Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Hari itu, Dylan sedang duduk di ruang rapat, meninjau proposal kerjasama baru dengan Wang Yibo. Tiba-tiba, pintu ruang rapat terbuka, dan seorang gadis muda masuk tanpa ragu. Dengan rambut panjang tergerai, pakaian modis, dan senyuman cerah, Alia langsung menuju ke arah Dylan.
"Uncle Dylan!" serunya sambil memeluk Dylan erat, tanpa memedulikan orang-orang di ruangan itu.
Dylan terkejut, tetapi segera mengenali keponakannya yang ceria. "Alia? Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak memberi tahu sebelumnya?"
"Aku kangen, jadi aku langsung datang saja!" Alia berkata sambil cemberut manja. Ia duduk di kursi sebelah Dylan, memegang lengannya erat. "Lagipula, aku tahu kau sibuk. Kalau aku bilang, pasti kau bakal menyuruhku menunggu."
Wang Yibo, yang duduk di seberang Dylan, menatap Alia dengan rasa ingin tahu. "Ini keponakanmu, Dylan?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
"Iya, ini Alia. Dia memang suka mengejutkanku," jawab Dylan sambil menghela napas kecil, meskipun senyum tipis terlukis di wajahnya.
Namun, kehadiran Alia di ruangan itu tidak luput dari perhatian para staf dan artis yang kebetulan lewat. Desas-desus mulai menyebar dengan cepat, terutama karena sikap Alia yang begitu manja dengan Dylan. Mereka sering melihat Dylan menjaga jarak dengan para wanita di kantor, tetapi kini, gadis ini tampak begitu akrab dan dekat dengannya.
"Dia pasti pacar sebenarnya. Mereka terlihat sangat serasi," bisik seorang staf kepada rekannya di pantry.
"Iya, aku dengar dia datang langsung ke kantor hanya untuk bertemu Dylan. Betapa romantisnya!" tambah yang lain.
Tak butuh waktu lama sebelum perbincangan itu menyebar ke seluruh penjuru kantor. Bahkan beberapa artis mulai membahas hal tersebut di grup obrolan mereka.
Di ruangannya, Dylan masih sibuk dengan Alia, yang kini duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Ia baru saja selesai menelepon asistennya untuk mengatur transportasi pulang bagi Alia.
"Uncle Dylan, kantormu keren juga, ya," kata Alia sambil tersenyum nakal. "Banyak orang di sini yang melihatku seperti aku ini alien."
"Itu karena kau muncul tiba-tiba," jawab Dylan sambil memijat pelipisnya. "Dan kau terlalu mencolok."
"Hey, apa salahnya sedikit perhatian?" balas Alia sambil mengedipkan mata. Ia melirik ke arah tablet Dylan. "Oh, ini proyek baru yang sedang kau kerjakan? Aku penasaran."
Sebelum Dylan sempat menjawab, pintu ruangannya diketuk dan Rose masuk. Wajahnya yang cerah berubah seketika saat melihat Alia duduk santai di sofa Dylan. Tatapan matanya menyapu mereka berdua, terutama pada tangan Alia yang masih memegang lengan Dylan dengan santai.
"Rose!" Dylan berdiri, menyambut Rose dengan senyuman, tetapi ia bisa merasakan hawa dingin yang tiba-tiba muncul. "Ini keponakanku, Alia. Dia datang tanpa memberi tahu lebih dulu."
Rose tersenyum tipis, tetapi jelas terlihat dipaksakan. "Oh, jadi ini keponakanmu," katanya sambil mendekat. Ia menatap Alia dengan ramah, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Aku Rose. Senang bertemu denganmu."
Alia, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan itu, tersenyum lebar. "Oh, kau pasti pacarnya Uncle Dylan. Senang bertemu juga! Dia sering menyebut namamu, lho."
Dylan batuk kecil, mencoba meredam rasa canggung di ruangan itu. "Alia, aku rasa kau harus bersiap untuk pulang. Aku sudah meminta sopir untuk menjemputmu."
"Tapi aku baru saja datang!" protes Alia sambil mengerucutkan bibirnya. "Aku belum sempat menghabiskan waktu banyak denganmu, Uncle Dylan."
Rose melirik Dylan dengan pandangan menuntut penjelasan. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi Dylan tahu ia harus segera mengendalikan situasi. "Alia, lain kali kita bisa bertemu lebih lama. Aku punya beberapa hal penting yang harus diselesaikan sekarang."
Alia akhirnya mengalah, meskipun masih terlihat enggan. Sebelum pergi, ia memberi pelukan erat kepada Dylan, yang hanya bisa tersenyum kecil.
Setelah Alia pergi, Rose menatap Dylan dengan alis terangkat. "Jadi, dia keponakanmu?"
Dylan mengangguk cepat. "Ya, dia sering seperti itu—mendadak muncul dan bertingkah seperti anak kecil. Jangan terlalu dipikirkan."
Rose mendesah panjang, lalu tersenyum tipis. "Aku percaya padamu. Tapi kau harus tahu, orang-orang di sini mulai berpikir kalau dia adalah pacarmu yang sebenarnya."
Dylan tertawa kecil, lalu meraih tangan Rose. "Biar saja mereka bicara. Yang penting, aku hanya punya satu orang di hati ini, dan itu kau, Rose."
Rose tersipu, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. "Kau pandai sekali mengubah moodku, ya."
Dylan tersenyum lembut, mencium tangan Rose. "Itu tugas utamaku."
