"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbol yang Berbisik
Rangga berdiri perlahan, tubuhnya terasa lemah tetapi ada kedamaian yang aneh mengalir dalam dirinya. Cahaya dari pilar kini hanya tinggal sisa-sisa redup yang memantulkan siluet di dinding batu. Udara di ruangan terasa berbeda, seperti energi yang tadi menekan mereka perlahan memudar, digantikan oleh keheningan yang menenangkan.
“Rangga,” Larasati memegang lengan Rangga dengan hati-hati, memastikan ia benar-benar bisa berdiri. “Kau yakin tidak apa-apa? Kau terlihat seperti habis menahan seluruh beban dunia.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Rangga, meskipun napasnya masih sedikit berat. Ia menoleh ke arah pilar yang kini diam, dan bola kristal di tangannya mulai memancarkan cahaya lembut yang hangat, seperti menenangkan tubuhnya yang lelah. “Apa yang tadi terjadi... itu sulit dijelaskan. Tapi aku merasa seperti... mengerti sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri.”
Ki Jayeng melangkah mendekat, tongkat kayunya mengetuk lantai dengan ritme yang mantap. “Hiji hal anu penting nyaéta, Rangga, anjeun geus nyokot jalan nu bener. Gunung ieu henteu ngan ukur nguji awak, tapi ogé jiwa anjeun.”
Rangga mengangguk, tetapi ia tidak bisa mengabaikan keraguan kecil yang masih tersisa dalam dirinya. Perasaan bahwa ujian sebenarnya belum dimulai sepenuhnya. Namun, ia tidak berkata apa-apa, membiarkan pikirannya memproses semua yang baru saja terjadi.
Larasati memandang sekeliling ruangan, matanya tertuju pada pola-pola lingkaran di lantai yang kini tampak lebih pudar. “Jadi... apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan rasa lega sekaligus kewaspadaan.
Ki Jayeng mengangkat tongkatnya, menunjuk ke arah lain dari ruangan itu. Sebuah lorong sempit yang sebelumnya tersembunyi oleh bayangan kini terlihat lebih jelas, seolah-olah pilar telah membuka jalan baru. “Urang teruskeun. Jalur ieu sigana bakal ngarahkeun urang ka tujuan salajengna. Tapi... ulah leungiteun perhatian.”
Rangga menggenggam bola kristal lebih erat, merasakan bahwa benda itu kini menjadi lebih ringan, lebih terhubung dengannya daripada sebelumnya. “Baiklah,” katanya, melangkah lebih dulu ke arah lorong itu. “Apa pun yang menunggu di depan, kita harus siap.”
Mereka bertiga melangkah masuk ke lorong itu dengan hati-hati. Suasana di dalamnya berbeda dari sebelumnya. Dinding batu yang biasanya kasar kini terlihat lebih halus, seperti dipahat dengan tangan yang teliti. Simbol-simbol di sepanjang dinding bersinar dengan cahaya biru yang lebih halus, memberikan penerangan cukup untuk mereka melihat jalan tanpa bantuan bola kristal.
“Ada sesuatu yang berubah di sini,” bisik Larasati, mencoba menjaga suaranya agar tidak terlalu keras. “Rasanya... seperti tempat ini tidak lagi mencoba melawan kita.”
“Mungkin ieu bagian anu dirancang keur ngabimbing urang,” kata Ki Jayeng. “Tapi ulah nganggap enteng. Tempat ieu bisa ngarobah naon waé dina waktu nu teu disangka.”
Rangga tetap diam, matanya memperhatikan setiap detail di dinding dan lantai. Setiap langkah terasa lebih ringan, tetapi ada ketegangan yang masih menggantung di udara, seperti perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Sesuatu yang tidak kasat mata, tetapi kehadirannya terasa nyata.
Setelah beberapa saat, lorong itu membuka ke sebuah ruangan besar lainnya. Kali ini, ruangan itu memiliki atap yang lebih tinggi, hampir seperti aula besar di dalam gunung. Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu dengan ukiran-ukiran rumit di permukaannya. Di atas meja itu tergeletak sebuah benda berbentuk seperti piringan logam, tetapi permukaannya memantulkan cahaya seperti cermin.
