Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah baru dijalan yang sama
Setelah percakapan yang emosional dengan Rara, Bayu merasa seperti seseorang yang baru bangun dari mimpi panjang. Namun, tidak seperti biasanya, ia merasa ada dorongan untuk mencoba melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Bukan hanya dari buku atau ucapan filsuf terkenal, tetapi dari interaksi sehari-hari dengan orang-orang di sekitarnya.
Di kantin kampus, Bayu duduk bersama Dimas, Riko, dan Adit. Mereka memesan makanan ringan seperti biasa. Tapi, suasana kali ini berbeda. Biasanya, Bayu hanya menjadi pendengar atau sesekali menjawab dengan dialog filsafat, namun kali ini ia ingin mendengar lebih banyak dari teman-temannya.
Dimas membuka pembicaraan. “Eh, Bayu, lo sekarang kayaknya banyak diem deh. Biasanya lo langsung ngomongin Plato atau Socrates kalau kita mulai ngobrol.”
Bayu tertawa kecil, mengambil satu gorengan dari piring Adit. “Kadang, diam itu juga bagian dari refleksi, Dim. Kata Marcus Aurelius, ‘Waktu kita terbatas, jadi jangan buang waktu memikirkan hal-hal yang tidak penting.’”
Riko langsung menyahut. “Yaelah, Bay. Gue udah nunggu lo ngelempar filsafat, ternyata tetep aja keluar! Gak berubah ternyata.”
Mereka semua tertawa. Namun, ada kehangatan dalam tawa itu. Riko, meski suka bercanda, selalu mendukung Bayu, apalagi setelah apa yang terjadi di acara debat sebelumnya.
Setelah beberapa saat obrolan santai, Rara datang menghampiri mereka. Wajahnya cerah seperti biasanya, tetapi kali ini ia membawa buku catatan kecil yang dipegang erat.
“Bayu,” panggilnya.
Bayu mendongak. “Iya, Ra. Ada apa?”
“Gue mau lo bantu gue nyiapin diskusi kelompok di jurusan gue. Ini soal teori psikologi tentang pengambilan keputusan manusia, tapi gue rasa filsafat juga ada hubungannya.”
Bayu memiringkan kepala. “Teori apa?”
“Teori psikologi perilaku. Kita mau bahas gimana manusia kadang nggak sadar sama pilihan yang mereka buat karena kebiasaan atau tekanan sosial. Kayaknya, filsafat lo bisa bantu lihat dari sudut pandang yang lebih dalam.”
Dimas yang mendengar ini langsung nyeletuk. “Wah, ini kayaknya bakal panjang nih. Kalau Bayu yang ikut diskusi, bisa-bisa semua teori berubah jadi kutipan filsuf.”
Adit menimpali. “Lo yakin, Ra, ngajak Bayu? Ntar yang lain malah bingung bedain Plato sama psikologi modern.”
Rara tertawa kecil, lalu menatap Bayu. “Gimana, Yu? Lo mau bantu?”
Bayu berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi lo harus janji satu hal.”
“Apa?” tanya Rara.
“Kalau gue terlalu banyak ngomong, lo yang stop gue.”
Semua tertawa mendengar pernyataan itu, termasuk Bayu sendiri. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia mulai merasa bahwa filsafat yang ia pelajari bisa menjadi lebih relevan jika digunakan untuk membantu orang lain, bukan hanya untuk membuktikan pemikirannya sendiri.
Persiapan Diskusi
Sore itu, Bayu dan Rara duduk di perpustakaan kampus. Di meja mereka terdapat beberapa buku referensi, mulai dari psikologi hingga filsafat.
“Jadi,” kata Rara, memulai, “menurut teori ini, orang sering kali nggak sadar sama keputusan yang mereka ambil. Mereka mikirnya itu murni keputusan mereka, padahal sebenarnya ada pengaruh dari lingkungan, pengalaman masa lalu, atau bahkan tekanan sosial.”
Bayu mengangguk, memperhatikan. “Mirip sama apa yang dibilang oleh Jean-Paul Sartre. Dia percaya bahwa manusia sebenarnya bebas, tapi kebanyakan nggak mau bertanggung jawab atas kebebasan itu. Akhirnya, mereka nyalahin keadaan atau ikut-ikutan orang lain.”
Rara menulis sesuatu di catatannya. “Menarik. Tapi gimana caranya kita bisa bikin mereka sadar kalau keputusan mereka nggak sepenuhnya bebas?”
