Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Hubungan "pacaran pura-pura" Delisa dan Azka yang semula dimulai sebagai trik untuk menghindari gosip, justru membuat keduanya menjadi pusat perhatian di sekolah. Setiap langkah mereka selalu diperhatikan, apalagi setelah Azka mulai konyol seperti memberi bunga plastik atau melakukan adegan dramatis di koridor. Namun, dibalik kekonyolan itu, Delisa mulai merasakan kenyamanan yang berbeda saat bersama Azka. Apalagi perasaan yang lebih dari sekedar teman mulai mengganggu pikiran.
Namun, kenyamanan itu tak bertahan lama. Pada suatu hari di kantin, Delisa dan Caca sedang berbincang santai ketika mereka melihat pemandangan yang cukup mengejutkan. Seorang siswi cantik dengan rambut panjang dan gaya elegan sedang duduk bersama Azka di meja seberang. Gadis itu mengenakan seragam sekolah dengan rapi dan riasan tipis yang membuatnya terlihat dewasa dan memesona. Dari perkenalan, Delisa bisa melihat gadis itu tertawa kecil sambil menyentuh lengan Azka.
Caca memandang Delisa dengan heran. "Itu siapa ya? Kok dia keliatan akrab banget sama Azka?"
Delisa berusaha menyembunyikan rasa terganggunya, tapi matanya tak bisa lepas dari pemandangan itu. “Entahlah, mungkin teman lamanya?”
Caca memutar matanya sambil tersenyum. "Hmm, gaya bicaranya dan mengedipkan matanya kayak lebih dari sekedar teman, deh."
Delisa mendesah. Ia berusaha mengabaikan rasa tak nyaman yang menetap di hatinya. “Sudahlah, mungkin cuma teman aja.”
Namun, saat Delisa berusaha fokus pada makanannya, sesekali ia tetap melirik ke arah Azka dan gadis itu. Mereka tampak sangat akrab, tertawa bersama, dan bahkan Azka terlihat sesekali mengangguk penuh perhatian. Gadis itu sesekali melontarkan senyuman manis dan memainkan rambutnya, yang jelas terlihat sebagai gestur yang menarik perhatian.
Delisa tak tahan lagi. “Ca, gue ke toilet dulu ya,” katanya dengan nada datar, berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
Di dalam toilet, Delisa menatap cermin dengan wajah bingung. “Kamu kenapa sih, Lis?” gumamnya pelan pada diri sendiri. “Kenapa jadi cemburu cuma gara-gara Azka duduk sama cewek lain?”
Saat ia kembali ke kantin, ia melihat pemandangan yang lebih mengejutkan lagi. Gadis itu kini tengah merapikan seragam Azka, mengusap pelan bahunya seolah-olah ada debu yang harus dibersihkan. Delisa menatap mereka dengan perasaan campur aduk antara kesal, bingung, dan... sedikit cemburu.
...****************...
Di hari berikutnya, Delisa baru mengetahui bahwa gadis itu bernama Dina, seorang siswi baru yang pindah dari sekolah lain. Sejak hari itu, Dina selalu terlihat dekat dengan Azka. Bahkan di perpustakaan, Delisa melihat Dina sengaja duduk di samping Azka dan mengajaknya bicara dengan alasan “membahas tugas.” Setiap kali Dina mendekat, Delisa merasa ada yang mengganjal, tapi dia tak tahu harus berbuat apa.
Suatu hari, saat jam istirahat, Delisa tidak sengaja bertemu dengan Dina di tangga sekolah. Dina manis tersenyum dan menyapa dengan ramah. “Eh, kamu Delisa kan? Aku Dina. Aku sering melihat kamu sama Azka.”
Delisa berusaha tersenyum, meski hatinya agak jengkel. “Ya, aku Delisa. Kamu teman Azka?”
Dina tertawa kecil. “Yah, mungkin bisa dibilang begitu. Aku baru pindah ke sini, dan Azka baik-baik saja. Dia ngajarin aku banyak hal tentang sekolah ini.” Dina berkata dengan nada riang yang terdengar agak provokatif.
Delisa mengangguk sambil memaksakan senyum. “Oh, baguslah kalau dia bisa membantu kamu.”
Namun, hati Delisa bergejolak. Setiap kali Dina berbicara tentang Azka dengan nada manis, Delisa merasa sedikit jengkel. Apalagi ketika Dina berkata, “Aku dan Azka jadi semakin dekat akhir-akhir ini. Dia orang yang menyenangkan, ya?”
