Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Luka yang Tak Terlihat
Hujan masih turun malam itu, membasahi jalan-jalan kota dengan irama yang seakan menyuarakan kesedihan di hati Naura.
Ia duduk di sudut kamar, memeluk lututnya dengan wajah yang basah oleh air mata.
Perasaan hampa memenuhi ruang di dalam dirinya, menyisakan kehancuran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di atas meja kecil di sudut ruangan, foto pernikahan mereka masih berdiri tegak dalam bingkai kayu.
Naura memandangi senyum di wajahnya sendiri dalam foto itu, senyum seorang wanita yang percaya bahwa hidupnya telah menemukan kebahagiaan sejati.
Tapi sekarang, kebahagiaan itu terasa seperti mimpi yang hanya datang untuk meninggalkannya dalam kegelapan.
Sedangkan di atas ranjang, ia melihat suaminya tertidur pulas tanpa peduli dengannya. Diabaikan itu sungguh menyakitkan.
Suaranya gemetar saat ia berbicara pada dirinya sendiri, “Kenapa, Mas? Kenapa kamu harus menghancurkan aku seperti ini?”
***
Pagi itu, Naura terbangun dengan mata sembab.
Hujan sudah berhenti, tapi hatinya masih diliputi awan gelap. Ia tahu, tidak ada yang akan berubah jika ia hanya menangis dan bersembunyi.
Ia harus menghadapi kenyataan, betapapun menyakitkannya.
Ketika ia keluar dari kamar, Bimo sudah tidak ada di rumah. Ia tahu, seperti biasa, pria itu menghindari konfrontasi.
Tapi kali ini, Naura tidak ingin membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Ia memutuskan untuk menelepon seseorang yang bisa membantunya—Rani.
“Rani,” suara Naura bergetar di telepon, “aku nggak tahu harus ngapain lagi. Aku butuh bantuanmu.”
Rani, yang sudah mendengar sebagian besar kisah Naura, tidak membuang waktu. “Naura, tenang dulu. Aku akan ke apartemen suamimu sekarang.”
***
Tidak lama kemudian, Rani tiba dengan wajah penuh keprihatinan.
Ia memeluk Naura erat, seakan mencoba membagi kekuatannya pada sahabatnya itu.
“Ceritakan semuanya,” kata Rani dengan lembut.
Naura mulai menceritakan apa yang terjadi, dari foto-foto yang diberikan Anita, pertemuannya dengan Rina, hingga semua kebohongan Bimo yang kini terungkap.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti duri yang menusuk, tapi ia tahu ia harus melepaskan semuanya.
“Aku nggak tahu harus gimana lagi, Rani,” Naura menangis.
“Aku cinta sama dia, tapi aku nggak bisa terus-terusan hidup begini.”
Rani menggenggam tangan Naura dengan erat.
“Kamu nggak sendirian, Naura. Aku di sini. Kita akan cari jalan keluarnya bersama.”
Namun, takdir sepertinya tidak ingin memberi Naura waktu untuk bernapas. Padahal hubungan Naura dan Bimo belum jua membaik.
Beberapa hari kemudian, ia menerima telepon dari desa. Suara panik di ujung telepon itu adalah ibunya.
“Naura, ayahmu jatuh sakit lagi. Dia nggak bisa bangun dari tempat tidur.”
Naura tertegun. Air matanya langsung mengalir.
“Bu, aku akan pulang sekarang juga. Tunggu aku.”
Setelah telepon ditutup, Naura merasa kepanikannya semakin memuncak.
Ayahnya sudah lama menderita penyakit jantung, dan sekarang kondisinya semakin memburuk.
Ia tahu, pengobatan ayahnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sementara tabungan mereka hampir habis.
Naura duduk di lantai kamar, meremas rambutnya dengan frustrasi.
“Apa yang harus aku lakukan? Tuhan, tolong beri aku kekuatan.”
Ketika Bimo pulang malam itu, Naura langsung menghadapinya.
Ia sudah tidak peduli lagi pada kebohongan pria itu.
“Mas,” Naura mulai, suaranya tegas meskipun matanya masih basah. “Aku butuh uang untuk pengobatan ayahku.”
Bimo mengernyit. “Berapa banyak yang kamu butuhkan?”
“Cukup untuk membawanya ke rumah sakit dan menjalani pengobatan.”
