Reiner merupakan ketua Mafia/Gengster yang sangat di takuti. Ia tak hanya di kenal tak memiliki hati, ia juga tak bisa menerima kata 'tidak'. Apapun yang di inginkan olehnya, selalu ia dapatkan.
Hingga, ia bertemu dengan Rachel dan mendadak sangat tertarik dengan perempuan itu. Rachel yang di paksa berada di lingkaran hidup Reiner berniat kabur dari jeratan pria itu.
Apakah Rachel berhasil? Atau jerat itu justru membelenggunya tanpa jalan keluar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy Eng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Kenapa selalu seenaknya?
Namun pilihan jatuh pada meminta ampun daripada berteriak. Bayangan wajah ayahnya mendadak menyerbu memori. Ia ingin segera tahu keadaan ayahnya.
"Ampun tuan, ampuni aku!" rintih Rachel saat Reiner sudah hampir merobek bajunya dengan kasar. Bahkan pria itu sudah mengecup payudaranya yang sudah kelihatan sebagian. Ia menangis ketakutan dengan tubuh bergetar dan membuat Reiner seketika menghentikan kegiatannya.
Ia tak suka di lawan. Ia selalu ingin di hormati dan tak mau di sepelekan. Harusnya Rachel senang karena ia telah memberikannya motor baru, tapi perempuan malah bersikap kurang ajar dan tak menghormatinya.
"Bukankah kau sudah aku peringatkan? Aku bisa mencekik mu sampai mati kalau kau tak sopan padaku!" ancamnya dengan napas memburu. Terengah-engah terbakar amarah.
Reiner dengan muka kakunya kini turun dari ranjang lalu melempar tubuhnya ke sofa dengan muka keruh. Ia menatap tajam Rachel yang mulai beringsut dan sekarang sedang duduk resah sembari membetulkan pakaiannya.
Ia tak lagi mood untuk menanyai Rachel. Ia meminta Marlon datang untuk membawakannya minuman. Marlon masuk ketika Rachel sudah berganti pakaian. Wanita itu mengangguk lalu pamit pergi.
Sepeninggal Rachel, Reiner yang wajahnya masih di selimuti amarah angkat bicara.
"Ikuti kemana perempuan itu pergi. Laporkan apapun yang kau lihat padaku!"
Meskipun selalu bingung dengan perintah aneh yang belakangan ini di berikan padanya, tapi Marlon tetap patuh dan tunduk. "Baik tuan!"
Reiner terus terang terganggu dengan banyak luka yang tercipta di beberapa bagian tubuh Rachel. Ia tentu tak ingin tubuh yang ia nikmati nanti terlihat kotor dengan beberapa luka. Ia mencengkram gelas sampai pecah demi teringat Rachel yang sering mendebat ucapannya.
Dan Marlon sungguh mengikuti Rachel. Tapi pria itu menjadi terkejut karena Rachel malah masuk ke sebuah rumah sakit. Ia pun turun dan mengikuti Rachel yang masuk ke ruangan kelas tiga.
Dari tempatnya berdiri, sayup-sayup ia mendengar nada protes yang di layangkan Rachel.
"Bu, kenapa Ibu menempatkan ayah di ruangan ini? Bukankah uang yang ku berikan cukup untuk membayar kelas dua?"
Helen tersinggung, tapi dia tak bisa asal main tangan sebab kamar yang ia gunakan juga di isi oleh pasien lain.
"Kau tak percaya padaku? Kau pikir aku menggelapkan uang mu? Rumah sakit mana yang sekarang tidak mahal? Mana cukup untuk membayar kamar kelas dua, hah? Kita bahkan tidak tahu berapa lama Ayahmu bakal di rawat. Sudahlah. Yang penting ayahmu bisa di tangani dulu. Lagipula, ayahmu sudah bisa tidur tadi!"
Rachel sebenarnya keberatan. Tapi tubuhnya sudah sangat lelah hari ini untuk sekedar adu argumen. Ia memilih diam sembari menatap wajah sang Ayah.
"Aku harus pulang. Kau yang tidur disini. Aku akan membawa masakan besok pagi!" kata Helen sembari siap-siap mengambil tasnya.
Rachel mengangguk. Ia juga tak tega jika harus tak menunggui ayahnya di sana. Namun semalaman ini Rachel tak bisa tidur. Pikirannya berkutat soal permasalahan keuangan. Ia sudah tak dapat libur, ia juga harus membagi waktu dan tenaganya kepada Reiner. Apakah dia sanggup berjalan di dua sisi yang sulit ini?
Di lain pihak, Reiner yang mendapat laporan soal Rachel yang berada di rumah sakit karena menunggui ayahnya jadi tertegun.
"Jadi ayahnya sakit?"
Marlon mengangguk membenarkan tebakan. "Nona Rachel malam ini menginap di sana!"
Reiner terdiam beberapa saat lalu berkata. "Kau boleh pergi!"
Marlon akhirnya pergi. Kini Reiner terlihat mengetik pesan lalu mengirimkannya kepada Rachel. Tapi sejurus kemudian ia menghapusnya. Ia lalu meletakkan ponselnya kembali. Tak jadi berkirim pesan.
***
Derit engsel pintu yang terbuka berhasil membuat Rachel bangun. Padahal baru saja ia mengistirahatkan tubuh, tapi seorang perawat harus menyuntikkan obat di malam itu.
Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Usai mengucapkan terimakasih, ia menatap sang ayah yang ternyata sudah membuka matanya.
"Ayah haus?"
Pria itu mengangguk. Rachel akhirnya memberikan minum sang Ayah. Ia lalu duduk sembari mengusap lembut lengan Ayahnya.
"Besok ayah bakal di periksa lebih detail. Bakal di cek apa ada penyakit penyerta lain. Semoga ayah bisa segera sembuh ya?" Rachel berbicara seolah ayahnya bisa merespon dengan wajar.
Pria itu hanya bisa merespon kalimat anaknya dengan menitikkan air mata. Membuat hati Rachel terasa sakit.
Keesokan paginya, Rachel menunggu resah kedatangan Helen. Ini sudah hampir jam tujuh tapi perempuan itu belum juga datang. Ia harus bekerja hari ini sebab ini merupakan hari libur yang tetap ia masuki sebagai tebusan pinjaman.
Resah karena di buru waktu, dengan berat hati ia terpaksa meninggalkan ayahnya sendiri di rumah sakit dan menitipkannya kepada perawat sebab ia harus segera bersiap-siap dan bekerja.
Setibanya di rumah, ia masuk dan mendapati Helen seperti baru bangun tidur. "Ibu, Ibu belum siap-siap?"
Helen seperti terkejut dan cepat-cepat menutup pintu kamar nya. "Rachel. Aku kelelahan karena kemarin ayahmu agak rewel. Tapi aku akan bersiap-siap. Tenang saja, kau bisa kerja. Aku akan segera kerumah sakit!" jawab Helen terlihat tak tenang
Rachel mengangguk dan langsung masuk kamar. Tak menyadari kegugupan yang terjadi. Sepeninggal Rachel, Helen seketika bernapas lega dan membuat seorang pria yang tak mengenakan pakaian dan kini berada di dalam kamarnya turut tersenyum.
***
Gina yang sedang kembali ke pantry dan membawa nampan, terkejut melihat Rachel yang hari ini tetap masuk. "Loh, Hel. Bukannya kamu hari ini off?"
Rachel tersenyum mengabaikan keterkejutan. "Aku setahun ini gak ambil off. Aku kasbon lagi Gin. Oh ya, aku juga mau balikin uang kamu. Nanti kamu kirim nomer rekening kamu ya?"
Gina melolong tak percaya. "Hel, lu serius? Satu tahun gak libur? Kenapa harus gitu sih? Badan kamu capek lho!"
Rachel mengangguk seperti tak terganggu dengan keterkejutan yang tesuguh. "Buat orang tua Gin. Apapun aku upayakan!"
Gina menatap kasihan rekannya yang kini mulai mengambil seragam di loker. Dengan cekatan Rachel memulai pekerjaannya. Hingga tibalah saat istirahat dan makan siang, Rachel tertegun membaca pesan dari seseorang.
"Tidak usah datang ke mansion. Aku sedang ada urusan di luar!"
Itu dari Reiner. Rachel akhirnya menyimpan nama pria itu karena takut kena sidak lagi. Ia hanya menamai pria itu dengan nama R. Tapi, kebetulan sekali pikirnya. Ia memang sedang sibuk dengan urusan Ayahnya. Rachel tampak tersenyum. Ia bersyukur karena pria mengerikan itu sibuk.
***
Dilan sengaja menunggu Rachel dikala jam pulang tiba. Ia ingin mengajak Rachel makan di restoran langganannya. Tapi Rachel tak mungkin menerima sebab ia harus ke rumah sakit.