Karena terpaksa, Delisa hanya bisa mengangguk. Setelah berbicara sebentar, Dina mengganti tangan dan pergi. Namun dalam pemikirannya, Delisa merasa ada perasaan aneh yang mulai tumbuh rasa cemburu yang tak pernah ia bayangkan akan muncul.
...****************...
Hari berikutnya, Delisa akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Azka tentang Dina. Mereka bertemu di taman sekolah saat istirahat.
“Ka, gue lihat akhir-akhir ini kamu sering bareng sama Dina,” kata Delisa, mencoba terdengar santai.
Azka menatap dengan senyum lebar. “Oh iya, dia anak baru kan. Kasian kalau sendirian terus, jadi gue bantu-bantu aja, biar dia bisa cepet menyesuaikan diri.”
Delisa mengangguk, meski masih merasa sedikit ragu. “Tapi kok kelihatannya dia terlalu dekat sama lo?”
Azka hanya tertawa kecil, seolah tidak memahami maksud tersirat Delisa. “Santai aja, Sa. Lo gak usah khawatir. Lagian, bukannya kita cuma pura-pura pacaran? Jadi gak ada yang perlu dicemburui, kan?”
Delisa merasa tersentak. Kata-kata Azka menyadarkannya tentang perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. Ia menghela napas panjang dan tersenyum kaku. “Iya, lo benar kok. Aku cuma bertanya aja.”
Namun, Delisa merasa tidak tenang. Rasa cemburu yang muncul setiap kali ia melihat Dina dan Azka bersama, membuatnya sadar bahwa perasaannya pada Azka mungkin lebih dalam dari yang ia kira.
...****************...
Beberapa hari kemudian, Dina terus mendekati Azka dengan berbagai alasan. Apalagi dia pernah datang ke kelas Delisa hanya untuk menanyakan di mana Azka berada. Delisa yang saat itu sedang berbicara dengan Caca, hanya bisa menatap Dina dengan raut wajah yang tidak terlalu ramah.
Caca yang menyadari perubahan sikap Delisa hanya tersenyum lebar. “Aduh, Lis. Ini sih bukan lagi sandiwara pacaran pura-pura. Lo beneran cemburu ya?”
Delisa kesal. “Enggak kok, Ca. Gue cuma... ya, gak suka aja lihat dia mendekati Azka.”
Caca tertawa geli. “Itu cemburu namanya, Delisa. Kalau gak suka lihat orang lain deket sama Azka, berarti ada perasaan lebih, dong.”
Delisa menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Duh, Ca, gimana ini? Kok gue jadi suka sama Azka sih?”
Caca menampar bahu Delisa dengan lembut. “Yah, kadang perasaan bisa tumbuh dari hal-hal kecil. Mungkin dari awal kamu gak sadar, tapi sekarang udah jelas, Lis. Lo suka sama Azka.”
...****************...
Di hari berikutnya, Delisa memutuskan untuk lebih terbuka dengan perasaannya. Ketika dia melihat Azka sedang duduk sendirian di taman sekolah, dia menghampirinya dengan hati yang berdebar-debar.
“Ka, gue mau ngomong sesuatu,” kata Delisa pelan.
Azka menoleh dan tersenyum. “Eh, Sa. Kenapa? Kok kelihatannya serius ya?”
Delisa menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Gue... gue gak tahu bagaimana mengatakannya, tapi akhir-akhir ini aku merasa aneh. Mungkin ini terdengar konyol, tapi gue jadi suka lo.”
Azka terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa keras. "Ha ha ha! Aduh, Sa, lo serius? Gue pikir lo lagi bercanda.”
Delisa merasa malu dan bingung. “Iya, Ka. Gue benar-benar suka sama lo.”
Azka menghentikan tawanya dan menatap Delisa dengan mata serius. “Lis, gue juga suka sama lo. Tapi, karena lo pernah bilang kita cuma pura-pura, gue jadi ragu buat bilang perasaan gue.”
Delisa tersenyum kecil, merasa lega akhirnya terungkap. Mereka berdua tertawa bersama, merasa lega telah jujur tentang perasaan mereka.
Sejak saat itu, hubungan mereka tidak lagi sekadar sandiwara. Meski terkadang masih ada godaan dari Dina atau teman-teman yang suka menggoda, Delisa dan Azka tidak peduli. Kini, mereka tidak lagi hanya berpura-pura, karena cinta mereka telah nyata.