Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Dejavu
Tak hanya Amara, Syakil yang tak lain adalah Daddy-nya kini turut menghampiri Zain. Jika istrinya masih bisa bersikap manis, lain halnya dengan Syakil, suaranya menggema.
Pengakuan putranya jika sudah menikah sukses membuat Syakil tersedak ludah. Dia masih tak percaya, marah sekaligus bingung begitu melihat seorang gadis belia yang kini mencoba menunjukkan dirinya.
"Zain ... coba katakan lagi, Daddy ingin dengar."
"Aku sudah menikah, Dad, dan aku membawa istriku ke hadapan Dad_"
Plak
Sesuai dugaan, sebuah tamparan mendarat tepat di pipinya. Zain merasakan panas, dia tahu Daddy-nya akan marah. Seperti yang dia ketahui, pertunangan antara dirinya dan Jessica memang melibatkan peran Syakil yang merupakan sahabat dari papa Jessica.
Jelas saja kepulangannya yang kini membawa istri membuat Syakil terkejut. Bukan karena tidak setuju dengan wanita pilihan Zain, tapi sebagai orang tua, Syakil kecewa saja. "Semudah itu? Bagaimana dengan Jessica, Zain? Hendak bagaimana cara Daddy menghadapi Om Erlan?"
"Tentang Jessica, aku sudah menuntaskannya, Dad ... dan soal Om Erlan, aku yang akan bicara."
"Tidak sesederhana itu, Zain!!"
Syakil pernah diposisi ditinggal begitu saja. Bukan hanya hubungan yang rusak, tapi orangtua juga turut merasakan dendamnya. Syakil hanya tidak ingin, apa yang pernah papanya rasakan dulu, justru dirasakan oleh Erlan, papa dari Jessica.
Lagi pula Syakil tidak mengerti, dari sudut pandangnya, Nadin masih sangat muda. Wajahnya terlalu polos, dan melihat mata bulatnya, Syakil mendadak dejavu dan melihat seseorang di sana.
Syakil beralih pada Nadin, hati pria itu terhenyak. Iba, kasihan dan jelas tidak bisa marah. "Berapa umurmu, Nak?" tanya Syakil penasaran.
"19 tahun, Dad."
Tepat!! Syakil memijat pangkal hidungnya, seolah mengulang sejarah, apa yang putranya lakukan ini persis kelakuan kakaknya sewaktu muda. Usai bertanya, Syakil kembali menatap Zain yang tak pernah melepaskan gengggaman tangan. Seketika, pikiran buruk menguar di otak Syakil.
"Kau ...." Daddy Syakil sengaja menggantung ucapannya, Zain mendongak, memberanikan diri untuk menatap mata tajam papanya. "Kau memanfaatkan kepolosan gadis itu?"
"Tidak, Dad."
"Jangan bilang tidak!! Mana mungkin bentukan seperti ini mau diajak nikah buru-buru jika bukan karena terdesak!!"
Sewaktu masuk, yang panas dingin hanya Nadin. Akan tetapi, begitu di hadapan Daddy-nya, Zain kini ikut-ikutan tersiksa bahkan hendak menghela napas lega saja dia susah.
Dia takut, Daddy-nya marah besar dan tidak mungkin dia jujur tepat di hadapan Nadin. Sayangnya, hendak berbohong Zain juga bingung, karena memang sejak dulu dia ketahui, Daddy-nya serba tahu segala hal.
"Jawab!!"
Sama sekali tidak ada santai-santainya, teriakan Syakil menggema hingga Zain mundur selangkah lantaran khawatir pria itu sampai hati memukulnya.
"Kenapa? Mulutmu bisu?!!"
"Sayang sudah, Zain baru pulang ... berikan waktu untuknya agar bisa lebih tenang, lagi pula tidak enak pada Nadin."
Putranya baru saja mengingkari sebuah pertunangan, dan menikahi wanita lain, tapi Amara justru terlihat santai. Mungkin karena sesayang itu pada Zain sampai-sampai tidak bisa marah sekalipun membuat panik seisi rumah.
"Jangan terlalu dimanjakan, Ra, lihat jadinya."
"Iya tahu, tapi ada waktunya dan tidak sekarang ... mereka butuh istirahat."
Ingin Zain peluk mommy-nya sekuat tenaga. Sejak dahulu memang tidak pernah berubah, pengertian bukan main dan Zain benar-benar merasa beruntung lahir dari rahim wanita sebaik Amara.
"Kepalaku sakit sekali, masuklah ... nanti malam temui Daddy, Zain."
Begitu mendengar perintah sang Daddy, Zain segera berlalu pergi membawa Nadin ke kamarnya. Masih di tempat yang sama, Syakil terus memerhatikan punggung putranya.
