Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Reuni
Mika duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan segera memesan tiket pesawat menuju kota lamanya. Ia memilih penerbangan pagi, memastikan dirinya tiba lebih awal dan punya waktu untuk mempersiapkan semuanya dengan tenang. Setelah memasukkan detail kartu dan mengonfirmasi pemesanan, layar menunjukkan pesan:
“Tiket Berhasil Dipesan.”
Penerbangan: 9 November, 07:00 WIB
Kedatangan: 9 November, 09:30 WIB
Mika menarik napas panjang. Perjalanan ini bukan sekadar reuni. Ini adalah perjalanan menutup luka.
Malam terasa panjang setelah tiket dipesan. Mika duduk di ranjang, menatap kalender di ponselnya. “Hanya tiga hari lagi,” pikirnya. Dalam waktu dekat, ia akan berhadapan dengan Dara, Antony, Nisa, dan teman-teman lainnya. Mereka tidak akan tahu apa yang menanti mereka—gadis yang dulu mereka remehkan kini sudah berubah total.
Setiap detik menanti hari keberangkatan terasa seperti ujian mental bagi Mika. Berbagai kenangan pahit mulai bermunculan, membuatnya bergulat dengan emosi. Namun, ia tahu bahwa kali ini ia akan mengambil kendali atas narasi hidupnya.
Pagi 9 November akhirnya tiba. Mika bangun lebih awal, merasa sedikit gugup tapi juga bersemangat. Ia merapikan kopernya, memastikan semua kebutuhan penting sudah siap—gaun, makeup, dan ponsel untuk merekam momen penting.
Saat tiba di bandara, Mika merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi merasa takut. Kali ini, ia datang bukan sebagai Mika yang dulu lemah dan tidak berdaya. Ia adalah seseorang yang telah melalui banyak hal dan siap menghadapi apa pun.
Di dalam pesawat, Mika duduk di dekat jendela, memandangi awan putih yang bergulung di langit biru. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari akhir. Setelah ini, ia tidak akan pernah lagi menjadi budak kenangan pahit masa lalu.
Pesawat mendarat tepat waktu. Mika menarik napas dalam saat menginjakkan kakinya di bandara kota lamanya, kota yang menyimpan banyak luka sekaligus menjadi tempat ia memulai babak baru dalam hidupnya.
Udara pagi terasa dingin, namun Mika tidak menggigil. Ia menyetop taksi dan memberi alamat hotel tempat ia akan menginap. Selama perjalanan, kota itu terasa familier sekaligus asing—jalan-jalan yang dulu menyimpan kenangan pahit kini terlihat seperti tempat yang sudah berubah tanpa ia sadari.
Tiba di hotel, Mika check-in dan menuju kamarnya. Ia membuka koper dan mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk malam besar itu. Gaun hitam elegan yang dibawanya tergantung rapi di gantungan, seolah menunggu saatnya bersinar.
***
Di salah satu butik mewah di pusat perbelanjaan, Dara, Nisa, dan Farah sedang memilih pakaian untuk reuni. Mereka tertawa dan bercanda, persis seperti masa SMA, seolah tidak ada yang berubah dalam pertemanan mereka. Dara, dengan rambut panjang bergelombang dan wajahnya yang tetap memukau, memeriksa setiap gaun dengan saksama.
“Aku mau tampil sempurna di reuni,” kata Dara, menatap dirinya sendiri di cermin. “Biar semua orang tahu aku berhasil.”
Nisa, yang kini dikenal sebagai influencer kesehatan mental, menyeringai sambil memeriksa blazer formal. “Sudah pasti, Dar. Apalagi kamu kan sekarang istri Antony, pebisnis sukses. Reuni itu bakal kayak red carpet buat kamu.”
Farah tertawa kecil. “Kayaknya semua bakal iri sama kita. Geng kita masih utuh dan sukses semua.”
Mereka tertawa bersama. Bagi mereka, hidup adalah kompetisi, dan kemenangan artinya tetap berada di puncak—lebih cantik, lebih kaya, dan lebih bahagia dibanding siapa pun.
***
Saat Dara sedang memilih gaun berwarna merah marun, Nisa tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, kamu ingat Mika?” tanyanya, sedikit tergelak.