“Apalagi ini?” tanya Larasati dengan nada penuh kewaspadaan. Ia berdiri di samping Rangga, matanya tidak lepas dari piringan logam itu. “Apa ini juga bagian dari ujian?”
Ki Jayeng maju ke depan, memeriksa benda itu dari dekat. Ia mengusap permukaannya dengan lembut, dan pola-pola cahaya mulai muncul di atas piringan, bergerak seperti aliran air yang tenang. “Ieu... alat pikeun nyaring jiwa. Tempat ieu sigana bakal nanya deui, Rangga.”
Rangga menelan ludah, langkahnya melambat saat ia mendekati meja batu itu. Bola kristal di tangannya bergetar pelan, seolah-olah merespons kehadiran piringan logam itu. Ia tahu bahwa benda itu tidak akan membahayakan tubuhnya secara langsung, tetapi ujian seperti apa yang akan ia hadapi di dalamnya?
“Kau yakin ingin melakukannya, Rangga?” tanya Larasati, memegang tangannya dengan erat. “Kau tidak perlu terus memikul semuanya sendiri.”
“Ini bukan tentang memikul, Laras,” jawab Rangga pelan, menatap gadis itu dengan senyum tipis. “Ini tentang menghadapi apa yang harus aku hadapi. Aku tidak bisa mundur sekarang.”
Ia meletakkan bola kristal di atas piringan logam, dan seketika cahaya biru menyelimuti ruangan. Pola-pola di piringan bergerak lebih cepat, membentuk lingkaran-lingkaran yang semakin rumit. Sebuah suara terdengar, kali ini lebih halus tetapi lebih dalam daripada suara yang ia dengar sebelumnya.
“Wahai pencari kebenaran,” suara itu berkata. “Apa yang kau cari tidak akan ditemukan di luar dirimu sendiri. Lihatlah ke dalam, dan temukan jalanmu.”
Cahaya biru tiba-tiba menyelimuti tubuh Rangga, dan sebelum ia sempat bereaksi, pandangannya berubah. Ia tidak lagi berada di ruangan itu. Sebaliknya, ia berdiri di sebuah padang rumput yang luas, dengan langit gelap di atasnya dan angin yang berhembus kencang. Di hadapannya, berdiri bayangan dirinya sendiri, tetapi dengan tatapan dingin dan penuh kebencian.
“Siapa kau?” tanya Rangga, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Bayangan itu tersenyum, tetapi senyuman itu dipenuhi ejekan. “Aku adalah dirimu,” katanya. “Bagian dari dirimu yang tidak ingin kau akui. Dendammu. Kebencianmu. Rasa takutmu.”
Rangga mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarahnya. “Aku tidak akan membiarkanmu menguasai diriku.”
Bayangan itu tertawa. “Kau bilang begitu, tetapi setiap langkah yang kau ambil di gunung ini didorong oleh dendam. Kau ingin membuktikan dirimu. Kau ingin menghancurkan mereka yang telah merenggut semuanya darimu.”
Rangga terdiam, tetapi tidak menyerah. Ia tahu bahwa bayangan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan perasaan itu mendikte jalannya.
“Aku mungkin pernah membiarkan dendam menguasai hatiku,” kata Rangga akhirnya, suaranya tegas. “Tapi aku tahu sekarang bahwa itu hanya akan menghancurkan diriku. Aku tidak akan membiarkanmu menang.”
Bayangan itu menatapnya, dan untuk sesaat, wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih manusiawi. “Kalau begitu, buktikan,” katanya pelan, sebelum menghilang menjadi hembusan angin.
Rangga kembali ke ruangan, tubuhnya gemetar tetapi matanya penuh dengan keyakinan. Bola kristal di piringan berhenti bersinar, dan ruangan itu kembali tenang.
“Kau berhasil,” kata Ki Jayeng dengan nada puas. “Tapi ieu ngan bagian salajengna tina perjalanan anjeun.”
Rangga mengangguk, meskipun tubuhnya terasa lelah. Ia menatap Larasati, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi lega. “Ayo,” katanya pelan. “Kita harus terus maju.”
Dengan semangat baru, mereka meninggalkan ruangan itu, melangkah ke arah jalan berikutnya yang terbuka. Rahasia Gunung Kendan masih jauh dari selesai, tetapi Rangga tahu bahwa ia semakin dekat pada tujuan akhirnya.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya