Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
“Alhamdulillah saya dapat dua plastik nasi berkat, Bu. Yang satu bisa buat Bening, Bening itu suka banget sama nasi dari orang hajatan. Waktu Bening masih kecil, dia selalu nunggu Bapaknya pulang larut cuma buat makan nasi kenduri,” ujar Ajeng.
“Kok bisa dapet dua, Bu? Saya cuma dapet satu loh. Kalau gitu sama kayak Kelana, waktu kecil juga Kelana suka nungguin almarhum bapaknya pulang kenduri, kayaknya nasi kenduri saya buat Kelana aja deh, saya jadi sedih kalau ingat masa itu,” sahut Agustina.
“Ya udah nasi kenduri saya kita makan berdua aja biar Kelana sama Bening dapet satu-satu, Bu. Saya dapet 2 nasi berkat karena ngasih amplopnya juga dua, atas nama saya dan atas nama Bening, buat jaga-jaga aja siapa tau Bening bakal punya anak laki-laki yang bakal ngadain acara sunatan, jadi Bening punya tabungan amplop dari warga sini.”
“Bagus itu, Bu. Kenapa saya nggak kepikiran gitu juga, ya? Ya udah kita masuk aja, hujannya mulai besar,” ajak Agustina.
Ke dua ibu berpakaian rapi itu pun masuk ke dalam rumah yang mulai gelap karena tak ada yang menyalakan lampu. Mereka tampak bahagia membawa 3 nasi berkat untuk putra putrinya yang masih mereka anggap seperti anak kecil meskipun sudah dewasa.
Semua lampu di rumah itu pun perlahan menyala seruang demi seruang, namun Agustina dan Ajeng tak melihat atau pun mendengar gerak gerik kehidupan.
“Kelana sama Bening ke mana ya, Bu?” Agustina memandang seisi rumah yang sepi.
“Saya juga nggak tau, Bu. Mungkin ketiduran, mereka pasti capek abis dari lokasi syuting. Kalau gitu biar saya cari mereka dulu ya, Bu.”
“Nggak usah, biar saya aja. Sekarang Bu Ajeng bukan lagi asisten rumah tangga saya. Saya jadi nggak enak kalau memperkerjakan ibu terus.”
“Saya nggak merasa dipekerjakan kok, Bu. Lagian Mas Kelana aja masih kasih saya uang gaji, jadi apa pun yang saya kerjakan di rumah ini sangat ikhlas saya lakukan.”
“Ya udah kalau gitu kita cari bareng-bareng aja biar nggak ada rasa nggak enakkan.”
Agustina menggandeng lengan Ajeng untuk mencari putra-putrinya. Ke dua besan itu pun tampak akrab seperti tak ada kesenjangan sosial di antar mereka.
Saat sampai di depan kamar Kelana, suasana sekitar pun masih gelap karena tak ada yang menyalakan lampu. Namun ke dua ibu itu melihat kamar Kelana yang tak tertutup rapat.
“Sepertinya mereka benar ketiduran, Bu. Sepi banget kamarnya,” ujar Ajeng yang hanya mendengar berisiknya suara hujan.
Berniat ingin mengajak makan bersama, namun ke dua ibu itu malah mematung dengan kedua mata membola sesaat mendorong pintu kamar Kelana. Mereka melihat isi kamar remang-remang, namun ada sepasang manusia yang sedang bertukar saliva hingga seperti dunia milik mereka berdua.
“Bu, ayo kita pergi sebelum mereka lihat kita,” bisik Ajeng.
“Oke.” Agustina yang malu sendiri melihat kelakuan putranya pun memilih mundur alon-alon.
“Bang, kok pintunya kebuka?” Bening baru menyadarinya.
“Mungkin kena angin,” sahut Kelana.
“Udah, Bang. Udah mau magrib, nyalain lampunya,” titah Bening.
“Oke.”
Kelana menghidupkan lampu kamar itu, lantas menghampiri gorden yang bergoyang karena tertiup angin dari jendela yang terbuka. Suara hujan di luar pun sedikit meredam saat seluruh jendela sudah Kelana tutup berserta gordennya.
Hening.
Kelana memandang Bening yang tampak diam dengan wajah malu-malu. Sepasang manusia itu pun tampak canggung setelah mengingat adegan yang baru saja mereka lakukan untuk kali pertamanya.
“Kamu nggak dingin belum pakai baju?” Kelana memandang tubuh Bening yang masih terbalut handuk, dengan posisi duduk bersebelahan di bibir ranjang.
“Dingin, Bang. Ya udah aku pakai baju dulu.” Bening bangkit dari duduknya, namun dengan tanggap Kelana menarik tubuh Bening hingga istrinya duduk di pahanya.
“Bang –“ Bening berusaha bangkit karena jantungnya berdebar.
“Nanti dulu pakai bajunya. Kalau dingin, biar saya peluk aja.” Kelana mendekap Bening dari belakang, lantas mencium punggung putih istrinya itu.
“Abang, geli,” cicitnya.
“Maaf sayang, tapi Abang gemes banget kalau lihat kamu begini.”
Seketika Bening ngefreez saat mendengar cara bicara Kelana yang berubah. Dari nada bicara yang biasanya formal dengan menggunakan kata ‘Saya’, telah berubah menjadi ‘Abang’, dengan pembubuhan kata ‘Sayang’.
“Abang panggil aku sayang?” tanya Bening.
“Kalau lagi ngobrol sama pacar itu harus saling tatap, sayang. Nggak boleh memunggungi. Masa Abang bicara sama punggung.”
Bening menerima kritikan itu hingga menolehkan kepalanya, namun dengan cepat Kelana mengangkat tubuh Bening hingga posisi Bening jadi duduk menyamping di pahanya.
“Pegangan biar nggak jatuh, ya.” Kelana menuntun satu tangan Bening untuk merangkul lehernya.
“Kenapa cara bicara Abang jadi soft gini? Beberapa menit yang lalu enggak,” ujar Bening.
“Kita kan udah pacaran, masa Abang nggak boleh lembut sama pacar Abang?”
Bulu halus di lengan Bening mendadak berdiri saat melihat senyuman manis yang baru pertama kali Kelana tunjukan padanya.
“Jadi Abang selembut ini juga waktu pacaran sama Mbak Dara?” tanya Bening.
“Betul, tapi bedanya Abang nggak berani sentuh-sentuh Dara seperti Abang sentuh kamu sekarang. Apa kamu nggak nyaman?”
Bening menggeleng cepat. “Aku nyaman kok, Bang. Cuma aku masih canggung aja.”
“Nggak usah canggung lagi, okay?”
Bening mengangguk malu.
“Cium dulu.” Kelana mengetuk-ngetuk pipi kanannya.
“Sekarang aku boleh cium Abang sesuka hati?”
“Boleh.”
Dengan wajah sedikit kemerahan, akhirnya gadis itu mencium pipi Kelana diiring debaran jantung yang sulit dikontrol.
“Abang harap kita bisa saling mencintai.” Kelana mencium pipi Bening sebagai balasannya.