seorang wanita tangguh, yang dikenal sebagai "Quenn," pemimpin sebuah organisasi mafia besar. Setelah kehilangan orang yang sangat ia cintai akibat pengkhianatan dalam kelompoknya, Quenn bersumpah untuk membalas dendam. Dia meluncurkan serangan tanpa ampun terhadap mereka yang bertanggung jawab, berhadapan dengan dunia kejahatan yang penuh dengan pengkhianatan, konflik antar-geng, dan pertempuran sengit.
Dengan kecerdikan, kekuatan, dan keterampilan tempur yang tak tertandingi, Quenn berusaha menggulingkan musuh-musuhnya satu per satu, sambil mempertanyakan batasan moral dan loyalitas dalam hidupnya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan intrik dan ketegangan, tetapi ia bertekad untuk membawa kehormatan dan keadilan bagi orang yang telah ia hilangkan. Namun, dalam perjalanan tersebut, Quenn harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang ia kenal bisa berubah, dan balas dendam terkadang memiliki harga yang lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Perang Dimulai
Langkah kaki mereka terdengar berat di lorong sempit gedung tua. Setiap suara, setiap detik, terasa seperti menghitung mundur menuju kehancuran yang tak terelakkan. Quenn dan Vincent bergerak cepat, merasakan ketegangan semakin menumpuk di udara yang semakin pekat. Ledakan dari markas Dmitri yang mereka hancurkan masih terdengar menggetarkan tanah di belakang mereka, memicu gelombang adrenalin yang meluncur deras ke pembuluh darah mereka.
"Rina harus punya cukup waktu," gumam Quenn, hampir tak terdengar.
"Aku harap begitu," jawab Vincent dengan suara penuh peringatan, melirik ke belakang, memastikan tidak ada jejak musuh yang menguntit mereka. "Ledakan itu seperti memberi sinyal, kita bukan lagi di bawah radar mereka."
Quenn hanya mendengus. "Biarkan mereka datang. Kita akan buat mereka menyesal."
Namun di dalam hatinya, rasa cemas mulai tumbuh. Mereka telah mengacaukan segalanya. Dmitri tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Dia tahu betul betapa liciknya musuh mereka, dan Quenn bisa merasakan tekanan itu semakin menekan mereka. Waktu mereka sangat terbatas.
Sementara itu, di dalam gedung yang kumuh itu, Rina masih terfokus pada layar laptopnya. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik perintah-perintah yang seharusnya bisa meruntuhkan kekuatan Dmitri. Peluh menetes dari dahinya meski udara di sekitar cukup dingin. "Tiga puluh persen..." bisiknya, suara ketegangan jelas terdengar.
Namun, suara langkah kaki dari luar gedung semakin mendekat, menghentikan sementara perhatiannya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Matanya cepat melirik pintu, berharap Quenn dan Vincent segera kembali. Tak ada waktu untuk kehilangan konsentrasi. Mereka tahu ini adalah taruhan hidup dan mati.
Di luar gedung, Quenn dan Vincent berlari, napas mereka berkejaran dengan langkah-langkah musuh yang semakin mendekat. Quenn mendengar kendaraan-kendaraan berat mendekat, memantulkan suara langkah kaki yang terus meningkat. Ketegangan semakin meliputi mereka, merasakan bahaya yang datang begitu cepat.
"Jika kita tidak memperlambat mereka, Rina tidak akan punya waktu untuk menyelesaikan tugasnya," kata Quenn, suaranya keras penuh perhitungan.
Vincent menoleh, wajahnya tegang. "Mereka terlalu cepat. Aku tak yakin kita bisa mencegah mereka semuanya."
"Tapi kita bisa membuat mereka terpecah," jawab Quenn dengan senyum sinis yang mengandung ancaman.
Tanpa peringatan, Quenn melemparkan granat asap ke tengah jalan. Sepersekian detik kemudian, kabut putih memenuhi jalanan. Quenn menarik Vincent masuk ke gang sempit yang sepi, dengan refleks yang terlatih.
"Jaga pintu. Aku akan tangani yang lain," kata Quenn, matanya sudah memandang ke arah dua pria bersenjata yang mulai mendekat.