Wajar saja dia mimpi buruk terus, selalu gelisah dan tidak mengerti apa yang menjadi penyebabnya.
"Astaga ... apa ini maksud mimpi burukku?"
"Mimpi? Mimpi apa memangnya?"
"Aku bermimpi, Zain datang dan mengacaukan rumah kita." Syakil menghela napas berat, dia mengusap kasar wajahnya dan mulai mencurigai makna mimpi itu.
"Mungkin cuma bunga tidur, atau bisa jadi karena kamu terlalu merindukannya."
"Tidak, Amara, firasatku tidak mungkin salah."
Ya, Syakil sangat yakin dengan firasatnya saat ini. Tak perlu waktu lama untuk berpikir, segera dia merogoh ponsel dan menghubungi seseorang di sana.
"Periksa CCTV apartemen Zain dua minggu terakhir, kirimkan padaku secepatnya."
.
.
"Orangtua kamu nggak suka aku ya, Mas?"
Setelah melewati rintangan terberat dalam hidupnya, Nadin baru kembali bicara ketika di kamar. Suasana hatinya masih kacau, tidak ada tenang-tenangnya. Walau tidak ada perkataan buruk dari orangtua Zain, tapi amarah Daddy-nya membuat wanita itu lemas tentu saja.
"Suka, buktinya Daddy lembut ketika bertanya padamu."
Benar, Daddy-nya memang sangat lembut ketika bicara pada Nadin. Ya, sebenarnya Zain merasakan perbedaaan itu. Hanya saja, Nadin yang pada dasarnya gak enakan jelas saja khawatir jika kehadirannya ke sini tidak begitu diterima.
Sudah dapat penjelasan, Nadin masih diam. Bahkan pakaiannya belum ditata sebagaimana anjuran Zain, mungkin dia berpikir andai nanti diusir ya tinggal pergi saja.
Sejenak dia menepis kekaguman pada kamar Zain yang empat kali lipat lebih besar dari kamar kostnya. Tidak ada waktu untuk itu, Nadin masih berpikir tentang orangtua Zain, itu saja.
Berbeda dengan Nadin, di sisi lain Zain justru santai saja. Napasnya benar-benar lega lantaran berhasil membawa istrinya ke rumah utama. Dengan mommy sebagai pembela yang dia anggap akan bisa melindungi sepenuhnya.
Seolah tanpa beban, pria itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memandangi punggung sang istri yang sejak tadi masih duduk di depannya, entah apa yang dia pikirkan.
"Nad."
Dipanggil tetap diam, Nadin masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Nadin," panggil pria itu lagi, dan tetap saja Nadin masih diam tanpa bereaksi apa-apa.
"Oey, Sayang!!" Tak hanya dengan bibirnya, Zain melemparkan bantal dan tepat mengenai punggung Nadin hingga sang istri menoleh pada akhirnya.
"Apasih? Kan bisa panggil baik-baik." Dia yang tuli, tapi masih bisa marah hingga Zain menarik sudut bibirnya tipis, sangat amat tipis hingga nyaris tak terlihat.
"Mikirin apa? Hm?"
"Mikirin lemari, ditaro mana tadi?" kesal lantaran Zain lempar pakai bantal, Nadin kini bertanya asal dan tidak lagi pada makna yang sebenarnya.
"Sini."
Ditanya apa jawabnya apa, Zain tak segera menjawab pertanyaan sang istri, melainkan menepuk sisinya demi meminta Nadin untuk mendekat segera. "Aku tidak nga_hoaam."
Semesta memang tidak merestuinya untuk berbohong. Nadin menolak ajakan sang suami dengan alasan tidak mengantuk, tapi jelas-jelas dia menguap hingga membuat Nadin mendekat juga pada akhirnya.
Jelas kedatangannya disambut hangat, Zain merentangkan lengan dan menyingkirkan bantal yang ada di sampingnya. "Buka jilbabnya," tidak hanya menjebak Nadin untuk membantalkan lengannya, Zain juga sudah berani meminta sang istri membuka kerudungnya.
"Kenapa harus dibuka?"
"Aku takut ketusuk jarumnya."
"Yang kali ini tidak pakai jarum, Mas," jawab Nadin tersenyum simpul, tapi dia paham maksud Zain hingga ketika sang suami memasang wajah datarnya tanpa aba-aba Nadin mengabulkan permintaam Zain segera. "Dasar, bilang aja mau lihat rambut, Pak," gumamnya begitu pelan, setengah berbisik malah.
"Apa kamu bilang?"
"Eng-enggak, ini ikat rambutnya kekencengan ... capek deh!! Gitu."
.
.
- To Be Continued -