Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Dahi Yaya berkerut samar. Ia membanting hpnya ke kasur setelah menyadari sesuatu.
Kakak sialan. Makinya. Dia berani memblokir nomornya? Gadis itu masih tidak percaya. Ia merasa emosi, tega sekali kakaknya memperlakukannya begitu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia cepat-cepat mengambil hp yang masih berada di kasur besarnya itu dan melihat siapa yang menelponnya.
Awalnya Yaya cukup senang karena mengira kakaknya yang menelpon, tapi senyuman di wajahnya menghilang seketika saat membaca nama orang yang menelponnya.
Bintang?
Alis Yaya terangkat. Bintang menelponnya? Ngapain? Bukan jam sekolah juga.
Walau ia malas angkat namun tetap diangkatnya. Mengingat Bintang adalah sahabat baik cowok yang dia suka. Siapa tahu juga kan ada hal penting yang mau cowok itu bilang.
"Halo?" sapanya dengan nada tidak bersemangat.
"Lo dimana?" tanya Bintang dari seberang.
"Rumah."
"Siap-siap cepet gih dan datang ke rumah Gavin sekarang juga." mendengar nama Gavin, Yaya berubah senang. Apalagi di suruh datang ke rumah cowok idamannya tersebut.
Tapi tunggu... Mau ngapain ke rumah Gavin? Memangnya ada acara?
"Buat apa ke rumahnya Gavin? Ada acara?" tanyanya penasaran.
"Ya elah pake nanya lagi. Acara apaan? Otak lo adanya senang-senang terus sih. Kita mau bikin tugas kelompok lo nggak lupakan. Cepetan siap-siap gih. Entar gue kirim alamat rumahnya Gavin ke lo."
Bintang langsung mengakhiri panggilannya sepihak sementara Yaya masih bengong di tempatnya.
Buat tugas kelompok? Kalau begitu bukan dia doang dong yang diajak, pasti cewek-cewek belagu itu juga bakalan datang. Mereka kan satu kelompok. Gadis itu menghembuskan nafas panjang. Nggak pa pa deh, yang penting ia bisa melihat Gavin lagi hari ini daripada bete mikirin kakaknya terus. Gadis itu senyum-senyum sendiri dan segera bersiap-siap.
Cukup lama Yaya baru sampai di rumah Gavin menggunakan petunjuk lokasi yang dikasih sama Bintang. Sebenarnya tadi ia ingin menyuruh sopirnya yang antar biar sampainya cepat sekalian menghemat biaya tabungan simpanannya, tapi karena ia sedang dalam masa hukuman papanya jadi sopirnya tidak berani antar, alasannya takut di pecat. Terpaksa deh dia nungguin taksi yang lama banget datengnya itu. Sialan tuh sopir, maki Yaya dalam hati saking kesalnya.
Pandangannya lurus ke depan, ke sebuah rumah besar nan mewah yang tak tinggi menjulang. Rumah Gavin ini agak sedikit lebih besar dari rumahnya. Rumah-rumah orang kaya pada umumnya. Tak lama kemudian seorang satpam membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk dengan ramah.
"Kenapa lama banget sampenya?" semprot Bintang ketika melihat Yaya muncul bareng salah satu pembantu Gavin yang membawanya ke ruang tamu tempat mereka semua berkumpul.
Gavin ikut melirik gadis itu sebentar dan kembali fokus dengan bukunya, sedang Yasmin dan Clara yang sudah ada sejak tadi memasang raut wajah penuh permusuhan tapi tak dihiraukan Yaya. Bikin capek saja ladenin orang tidak penting kayak mereka.
"Tadi taksinya lama banget."
balasnya melirik Bintang dan memilih duduk di sebelah Gavin yang memang kosong tak ada siapa-siapa.
"Hai Gavin, makin ganteng aja deh."
serunya menggoda Gavin, bahkan tak malu-malu lagi mencolek pipi kanan cowok itu. Bintang berdecak kagum melihatnya. Memang cuma Yaya doang yang berani berbuat macam-macam pada sahabatnya itu, dan Gavin sepertinya mulai terbiasa. Buktinya ia sama sekali tidak membentak cewek itu, padahal dulu siapapun yang berani menyentuhnya akan selalu kena amukan tuh cowok. Tapi Yaya beruntung atau pun karena Gavin memang sudah lelah menghadapi gadis bar-bar seperti sih Yaya ini.
"Heh, lo tuh jadi cewek murahan banget tahu nggak. Nggak liat apa Gavin lagi sibuk ngerjain tugas kita." bentak Clara kasar.