Bimo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Aku akan transfer sebagian. Tapi Naura, kamu harus tahu, keuangan kita juga terbatas.”
Naura menatapnya dengan tatapan penuh luka.
“Keuangan kita terbatas? Mas bicara seperti itu setelah semua yang Mas lakukan? Aku tahu Mas menghabiskan uang kita untuk hal-hal yang bahkan aku nggak tahu apa gunanya.”
Bimo menggeram pelan, menahan emosinya.
“Naura, aku sudah bilang aku akan bantu. Jangan membuat ini lebih rumit.”
“Tentu, Mas,” jawab Naura dengan suara lemah.
“Seperti biasa, kamu hanya akan melakukan yang menurutmu cukup, tanpa peduli bagaimana aku harus menanggung sisanya.”
***
Keesokan harinya, Naura kembali ke desa. Perjalanan itu terasa lebih berat dari biasanya, bukan hanya karena kekhawatirannya terhadap ayahnya, tetapi juga karena hatinya yang penuh luka.
Ketika ia tiba, ia langsung menuju kamar ayahnya.
Melihat pria tua itu terbaring lemah di atas ranjang membuat hatinya semakin hancur.
“Ayah,” Naura memegang tangan ayahnya dengan lembut.
“Aku di sini. Aku akan bantu Ayah sembuh.”
Ayahnya membuka mata perlahan, menatap Naura dengan senyum lemah.
“Naura... jangan khawatirkan Ayah. Kamu sudah cukup berkorban.”
“Jangan bicara seperti itu, Yah,” Naura menangis.
“Aku akan melakukan apa saja untuk Ayah.”
Tapi di dalam hatinya, ia tahu situasi ini semakin sulit. Uang yang Bimo transfer tidak cukup untuk pengobatan ayahnya, dan ia tidak tahu harus mencari bantuan ke mana lagi.
Malam itu, Naura duduk sendirian di ruang tamu. Ia memandangi ponselnya, berharap ada keajaiban yang datang.
Namun, yang muncul adalah pesan dari nomor tak dikenal.
“Naura, aku tahu kamu sedang kesulitan. Tapi aku juga tahu, Bimo tidak akan pernah benar-benar ada untukmu. Kamu harus membuat pilihan.”
Pesan itu membuat tubuh Naura bergetar. Ia tahu bahwa pesan itu mungkin berasal dari Anita atau Rina, tapi ia tidak tahu harus merespons seperti apa.
Air mata kembali mengalir di pipinya.
“Pilihan? Apa lagi yang bisa aku pilih? Semua pintu seakan tertutup untukku.”
Namun, di tengah keputusasaan itu, Naura teringat sesuatu yang pernah dikatakan ayahnya.
“Jangan pernah menyerah, Naura. Selalu ada jalan bagi orang yang percaya dan berjuang.”
Kata-kata itu memberi Naura sedikit kekuatan. Ia tahu, ia harus menemukan cara untuk keluar dari semua ini. Tapi bagaimana?
Keesokan paginya, Naura kembali ke kota untuk mencari bantuan lebih. Tapi langkah itu tidak membawa hasil.
Rumah sakit menolak untuk memberikan pengobatan sebelum pembayaran dilakukan, dan Naura tidak punya cukup uang untuk membayar semuanya.
Ketika ia pulang ke rumah, ia menemukan Bimo sedang duduk di ruang tamu dengan wajah muram.
“Aku lelah kamu selalu kembali ke desa,” kata Bimo tanpa menatapnya.
“Iya, bukannya sudah kuberi tahu jika Ayah sakit,” jawab Naura singkat.
Bimo menghela napas. “Naura, aku tahu aku banyak salah. Tapi aku benar-benar ingin membantu.”
Naura menatapnya dengan mata penuh luka.
“Membantu? Kalau Mas benar-benar ingin membantu, kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa Mas tidak pernah jujur sama aku?”
Bimo terdiam, tidak mampu menjawab.
“Aku nggak butuh janji lagi, Mas,” lanjut Naura dengan suara bergetar.
“Aku butuh tindakan nyata. Kalau Mas memang peduli, buktikan. Kalau nggak, biarkan aku sendiri.”
Naura tahu, ia telah sampai pada titik di mana ia harus memilih antara bertahan atau pergi. Tapi keputusan itu tidak akan mudah, dan ia tidak tahu apakah ia cukup kuat untuk melakukannya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan