ia tetapkan bagi dirinya sendiri itu tak bisa ia lupakan.
Ia menghela napas panjang, merasakan desiran hangat yang entah mengapa begitu berbeda. Biasanya, baginya, hubungan fisik hanyalah sebuah kebutuhan biologis, tidak lebih, sekadar pelepasan tanpa ikatan. Namun, bersama Nadira... ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya meremang bahkan hanya dengan mengingat sentuhan mereka.
“Kenapa gadis itu begitu... memengaruhiku?” pikirnya, merasa aneh pada dirinya sendiri.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