bercerita tentang Boni, seorang pemuda lugu yang kembali ke kampung halamannya setelah merantau selama 5 tahun. Kedatangannya disambut hangat oleh keluarga dan sahabatnya, termasuk Yuni, gadis cantik yang disukainya sejak kecil.
Suasana damai Desa Duren terusik dengan kedatangan Kepala Desa, pejabat baru yang sombong dan serakah. Kepala desa bermaksud menguasai seluruh perkebunan durian dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit.
Boni dan Yuni geram dengan tindakan kepala desa tersebut dan membentuk tim "Pengawal Duren" untuk melawannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Menghadapi Ancaman
Pagi yang cerah di Kampung Duren menyapa Boni dengan suasana yang tenang. Setelah beberapa hari sibuk membangun markas, hari ini ia dan teman-temannya merencanakan untuk menambah penjagaan di sekitar kebun. Meski suasana masih terlihat damai, Boni merasa ada kemungkinan Kepala Desa akan semakin gigih dalam usahanya menguasai kebun durian. Mereka harus siap.
Setelah sarapan, Boni segera menuju markas kecil mereka di kebun durian. Di sana, ia melihat Budi, Mamat, dan Yuni sudah berkumpul. Pak Jono juga sudah duduk santai di depan markas, menunggu mereka untuk memulai rapat pagi itu.
“Pagi, semuanya! Siap untuk hari yang seru?” sapa Boni dengan semangat.
Yuni mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Bon! Apalagi kita punya markas keren sekarang. Rasanya jadi semakin percaya diri, ya?”
Budi tertawa kecil, menggaruk kepalanya yang berantakan. “Iya nih, aku sampai mimpi soal markas ini tadi malam. Keren banget punya tempat sendiri di kebun!”
Pak Jono tersenyum bijak, menatap mereka dengan pandangan bangga. “Anak-anak, markas ini memang sudah kita bangun, tapi yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan untuk desa kita. Sekarang kita sudah punya tempat berkumpul, tinggal bagaimana kita menjaga kebun ini dari mereka yang ingin merusaknya.”
Mereka semua mengangguk setuju. Hari ini mereka berencana memasang lebih banyak jebakan di beberapa titik strategis dan mengatur jadwal patroli. Meskipun ini adalah pekerjaan sederhana, mereka merasa seperti detektif yang sedang merencanakan misi penting.
“Jadi, kita perlu lebih banyak jebakan, ya?” tanya Yuni sambil memandang teman-temannya satu per satu.
Boni mengangguk. “Betul, kita perlu perkuat pertahanan di bagian barat dan selatan kebun. Kemarin aku lihat ada beberapa jejak kaki di sana, meskipun belum jelas apakah itu jejak hewan atau orang.”
Budi langsung mengeluarkan gulungan tali dan beberapa potongan bambu yang dibawanya dari rumah. “Aku udah siap! Kemarin aku belajar buat jebakan baru dari video di ponsel. Ini lebih canggih, bisa buat orang yang kena jebakan tergelincir ke semak-semak!”
Mamat tertawa terbahak-bahak mendengar rencana jebakan Budi. “Wah, seru banget! Coba aja bayangin kalau Kepala Desa yang kena jebakan itu. Dia pasti bakal malu banget!”
Pak Jono menepuk bahu Budi sambil tersenyum bangga. “Bagus, Bud. Tapi kita harus tetap hati-hati. Jangan sampai ada warga desa yang kena jebakan ini tanpa sengaja.”
Budi mengangguk dengan ekspresi serius. “Tenang aja, Pak. Aku bakal tandai jebakan-jebakan ini pakai daun-daun khusus, jadi cuma kita yang tahu di mana letaknya.”
Setelah berdiskusi singkat, mereka berempat mulai berpencar untuk memasang jebakan di area kebun. Mereka bergerak dengan hati-hati, menjaga agar tidak ada yang melihat aktivitas mereka. Setiap jebakan dibuat dengan sangat rapi dan tersembunyi, sehingga sulit dikenali kecuali bagi mereka yang sudah tahu lokasinya.
Boni dan Yuni bekerja sama memasang jebakan di bagian selatan kebun, tempat yang dianggap paling rawan. Sambil bekerja, mereka berbincang-bincang, bercanda, dan sesekali saling menggoda.
“Bon, kenapa sih kamu serius banget sama urusan kebun ini?” tanya Yuni tiba-tiba, sambil memasang jebakan di balik semak-semak.
Boni terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Aku cuma ingin lihat desa ini tetap seperti dulu, Yun. Kebun durian ini bukan cuma tempat biasa. Ini adalah tempat kita bermain waktu kecil, tempat kita punya banyak kenangan.”
Yuni tersenyum lembut. “Iya, aku juga. Kalau kebun ini hilang, rasanya bakal ada sesuatu yang hilang dari hidup kita.”
Percakapan mereka terhenti ketika Mamat tiba-tiba datang sambil membawa ranting besar. Ia memasangnya di atas jebakan, sehingga terlihat seperti bagian dari alam sekitar. Boni dan Yuni tertawa kecil melihat semangat Mamat yang tak kalah antusias.
