Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unusual Response
Seperti yang telah ia janjikan, Jae Hyun kembali ke apartemennya usai rapat. Udara di Seoul terasa dingin, dan angin lembut yang masuk melalui celah jendela di lorong apartemen membuatnya sedikit menggigil. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Masalah pribadi yang menanti sudah cukup membuatnya cemas sepanjang hari, dan kini waktunya menghadapi itu.
Namun, begitu ia membuka pintu apartemen, matanya segera menangkap sepasang sepatu yang sangat familiar tertata rapi di depan selasar. Sepatu ibunya. Jae Hyun menghentikan langkahnya sejenak, dahinya berkerut. Ada perasaan tak tenang yang menyusup, tetapi ia segera menepisnya dan melangkah masuk dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya.
Di ruang makan, ia menemukan Ny. Hana, ibunya, sedang duduk bersama Riin. Meja dipenuhi oleh makanan rumahan yang tampak menggoda. Aroma kimchi yang hangat bercampur dengan harum gorengan membuat suasana ruang makan terasa begitu akrab dan nyaman. Ny. Hana tersenyum lebar saat melihat putranya.
"Oh, Jae Hyun-ah! Kau pulang cepat rupanya," sapa Ny. Hana dengan nada ceria, matanya berbinar.
"Eomma, kenapa tiba-tiba datang hari ini?" tanya Jae Hyun berbasa-basi, meskipun hatinya sudah penuh tanda tanya.
Ny. Hana mengangkat bahu kecilnya sambil tersenyum. "Aku datang membawakan stok lauk pauk untukmu seperti biasanya. Kau tahu kan, aku selalu khawatir kau tidak makan dengan benar."
Jae Hyun mendesah pelan. "Bukankah sudah kukatakan tak perlu lagi melakukan hal itu? Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Kalau aku menurutimu, hari ini aku tidak akan tahu bahwa calon menantuku ada di sini," ucap Ny. Hana dengan nada menggoda sambil melirik ke arah Riin yang hanya tersenyum malu-malu.
Jae Hyun menggaruk tengkuknya, merasa situasi ini semakin sulit. "Kalau begitu, permisi sebentar, Eomma. Ada yang harus aku bicarakan dengan Riin."
"Kenapa kalian tidak bicara di sini saja?" tanya Ny. Hana dengan penasaran, tetapi Jae Hyun sudah berdiri dan meraih tangan Riin.
"Nanti kami akan bicara dengan Eomma setelahnya," jawabnya singkat sebelum membawa Riin ke dalam kamar.
Begitu pintu kamar tertutup, Jae Hyun segera menatap Riin. Napasnya terdengar sedikit berat, mencerminkan kegelisahannya. "Apa Eomma menanyakan sesuatu?" tanyanya dengan nada khawatir.
Riin, yang masih tampak sedikit canggung, menggeleng pelan. "Eommonim hanya terlihat sangat senang saat melihatku lalu mengajakku makan bersama," jelasnya dengan suara lembut.
Jae Hyun menghela napas lega, meskipun pikirannya masih berkecamuk. "Aku akan menjelaskan pada Eomma mengenai situasi kita saat ini. Termasuk juga... soal mempercepat pernikahan."
Riin menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. "Bagaimana jika Eommonim marah? Maksudku... kita memang akan menikah, tapi melakukan hal itu sebelum menikah mungkin akan membuatnya kecewa."
Jae Hyun menatap Riin dalam-dalam, mencoba memberikan keyakinan. "Kalaupun ia marah, pasti ia akan melampiaskannya padaku. Lagipula, sepertinya sekarang Eomma lebih menyayangimu dibanding aku."
Pernyataan itu membuat keduanya terdiam. Suasana kamar yang awalnya sunyi kini terasa semakin berat oleh kegugupan mereka. Tanpa sadar, tangan mereka masih saling menggenggam sejak tadi. Ketika akhirnya mereka menyadarinya, baik Jae Hyun maupun Riin buru-buru melepas genggaman itu. Wajah mereka memerah, dan keheningan kembali menyelimuti.
"Maaf," ucap Jae Hyun sambil mengusap tengkuknya, salah tingkah.
"Sebaiknya kita segera keluar. Jangan biarkan ibumu menunggu terlalu lama," kata Riin cepat. Ia melangkah keluar lebih dulu, berharap bisa menghindari perasaan canggung yang masih melingkupi mereka.
Di ruang tengah, Ny. Hana sudah menunggu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Jadi, apa yang kalian bicarakan?" tanyanya dengan senyum yang tak surut dari wajahnya.
