Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH
Pagi menjelang siang, Revan membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat, dan dunia di sekitarnya tampak bergerak lambat, seperti terperangkap dalam kabut tipis yang mengganggu kesadarannya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai terasa menyilaukan.
"Di mana ini?" gumamnya pelan sambil berusaha duduk. Kepala yang masih terasa berat memaksa dirinya bergerak lamban. Selimut tipis yang menutupi tubuhnya melorot ke lantai. Ia memandanginya sejenak dengan alis berkerut. Siapa yang menyelimutinya?
Dengan usaha keras, Revan bangkit dari tempat tidur. Langkahnya gontai saat ia menjelajahi rumah yang asing baginya. Ia berjalan melewati dapur yang cukup brantakan, ruang tidur lain yang pintunya setengah terbuka, hingga ia tiba di garasi. Di sana, mobilnya terparkir, dan kunci mobilnya tergantung tak jauh dari tempatnya berdiri di dekat pintu.
Tanpa berpikir panjang, Revan meraih kunci tersebut, membuka pintu garasi, dan masuk ke dalam mobil. Mesin mobil meraung pelan saat ia menyalakannya, lalu ia melajukan kendaraannya keluar dari rumah itu, meninggalkan tempat yang masih membingungkannya.
Beberapa saat setelah itu, Karina datang dengan sepeda motornya. Ia masuk ke halaman rumah dan langsung menyadari sesuatu yang tidak beres. Pintu garasi yang terbuka lebar membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Dengan langkah tergesa-gesa, Karina memarkirkan motornya dan berlari menuju garasi. Ketika ia melihat bahwa mobil Revan sudah tidak ada, Karina hanya bisa menghela napas panjang sambil menatap kosong.
"Benar dugaan gue... dia pergi. Dasar kampret," gumamnya, nada suaranya tajam dan penuh emosi.
Karina menghela napas panjang, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Pergi nggak bilang-bilang. Kalau tahu begini, aku nggak usah repot-repot nolongin dia,” ujarnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Perasaan kesal bercampur kecewa membuncah di dadanya, namun ia hanya bisa berdiri di sana, menatap kosong ke arah garasi.
Sedangkan saat ini, Revan mengendarai mobilnya dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Jalanan di depannya terasa bergoyang, seperti ilusi yang menari-nari di bawah pengaruh mabuk yang belum sepenuhnya hilang.
Pandangannya masih kabur, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus. "Sial, kenapa rasanya masih berat begini?" gumamnya seraya mengusap wajah dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap menggenggam kemudi.
Mobil melaju di jalan yang tidak terlalu ramai, dengan suara mesin yang monoton menemani pikirannya yang berkecamuk. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia terbangun di rumah asing tadi. Fragmen-fragmen samar mulai muncul di benaknya, suara musik keras, percakapan yang tidak jelas, lalu kekosongan. Selebihnya, semuanya gelap.
"Kenapa aku bisa sampai di sana?" pikir Revan. Rasa penasaran bercampur dengan perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak tahu apa itu.
Matanya melirik ke kaca spion. Jalan di belakangnya tampak kosong, hanya aspal yang memantulkan sinar matahari siang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Bayangan wajah seorang wanita tiba-tiba melintas di pikirannya, Karina.
Revan menggertakkan giginya, entah karena rasa bersalah atau marah pada dirinya sendiri.
"Apa dia yang nolongin aku?" gumamnya pelan.
Tiba-tiba, bunyi klakson keras dari mobil di jalur berlawanan membuyarkan lamunannya. Revan tersentak dan segera mengembalikan fokusnya ke jalan. Ia menyadari mobilnya sempat keluar jalur sedikit.
"Sialan!" serunya sambil menggenggam setir lebih erat.
Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Revan menepi ke pinggir jalan dengan gerakan tergesa-gesa. Mobilnya berhenti di bawah naungan pohon besar di tepi jalan yang sepi. Ia mematikan mesin, membiarkan keheningan mengambil alih. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun seolah-olah ia baru saja selesai berlari jauh.