Ia tidak suka Yaya curi-curi kesempatan ke Gavin. Yaya malah tambah memanas-manasinya dengan menggandeng lengan cowok itu dan menyandarkan kepalanya ke bahu Gavin sambil menjulurkan lidahnya ke arah Clara sengaja mau meledeknya.
"Lo bisa nggak ganggu gue dulu?" kali ini Gavin yang bersuara dengan suara beratnya yang datar. Pandangannya turun ke Yaya. Yaya sendiri cepat-cepat menjauhkan kepalanya dan bersandar di sofa. Dia menghargai Gavin, kalau cowok itu merasa terganggu tentu saja Yaya tidak akan mengganggunya dulu. Gavin sendiri tidak terlihat marah tapi ia merasa pekerjaannya terganggu karena gadis itu.
Sedang Bintang malah asyik-asyikan menonton dua sejoli itu. Kalau dilihat baik-baik, mereka serasi juga. Yang satunya tampan, yang satunya lagi cantik. Hanya saja kecantikan Yaya sedikit tertutupi dengan kelakuan gilanya, menurutnya.
Yasmin dan Clara sama-sama menertawai Yaya. Mereka merasa puas. Tapi seperti biasa, Yaya tidak peduli. Fokusnya berpindah ke seisi ruangan itu.
Ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Pandangannya lurus kedepan dan berhenti ke sebuah lukisan. Itu hanya lukisan sebuah rumah dan beberapa kumpulan orang. Lukisannya sederhana, tapi orang yang melukisnya menggunakan perasaan yang amat dalam hingga Yaya bisa ikut merasakan apa sebenarnya yang ingin diberitahukan sang pelukis dalam karyanya yang luar biasa itu.
Lukisan itu berarti kerinduan yang amat dalam di mata Yaya. Gadis itu terpana. Matanya tidak bergerak sedikitpun dari lukisan itu.
"Kenapa lo natap rumah Gavin kayak gitu? Iri yah karena situ miskin. Udah deh trima aja, kalo miskin ya miskin aja. Lo nggak cocok jadi orang kaya dengan tampang kucel kayak gitu." ledek Yasmin merendahkan.
Yaya memutar bola matanya malas. Nggak nyambung banget, orang yang dia liat lukisan eh yang dibahas sesuatu yang sangat tidak berfaedah.
"Kalo lo semua datang ke sini buat ribut, mending pulang sekarang." sentak Gavin dingin. Ia menatap Yasmin dan Clara bergantian lalu melirik Yaya yang duduk di sebelahnya. Gadis itu terlihat biasa saja dan tampak tidak tersinggung dengan hinaan yang dilontarkan Yasmin tadi.
"Heran deh gue sama lo bertiga, kerjaannya ribut mulu. Nggak bisa apa sekali aja kalian pada akur."
kali ini Bintang ikut bicara. Yasmin dan Clara diam saja, mereka tidak sudi akur dengan cewek aneh macam Yaya.
Gavin mengikuti arah pandang Yaya. Sejak tadi gadis itu terus memperhatikan sesuatu yang ada didepannya dengan serius. Ini kedua kalinya Gavin mendapati Yaya yang pandangannya masih tidak berpindah dari sesuatu yang dilihatnya. Karena penasaran cowok itu ikut mengikuti arah pandang Yaya dan menyadari apa yang tengah diperhatikan gadis itu.
lukisan...
Itu lukisan yang dilukisnya ketika ia merindukan almarhum kakeknya. Dulu waktu kecil ia tinggal bersama kakeknya, tapi semenjak kakeknya meninggal ia balik ke rumah mama dan papanya lagi. Tapi, kenapa Yaya melihat lukisan itu serius begitu? Bahkan pandangannya seperti tidak mau berpindah dari lukisan itu.
"Heh cewek aneh, nih giliran lo yang catet." tukas Clara menyodorkan buku catatan di didepan Yaya dengan kasar.
Gavin melemparkan tatapan tajam ke Clara. Ia tidak suka cewek kasar.
Yaya kembali mengalihkan perhatiannya pada Gavin dan yang lain. Pandangannya lurus ke Clara dengan menunjukkan gaya menantangnya.
"Cewek kasar nggak bakal ada yang suka, wleee." ledeknya lalu mengambil buku yang disodorkan Clara tadi. Clara mengepalkan kedua tangannya dengan wajah merah padam menahan emosi. Sialan nih cewek. Makinya dalam hati. Ia menatap Yaya kesal. Gadis yang ditatapnya itu malah pura-pura sibuk menulis sambil bersiul-siul. Sengaja mau meledeknya terus. Untung aja ada Gavin dan Bintang kalo tidak dia sudah menjambak rambut gadis itu daritadi.