“Udah selesai di sini?” tanya Mamat sambil menepuk-nepuk tangannya yang kotor.
Boni mengangguk. “Udah, sekarang tinggal bagian barat aja.”
Mereka melanjutkan perjalanan ke bagian barat kebun, sambil terus bercanda dan bersenda gurau. Sesampainya di sana, mereka menemukan jejak-jejak baru, yang tampaknya memang bekas kaki manusia. Melihat hal ini, Boni semakin yakin bahwa rencana mereka memasang jebakan adalah langkah yang tepat.
Budi dengan sigap memasang jebakan di antara pepohonan, sementara Pak Jono mengawasi dari kejauhan, memastikan keamanan mereka. Setelah semua jebakan terpasang dengan baik, mereka kembali ke markas untuk beristirahat sejenak.
Siang itu, di dalam markas yang teduh, mereka duduk melingkar sambil menikmati teh hangat dan beberapa camilan yang dibawa Yuni. Obrolan mereka beralih ke hal-hal ringan, seperti cerita masa kecil dan kenangan mereka di desa.
“Aku masih inget, dulu kita sering banget main petak umpet di kebun ini,” kenang Budi sambil tertawa. “Kalau ingat masa kecil, rasanya waktu cepat banget berlalu.”
Yuni tersenyum. “Iya, kita sering sembunyi di balik pohon durian yang besar itu. Waktu itu kita belum tahu kalau nanti kebun ini bakal jadi bagian penting buat kita jaga.”
Pak Jono yang dari tadi mendengarkan ikut berkomentar, “Kadang kita nggak sadar, sesuatu yang kecil bisa jadi sangat berarti kalau kita hilangkan. Kalian sudah dewasa sekarang, dan saya bangga melihat kalian menjaga kebun ini.”
Suasana menjadi haru sesaat, tetapi Budi dengan candaannya berhasil membuat mereka kembali tertawa. Ia mulai menirukan gaya Kepala Desa yang sombong, lengkap dengan suara menggelegar dan gerakan tangan yang berlebihan, membuat teman-temannya tak berhenti tertawa.
Di tengah-tengah tawa, tiba-tiba mereka mendengar bunyi seperti sesuatu yang bergerak di antara semak-semak di luar markas. Mereka segera hening, saling pandang dengan perasaan waspada.
“Eh, apa itu?” bisik Yuni, suaranya sedikit bergetar.
Pak Jono memberi isyarat agar mereka diam dan tetap tenang. Dengan hati-hati, ia keluar dari markas dan mengintip ke arah semak-semak. Setelah beberapa detik yang terasa tegang, Pak Jono kembali dengan senyum kecil.
“Tenang, cuma angin yang membuat ranting-ranting bergerak,” katanya sambil tertawa kecil.
Mereka semua tertawa lega. Suasana kembali santai, meski peristiwa kecil itu membuat mereka semakin waspada. Hari itu mereka merasa bahwa perjuangan ini memang tidak mudah, tetapi kebersamaan membuat mereka merasa lebih kuat.
Menjelang sore, mereka memutuskan untuk melakukan patroli terakhir sebelum pulang. Mereka berkeliling ke beberapa titik kebun untuk memastikan semuanya dalam keadaan baik. Di setiap tempat yang mereka kunjungi, mereka merasa bangga melihat hasil kerja keras mereka menjaga kebun ini.
Saat mereka berjalan pulang, matahari mulai tenggelam, memberikan cahaya oranye yang indah di langit. Yuni berjalan di samping Boni, menatap ke arah pepohonan yang mulai gelap dengan senyum kecil.
“Hari ini seru banget, ya,” ujar Yuni pelan.
Boni mengangguk. “Iya, meskipun kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi aku merasa tenang. Kita sudah melakukan yang terbaik.”
Yuni menatap Boni dengan tatapan lembut. “Kamu selalu membuat semuanya terasa lebih mudah, Bon. Mungkin karena kamu punya tekad yang kuat.”
Boni tersenyum malu. “Aku cuma ingin kita semua bahagia dan desa kita tetap seperti ini.”
Sesampainya di desa, mereka berpisah dengan perasaan puas dan bahagia. Mereka tahu bahwa perjuangan belum selesai, tetapi hari ini mereka telah melakukan sesuatu yang berarti. Setiap langkah mereka membawa harapan bahwa esok hari akan tetap indah, dan mereka akan terus melindungi Kampung Duren dengan penuh semangat.
Malam itu, saat Boni berbaring di kamarnya, ia merenung tentang hari-hari yang telah mereka lalui. Rasa syukur memenuhi hatinya, dan ia merasa semakin yakin bahwa bersama teman-temannya, mereka bisa menghadapi apa pun yang akan datang.
Dalam gelapnya malam, Boni tersenyum, yakin bahwa kebun durian akan tetap menjadi bagian dari kampung mereka, tempat yang penuh kenangan dan harapan.