Kepalanya bersandar ke sandaran kursi, matanya menatap kosong ke langit-langit mobil. "Ini nggak bisa terus begini," gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar di dalam kabin. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengusir rasa pusing yang masih tersisa.
Tatapannya kemudian tertuju ke depan, ke jalan panjang yang terbentang tanpa ujung, seperti menggambarkan kekosongan dalam dirinya. Namun, di tengah kesunyian itu, pikiran tentang seseorang tiba-tiba menyelinap masuk, Nadira. Bayangan wajahnya, pucat dan lemah, muncul begitu jelas di benaknya.
Hatinya mencelos, mengingat Nadira sedang berada di rumah sakit. Dan Ia ingat dengan permintaannya, menginginkan Revan untuk menikah dengan kakaknya, Mira.
"Kenapa permintaanmu sangat berat buatku Nad, apa tak ada permintaan lain, selain harus menikah dengan kakakmu." Revan.
Lamunannya terhenti ketika suara getar ponsel tiba-tiba terdengar dari dashboard. Ia meraihnya dengan gerakan sedikit ragu. Layar ponselnya menyala, memperlihatkan sebuah nomor asing.
Revan terdiam sejenak, alisnya berkerut. "Siapa lagi ini?" gumamnya. Ia memandangi nomor itu, jempolnya menggantung di atas tombol jawab. Pikirannya bergejolak antara menjawab atau mengabaikannya.
Dengan napas panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menggeser ikon hijau di layar, menyambungkan panggilan tersebut.
"Halo?" suaranya terdengar serak, mencerminkan kelelahan yang ia rasakan.
Di ujung sana, suara seorang wanita terdengar, dan hanya dalam beberapa kata, Revan langsung tahu siapa yang menelepon—Mira.
“Revan, kamu ada di mana? Sekarang kamu bisa ke sini sebentar? Aku ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan dengan kamu,” ujar Mira, suaranya terdengar mendesak, namun tetap lembut.
Revan mengerutkan kening, namun mencoba menahan rasa penasaran yang langsung meluap. Ia menarik napas pelan sebelum menjawab, “Aku lagi ada di jalan. Sebentar lagi aku akan ke sana.”
“Oke, kalau begitu, aku tunggu ya,” jawab Mira sebelum menutup telepon.
Revan menurunkan ponselnya dan meletakkannya kembali di dashboard. Tanpa ragu, Menyalakan mesin mobil dan melaju menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi spekulasi tentang apa yang ingin dibicarakan Mira.
Entah itu kabar baik atau buruk, ia hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit.
Mobil Revan melambat saat ia memasuki area parkir rumah sakit. Matanya menyapu sekitar, mencari tempat kosong di tengah deretan kendaraan yang terparkir rapi. Begitu ia menemukan satu, Revan segera memarkirkan mobilnya.
Ia mematikan mesin dan dengan langkah yang sedikit berat, Revan keluar dari mobil. Udara dingin AC sentral rumah sakit langsung menyambutnya begitu ia memasuki gedung.
Ia berjalan menyusuri koridor, dengan mata menyapu nomor-nomor ruangan di dinding, mencari ruang Nadira yang sudah ia ketahui. Setiap langkahnya terasa semakin lambat, seperti ada sesuatu yang menahannya.
Begitu ia sampai di depan pintu, Revan berhenti sejenak. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan. Tangannya terulur, menggenggam gagang pintu, lalu membukanya perlahan.
Namun, apa yang ia lihat di balik pintu itu membuatnya tertegun. Ruangan itu tidak seperti yang ia bayangkan. Di dalamnya, ia melihat seorang penghulu yang duduk di tengah, dengan beberapa orang lain di sekitarnya, termasuk Nadira yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tersenyum tipis meski terlihat pucat.
Dan di samping penghulu, berdiri Mira, mengenakan pakaian sederhana tetapi terlihat anggun. Tatapan semua orang langsung tertuju pada Revan yang masih berdiri di ambang pintu, dengan kebingungan.
Mira menghampirinya dengan langkah tenang, tetapi ada sorot penuh rasa bersalah di matanya.