Vincent mengangguk dan mengambil posisinya. Quenn, dengan tubuh gesit, melompat keluar dari bayangan dan menyerang pria pertama dengan pukulan keras yang membuatnya jatuh terjerembab. Sebelum musuh itu bisa mengangkat senjata, Quenn sudah menyelesaikannya dengan tembakan cepat yang mengakhiri perlawanan.
Di sampingnya, Vincent melakukan gerakan yang sama, menewaskan pria kedua dengan ketepatan yang mematikan. Dalam hitungan detik, keduanya berhasil melumpuhkan dua musuh tanpa banyak suara, hanya detakan napas mereka yang berat dan ketegangan yang tak terhindarkan.
"Kita lanjut," kata Vincent, matanya tidak menunjukkan rasa takut. "Mereka pasti sudah mendengar ledakan itu."
Begitu kembali ke gedung tua, Rina tampak tak tenang. Wajahnya yang semula terfokus kini dipenuhi kecemasan. "Aku hampir selesai, hanya perlu lima menit lagi," katanya, suaranya penuh tekanan, tak mampu menyembunyikan kegelisahan.
Quenn menatapnya sejenak. "Pastikan ini selesai. Tak ada pilihan lain."
Vincent bergerak cepat, memastikan semua senjatanya dalam kondisi siap. "Kita akan menahan mereka sebanyak yang kita bisa. Kau fokus pada laptop itu."
Seperti sudah diprediksi, suara langkah kaki mulai terdengar semakin jelas. Quenn melihat ke luar jendela, dan dari bayang-bayang yang berputar, ia tahu musuh sudah tiba.
"Pintu depan," kata Quenn dengan suara rendah, lalu bergerak ke posisi. Vincent sudah siap di sisi kiri, mengawasi setiap sudut dengan ketajaman mata yang mematikan.
Pintu tiba-tiba didobrak dengan keras. Quenn dan Vincent tanpa ragu melepaskan tembakan. Suara peluru meledak, bergemuruh memenuhi ruangan. Quenn terus menembak, akurat dan dingin. Setiap tembakan adalah satu nyawa yang terenggut, satu langkah lebih dekat menuju kemenangan.
"Rina! Cepat!" teriak Quenn, suaranya penuh perintah.
Rina menatap layar laptopnya, jarinya yang sudah lelah terus bekerja tanpa henti. "Satu menit lagi!"
Satu musuh berhasil melompat masuk dari celah pintu, langsung menembak ke arah Rina. Quenn tanpa pikir panjang melompat, menabrak musuh itu dengan tubuhnya, mencegah peluru mengenai Rina. Dengan tangan terampil, Quenn menghabisi pria itu, membiarkan darahnya menyebar di lantai.
"Aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu!" teriak Quenn, matanya penuh dengan api kemarahan.
Suara laptop Rina akhirnya berbunyi, membuat seluruh ruangan terasa sepi sejenak. "Selesai!" serunya dengan napas yang tersengal. "Aku berhasil mengirim virus dan mencuri data mereka."
"Bagus," kata Quenn sambil memeriksa senjata. "Kita harus keluar dari sini sekarang."
Mereka berlari keluar dari gedung, meskipun bahaya semakin mendekat. Kendaraan musuh sudah bersiap mengepung mereka. Dengan data di tangan, Quenn tahu ini adalah keuntungan besar, namun ia juga tahu, bahaya baru akan datang segera.
Vincent melihat ke sekeliling, matanya cepat menangkap pergerakan musuh yang semakin mendekat. "Mereka akan mengepung kita dalam waktu singkat," katanya, penuh perhitungan.
Quenn tersenyum dingin. "Jika mereka ingin datang, kita akan beri mereka sesuatu yang mereka takkan lupakan."
Quenn memegang detonator di tangannya. Ketika mobil-mobil musuh semakin mendekat, ia menekan tombol, dan dalam sekejap, ledakan besar mengguncang jalanan, membuat gedung tempat mereka baru saja keluar terbakar hebat. Api membubung tinggi ke udara, membakar segalanya yang ada di sekitarnya.
"Malam ini belum berakhir," gumam Quenn, matanya menatap penuh tekad ke arah kekacauan yang mereka tinggalkan. "Sekarang, perang baru saja dimulai."