Farah menimpali, “Si gendut yang jatuh cinta sama Antony? Ya ampun! Gara-gara kita bacain surat cintanya di depan sekolah, dia langsung kabur pindah sekolah, kan?”
Dara tersenyum sinis. “Iya. Lalu, dia hilang gitu aja. Sampai sekarang nggak ada kabar.”
Nisa tertawa kecil sambil mencoba beberapa aksesori di cermin. “Mungkin dia masih trauma sama kita, atau malah tambah gendut di sana.”
Mereka bertiga kembali tertawa, menikmati kebanggaan atas kekuasaan yang dulu mereka miliki atas Mika. Bagi mereka, Mika hanyalah kenangan tak berarti—seseorang yang hidupnya mereka rusak tanpa rasa bersalah.
“Apa dia bakal muncul di reuni?” tanya Farah, setengah bercanda.
“Jangan mimpi,” Dara mendengus. “Kalau pun dia datang, dia pasti tetap seperti dulu. Memalukan.”
Nisa hanya mengangkat bahu. “Yang jelas, reuni nanti bakal jadi acara besar buat kita. Semua orang bakal tahu kita tetap unggul. Udah, fokus aja sama kita yang sekarang. Mika udah nggak penting lagi.”
Dara memilih gaun yang menurutnya paling sempurna—gaun merah elegan yang akan membuat semua mata tertuju padanya. Ia memandangi dirinya sendiri di cermin dan merasa sangat puas. Kehidupannya tampak seperti mimpi yang jadi kenyataan. Istri seorang pebisnis sukses, memiliki keluarga kecil yang bahagia, dan status sosial yang tinggi.
“Mereka bakal kaget lihat betapa sempurnanya hidupku,” ujar Dara sambil tersenyum puas.
Farah mengangguk. “Dan kita tetap jadi pusat perhatian. Dari dulu sampai sekarang, nggak ada yang bisa ngalahin kita.”
***
Malam reuni tiba. Mika berdiri di depan cermin hotel, mengagumi sosoknya yang memukau. Gaun mewah berwarna hitam dengan potongan rendah di bagian punggung membalut tubuhnya yang kini ramping dan atletis. Tubuh yang dulu menjadi bahan olokan kini terlihat seperti karya seni—proporsional dan elegan.
Riasan wajahnya begitu intens namun elegan, membuat matanya terlihat tajam dan penuh teka-teki. Lipstik merah gelap menghiasi bibir indahnya, menciptakan aura sensual yang tak terbantahkan. Tak ada lagi jejak gadis pemalu dan rendah diri di dalam dirinya. Mika telah berevolusi—menjadi seseorang yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Ia merapikan rambut panjangnya yang digerai lembut, lalu mengenakan sepasang sepatu hak tinggi. Dengan langkah tenang, Mika mengambil tas kecilnya dan ponselnya. Semua sudah siap. Malam ini adalah miliknya.
Sebelum keluar dari kamar hotel, Mika mengirim pesan singkat kepada dirinya sendiri:
“Hari ini, aku mengambil kembali kendali.”
Ia tersenyum tipis, menutup ponselnya, lalu melangkah keluar.
Pintu Ballroom Terbuka
Ketika Mika tiba di Hotel Emerald, ballroom tempat reuni sudah penuh dengan alumni yang datang dengan pasangan mereka. Lampu kristal di langit-langit memantulkan kilau, menambah kesan glamor malam itu. Semua orang tampak sibuk saling menyapa dan bercengkerama, mengenang masa-masa sekolah.
Mika tidak diundang, tapi itu bukan masalah. Ia tahu cara menyelinap masuk. Ia berjalan dengan percaya diri ke arah meja pendaftaran. Petugas penerima tamu tersenyum sopan, tidak curiga sedikit pun, seolah Mika adalah bagian dari acara itu.
Dengan kepala tegak dan senyuman kecil di bibir, Mika melangkah memasuki ballroom. Setiap langkahnya penuh percaya diri, seolah-olah panggung ini memang disiapkan untuknya.
mampir juga dikaryaku ya kak jika berkenan/Smile//Pray/