Bayu tersenyum kecil. “Pertanyaan yang bagus. Tapi mungkin kita harus tanya dulu, kenapa mereka takut untuk sadar? Kata Nietzsche, ‘Manusia kadang lebih memilih kebohongan yang nyaman daripada kebenaran yang menyakitkan.’ Kalau lo mau bikin mereka sadar, lo harus siap bikin mereka nggak nyaman.”
Rara menatap Bayu dengan ekspresi serius. “Lo sadar nggak, Bay, gue juga ngomong ke lo soal hal ini beberapa waktu lalu? Lo mungkin terlalu nyaman di dunia lo sendiri, sampai lo lupa kalau ada orang-orang di sekitar lo.”
Bayu terdiam. Ucapan Rara itu seperti cermin yang memantulkan dirinya sendiri. Ia ingat percakapan mereka sebelumnya, bagaimana Rara mengingatkannya untuk melihat dunia nyata, bukan hanya teori.
“Gue ngerti, Ra,” jawab Bayu akhirnya. “Mungkin ini waktu gue untuk berubah, sedikit demi sedikit.”
Diskusi Kelompok
Hari diskusi tiba. Rara membawa Bayu ke ruang diskusi jurusan psikologi, di mana beberapa teman Rara sudah menunggu. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa psikologi yang antusias dengan teori-teori perilaku manusia.
Saat sesi diskusi dimulai, Bayu merasa gugup. Ini pertama kalinya ia berbicara di luar lingkaran teman-temannya sendiri. Namun, ketika Rara memintanya untuk menjelaskan sudut pandang filsafat tentang kebebasan manusia, ia mulai merasa lebih percaya diri.
“Kebebasan adalah sesuatu yang sering kita anggap sepele,” kata Bayu. “Kita merasa bebas karena kita bisa memilih apa yang kita mau. Tapi, apa benar kita memilih dengan bebas? Atau, seperti yang dibilang Sartre, kita sebenarnya terjebak dalam kebiasaan dan ekspektasi sosial?”
Seorang mahasiswa di sudut ruangan mengangkat tangan. “Tapi, Bayu, kalau kita nggak bisa bebas, apa artinya hidup kita?”
Bayu tersenyum. “Hidup kita artinya adalah perjuangan untuk memahami batasan itu. Kata Kierkegaard, ‘Kecemasan adalah tanda bahwa kita sedang dihadapkan pada kebebasan.’ Kalau lo merasa cemas, itu berarti lo sadar ada pilihan yang harus lo buat, dan lo mulai memahami tanggung jawab lo.”
Diskusi berjalan semakin seru. Bayu mulai merasa bahwa ia bisa berbicara tanpa merasa perlu membuktikan dirinya. Ia merasa terhubung dengan orang-orang di ruangan itu, termasuk Rara yang sesekali tersenyum mendengar penjelasannya.
Saat sesi diskusi hampir berakhir, seorang mahasiswa lain bertanya, “Jadi, Bayu, menurut lo, gimana caranya kita bisa benar-benar bebas?”
Bayu menghela napas sejenak, lalu berkata, “Mungkin kebebasan sejati bukan soal bebas dari tekanan sosial atau kebiasaan, tapi bebas untuk menerima siapa diri kita. Kata Epictetus, ‘Kebebasan sejati adalah ketika kita tidak tergantung pada hal-hal di luar kendali kita.’ Mungkin, kita nggak akan pernah bebas sepenuhnya, tapi kita bisa memilih untuk berdamai dengan diri kita sendiri.”
Ruangan hening sejenak, lalu disusul dengan tepuk tangan dari semua peserta. Rara menatap Bayu dengan bangga, sementara Bayu merasa bahwa ini adalah salah satu momen di mana ia benar-benar merasa menjadi dirinya sendiri.
Setelah Diskusi
Saat mereka berjalan keluar dari ruang diskusi, Rara berbicara, “Gue bangga sama lo, Bay. Lo udah mulai ngerti gimana caranya bikin orang lain terhubung sama pemikiran lo, tanpa bikin mereka bingung atau merasa kecil.”
Bayu tersenyum kecil. “Mungkin gue masih belajar, Ra. Tapi lo benar. Filsafat itu nggak cuma soal logika atau argumen, tapi juga soal gimana kita bisa menyentuh kehidupan orang lain.”
Rara tertawa. “Akhirnya lo sadar juga. Kalau gitu, gue bakal sering-sering ngajak lo ke acara kayak gini.”
Bayu menghela napas, pura-pura mengeluh. “Wah, kayaknya gue bakal sibuk nih ke depannya.”
Mereka berdua tertawa bersama, sementara matahari mulai terbenam di langit kampus. Bayu merasa bahwa langkahnya ke depan akan lebih berarti, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.