"Maaf kak, aku hari ini sedang ada urusan di rumah. Lain kali saja ya?"
Dilan mengangguk meskipun ia agak kecewa. Tapi ia berjanji dalam hati bakal merencanakan untuk mengajak Rachel kembali.
Setibanya di rumah sakit, Rachel sempat kebingungan sebab kasur yang kemarin di huni oleh ayahnya terlihat kosong melompong. Ia lalu bertanya kepada perawat yang berjaga.
"Oh, Ayah anda telah di pindahkan ke ruang VIP!"
"Hah?" ia sampai melongo dengan muka tak percaya.
Secepat kilat ia menyusuri koridor dan menuju ke arah ruang VIP yang berada di lantai 18. Ketika tiba, ia terkejut bukan main sebab melihat Reiner berjabat tangan dengan Helen.
"Di-dia, kenapa bisa di sini?" membatin dengan dada yang seolah seperti mau melompat. Tubuhnya gemetaran saking terkejutnya.
"Ah, Rachel. Kau sudah datang?"
Ia melangkah ragu meksipun raut muka Helen terlihat sangat sumringah. Ia berusaha mengabaikan tatapan tajam seorang Reiner yang berdiri di kawal Marlon.
"Jadi tuan Reiner ini adalah majikan kamu? Wah, kenapa kamu gak cerita sama Ibu? Dia ini sangat baik karena memindahkan Ayahmu ke ruangan yang bagus!"
Apa?
Ia reflek menatap Reiner yang masih menyuguhkan wajah datar tanpa ekspresi. Rachel tertegun sejenak. Ia bingung sebab kenapa Reiner bisa tahu kalau ayahnya di rawat? Sedetik kemudian ia menjadi resah, pasti Reiner melakukan itu karena ada maunya. Iya, benar. Ia semakin takut. Manusia macam apa sebenarnya Reiner ini? Kenapa bisa dengan mudah mengakses dan mengetahui informasi apapun?
"Kenapa anda bisa tahu kalau Ayah sakit? Tidak seharusnya anda melakukan ini."
"Ssst!" Helen memperingati Rachel yang tak sadar malah mengucapkan kalimat yang ada di pikirannya.
Reiner terlihat sedikit kesal namun tak menunjukkannya di muka umum. Ia hanya melirik Rachel yang kini di tarik oleh Helen yang wajahnya mengerut.
"Maafkan Rachel, tuan." kata Helen menatap sungkan Reiner. Lalu sejurus kemudian berbisik kesal pada Rachel. "Kenapa kau berkata seperti itu, cepat minta maaf!"
Tapi Rachel masih diam. Membuat Helen segera mencubit tangan Rachel. "Cepat!"
"Maaf!" kata Rachel tanpa menatap mata Reiner. Ia sungguh merasa tak tenang saat ini. Apa yang di mau pria itu sebenarnya. Bukan hal lucu kalau sampai Reiner membawa-bawa keluarganya.
Usai mendengar Rachel meminta maaf, Helen memasang wajah yang sangat manis. Ia menjilat apa yang bisa di jilat. Dan saat kembali larut dalam obrolan, seseorang tiba-tiba datang.
"Ibu, aku cari-cari ternyata di sini. Dimana ay..."
Kesemua orang seketika menoleh sewaktu ada suara wanita yang menginterupsi obrolan mereka. Namun sang empunya terpaksa menjeda suara karena melihat wajah tampan Reiner.
"Ah, Sonia. Kau sudah datang nak?"
Rachel menatap saudara tirinya yang datang dengan wajah tersipu. Sementara Reiner tampak tak perduli dengan siapa yang datang. Lebih tertarik memperhatikan Rachel yang tampak gelisah. Tak tenang barang sejenak.
"Ah tuan Reiner, kenalkan ini adik Rachel. Sonia, ini tuan Reiner, beliau yang memindahkan ayah ke kamar bagus ini!"
Reiner masih terlihat cuek, sementara Sonia tampak terpukau dengan ketampanan Reiner.
"Maaf, aku mau menemui Ayah dulu!" Rachel pamit. Sebab ia tahu jika ada Sonia Ibunya pasti bakal membandingkan antara dirinya dengan perempuan itu. Dan Rachel tak mau harga dirinya makin di permalukan di hadapan pria jahat itu.
Slnya si rainer lg mumet sm nenek sihir