"Revan," katanya pelan, ingin melanjutkan perkataan tapi Revan berbicara lebih dulu.
"Apa-apa ini Mir? Kenapa mendadak seperti ini, Mir? Kenapa nggak bilang sebelumnya?” tanyanya, suaranya terdengar berat.
Mira menunduk sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku nggak bermaksud bikin kamu terkejut, Rev. Tapi Nadira memohon agar kita mempercepat pernikahan ini. Dia ingin melihat kita menepati janjinya."
Revan menghela napas panjang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi di depannya. Pandangannya bergantian antara Mira yang berdiri di hadapannya dan Nadira yang terbaring lemah di ranjang, tetapi tetap menatapnya dengan senyum penuh ketenangan.
“Gimana, Rev?” tanya Mira, suaranya bergetar meski ia berusaha terlihat tegar. “Apa kamu akan menolak? Dengan ini semua yang begitu tiba-tiba. Tapi… ini permintaan Nadira, Rev.”
Revan diam sejenak, menatap dalam-dalam wajah Mira, sambil mempertimbangkan beratnya keputusan yang harus ia ambil. Namun, tatapan Nadira yang penuh kelembutan dan keikhlasan itu menghujam hatinya, membuatnya tak mampu berkata tidak.
Dengan tarikan napas panjang, ia berkata. “Oke,” ujarnya.
“Aku akan melakukan pernikahan ini. Demi Nadira. Walaupun sangat berat untukku lakukan.”
Mira menatapnya dengan ekspresi bersalah, namun juga lega.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menggandeng tangan Revan, membawanya menuju tempat prosesi pernikahan yang sudah disiapkan.
Tepat di samping ranjang Nadira, Penghulu yang duduk, mulai menyiapkan dokumen dan perlengkapannya. Beberapa orang saksi yang hadir memperhatikan dalam keheningan.
sementara Nadira tersenyum lemah, tetapi ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya saat melihat Revan dan Mira berdiri berdampingan di hadapan penghulu.
Proses akad berlangsung dengan khidmat. Suara penghulu mengalun tenang, membacakan rangkaian doa dan kalimat pembukaan. Revan mencoba fokus, meski hatinya terus bergejolak. Sesekali, pandangannya jatuh pada Nadira yang menatap penuh kedamaian, seolah ingin meyakinkannya bahwa ini adalah keputusan yang benar.
Ketika tiba saatnya, penghulu mengarahkan pandangannya pada Revan. “Revan, apakah kamu bersedia menikahi Mira binti Harun dengan mahar yang telah disepakati?”
Revan menarik napas panjang, menatap penghulu, lalu Mira. Setelah itu, ia menganggukkan kepala dan berkata dengan suara yang tegas meski ada sedikit getaran, “Saya bersedia.”
Kemudian, penghulu memberikan arahan kepada Revan untuk mengucapkan ijab kabul. Suasana ruangan terasa sunyi, hanya suara detak alat medis yang mengiringi momen penting itu.
Ketika Revan mengucapkan kalimat akad dengan lantang, Nadira menutup matanya sejenak, air mata menetes di pipinya. Ia tersenyum lebih lebar, seolah keinginannya telah terwujud.
Selesai prosesi, Mira dan Revan menoleh ke arah Nadira. Mira mendekati ranjang, menggenggam tangan Nadira dengan penuh kasih. "Semua sudah selesai, Nad. Terima kasih kamu sudah mempercayai kami," katanya dengan suara bergetar.
Revan berdiri di sisi ranjang, menatap Nadira dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia tahu, keputusan ini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang memenuhi harapan terakhir seseorang yang sangat berarti baginya.
“Terima kasih, kak… Rev… kalau sudah memenuhi keinginanku.” ucapnya lirih, suaranya hampir seperti bisikan.
“Kalian… harus bahagia, ya?… setelah ini…”
Mira hanya bisa mengangguk, menahan emosi yang hampir tumpah. Dalam hatinya, ia berjanji akan menjaga amanah Nadira, meski merasakan luka di hatinya. Seperti yang di rasakan oleh Revan saat ini, membutuhkan waktu lama untuk sembuh.