Jae Hyun menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia tahu bahwa percakapan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang besar, baik atau buruk. Dengan napas panjang, ia mulai berbicara. "Eomma, ada sesuatu yang harus kami sampaikan..."
Tangannya sedikit gemetar saat ia mencoba menguasai dirinya. “Aku...” Ia menarik napas dalam, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya. “Aku ingin mempercepat pernikahan kami,” ujarnya akhirnya, suaranya bergetar sedikit.
Ny. Hana memiringkan kepalanya, ekspresinya berubah menjadi heran. “Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Bahkan kemarin kau masih terlihat enggan mempersiapkan pernikahan.” Nada suaranya tidak menghakimi, tapi jelas mengisyaratkan bahwa ia menginginkan penjelasan lebih lanjut.
Jae Hyun merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Ia melirik ke arah Riin, yang duduk di sebelahnya dengan tangan terlipat di pangkuannya, wajahnya tertunduk malu. Ada ketegangan yang nyata di antara mereka berdua. Akhirnya, Jae Hyun menguatkan hati dan berlutut di depan ibunya.
“Eomma, aku minta maaf,” katanya dengan nada penuh penyesalan. “Semalam telah terjadi sesuatu di luar batas antara aku dan Riin. Tapi ini semua salahku. Aku yang tidak bisa menahan diri, dan aku akan bertanggung jawab sepenuhnya. Tolong jangan menyalahkan Riin.”
Keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Ny. Hana terdiam, matanya membesar sejenak, tetapi ia tidak langsung berbicara. Ia menatap putranya, lalu beralih menatap Riin, yang kini tampak lebih cemas daripada sebelumnya. Ketegangan itu terasa hampir tak tertahankan bagi Jae Hyun dan Riin. Lalu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
“Astaga! Apa ini artinya aku akan segera memiliki cucu dari kalian?” ujar Ny. Hana dengan nada penuh semangat, senyum lebarnya muncul di wajahnya.
“Eomma...” Jae Hyun dan Riin berseru hampir bersamaan, kebingungan terlihat jelas di wajah mereka. Jae Hyun mengerutkan alisnya, sementara Riin hanya menatap ibu Ny. Hana dengan mulut sedikit terbuka, tidak percaya dengan respons yang baru saja mereka dengar.
“Kenapa tiba-tiba eomma membahas soal cucu? Apa kau tidak marah?” tanya Jae Hyun hati-hati.
“Untuk apa marah?” jawab Ny. Hana dengan santai, ia mengangkat bahu seolah masalah itu tidak lebih penting dari secangkir teh. “Bukankah hal itu sudah lumrah dilakukan pasangan muda seperti kalian? Yang penting kalian tetap bertanggung jawab atas apa yang kalian lakukan.”
Riin mengangkat kepalanya sedikit, wajahnya masih merah padam. Ia membuka mulutnya, mencoba untuk berbicara, tetapi Ny. Hana sudah melanjutkan.
“Jadi, kapan pernikahannya dilaksanakan? Sebaiknya segera dilakukan sebelum perut Riin membesar.” Ny. Hana tertawa kecil, nada suaranya terdengar lebih ringan dibandingkan dengan suasana serius beberapa menit lalu.
“Eomma,” ujar Jae Hyun, suaranya penuh keputusasaan. “Kami memang sudah melakukannya, tapi bukan berarti Riin bisa langsung hamil. Kita tidak tahu kemungkinan apa yang akan terjadi.”
“Kalian itu masih muda dan produktif, jadi kemungkinannya jauh lebih besar,” balas Ny. Hana dengan percaya diri, seolah-olah ia adalah seorang ahli dalam masalah ini. Ia kemudian memeluk Riin erat, senyum lebarnya masih menghiasi wajahnya. “Aku akan membantu menjagamu dengan baik, sayang.”
Riin merasa dadanya sesak dengan campuran emosi. Ada sedikit rasa lega karena Ny. Hana tidak marah, tetapi ada juga rasa canggung yang sulit dijelaskan. Ia mencoba berbicara dengan nada lembut, “Tapi, Eommonim... bagaimana jika kehamilan itu tidak terjadi? Sebaiknya tidak perlu merasa terlalu antusias.”
“Mudah saja,” jawab Ny. Hana dengan nada santai yang hampir membuat Riin ternganga. “Kalian bisa mencobanya lagi nanti.”
Jae Hyun menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasa malu sekaligus frustrasi. “Eomma...” gumamnya lemah.
***