***
Beberapa minggu berlalu sejak kedatangan pertama Alia, dan meskipun Dylan terus meyakinkan Rose bahwa hubungan mereka hanyalah paman dan keponakan, Rose tidak bisa mengabaikan perasaan ganjil yang terus mengusik hatinya. Alia sering muncul tanpa pemberitahuan, baik di kantor maupun di apartemen Dylan, dan setiap kali ia datang, sikapnya selalu terlalu manja—jauh lebih dari yang Rose anggap normal untuk seorang keponakan.
Hari itu, Rose memutuskan untuk mampir ke apartemen Dylan setelah selesai latihan. Ketika ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang diberikan Dylan, ia terkejut melihat Alia sedang duduk di sofa ruang tamu, mengenakan hoodie Dylan yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Lebih parah lagi, ia melihat Alia sedang bersandar di bahu Dylan sambil tertawa kecil.
"Rose!" Dylan menyadari kehadirannya dan langsung berdiri. Namun, Rose sudah memicingkan matanya ke arah Alia yang dengan santai meluruskan duduknya, seolah tidak ada yang salah.
"Kau di sini lagi, Alia?" tanya Rose, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral meskipun emosinya mulai memuncak.
"Iya, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Uncle Dylan," jawab Alia dengan senyum manis. "Aku sering merasa kesepian di kota ini, jadi aku senang bisa bersama paman favoritku."
Rose mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang terlalu tajam. Ia melirik Dylan, berharap pria itu mengatakan sesuatu untuk membuat situasi lebih jelas.
"Rose, kau selesai latihan lebih cepat hari ini," kata Dylan, mencoba mencairkan suasana. Ia berjalan mendekat dan meraih tangan Rose, tetapi Rose menariknya perlahan.
"Aku tidak ingin mengganggu waktu kalian," katanya dingin. "Aku hanya mampir sebentar untuk memberimu sesuatu."
Rose mengeluarkan kotak kecil berisi gelang yang ia beli sebagai hadiah kecil untuk Dylan, lalu meletakkannya di meja. Setelah itu, ia berbalik menuju pintu.
"Rose, tunggu!" Dylan memanggilnya, tetapi Rose tidak menghentikan langkahnya.
Setelah Rose pergi, Dylan menatap Alia dengan ekspresi kesal. "Alia, kau harus berhenti bersikap seperti ini."
"Seperti apa maksudmu, Uncle Dylan?" Alia memasang wajah polos.
"Kau tahu maksudku," Dylan mendesah berat. "Sikap manjamu ini membuat Rose salah paham. Dia pikir kau menyukaiku lebih dari sekadar paman."
Alia terdiam sejenak, lalu menunduk. "Aku tidak bermaksud seperti itu... Aku hanya merasa nyaman bersamamu, Uncle Dylan."
Dylan menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi kau harus memahami batasan. Rose adalah tunanganku, dan aku tidak ingin dia merasa terganggu."
Di sisi lain, Rose pulang ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa cemburu, marah, tetapi juga tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Dylan. Namun, malam itu, pikirannya terus berkutat pada Alia. Bagaimana gadis itu dengan mudah bersandar, memeluk, bahkan menggoda Dylan tanpa rasa canggung.
Hari berikutnya, Rose memutuskan untuk berbicara langsung dengan Dylan. Mereka bertemu di kafe favorit mereka, tetapi kali ini suasana terasa lebih tegang.
"Rose, aku ingin meminta maaf soal tadi malam," kata Dylan begitu mereka duduk. "Aku tidak ingin kau merasa tidak nyaman karena Alia."
Rose menatap Dylan dengan serius. "Jujur saja, Dylan. Apa benar Alia hanya menganggapmu sebagai paman? Karena sikapnya tidak terlihat seperti itu. Ia lebih terlihat seperti gadis yang jatuh hati padamu."
Dylan terkejut dengan pernyataan Rose, tetapi ia tetap tenang. "Rose, aku mengerti kenapa kau merasa seperti itu. Alia memang terlalu manja, tapi aku yakin dia tidak memiliki perasaan seperti yang kau pikirkan. Aku ini pamannya, dan dia tahu itu."
"Tapi Dylan," Rose menyela, "kau tidak melihat dari sudut pandangku. Bagaimana aku harus merasa setiap kali dia muncul, bersandar di bahumu, memelukmu, bahkan mengenakan pakaianmu? Itu bukan sesuatu yang biasa, bahkan untuk hubungan paman dan keponakan."
Dylan terdiam, menyadari kebenaran dari kata-kata Rose. Ia meraih tangan Rose di atas meja, menggenggamnya erat. "Rose, aku minta maaf. Aku akan berbicara dengan Alia dan menetapkan batasan yang jelas. Kau adalah prioritas utamaku, dan aku tidak ingin siapa pun, bahkan Alia, membuatmu merasa tidak dihargai."
Rose mengangguk perlahan, meskipun masih ada sisa rasa tidak nyaman di hatinya. "Aku hanya ingin merasa bahwa aku adalah satu-satunya wanita dalam hidupmu, Dylan. Itu saja."
Dylan tersenyum lembut, lalu mencium punggung tangan Rose. "Kau selalu menjadi satu-satunya, Rose. Aku janji, aku akan memastikan semuanya kembali baik-baik saja."
Setelah pertemuan itu, Dylan benar-benar berbicara dengan Alia, meminta gadis itu untuk menghormati hubungannya dengan Rose. Meski Alia awalnya sulit menerima, ia akhirnya mengerti bahwa sikapnya selama ini memang terlalu berlebihan.
Dengan waktu dan komunikasi yang baik, hubungan mereka perlahan kembali membaik, meskipun Rose masih menjaga jarak dari Alia untuk sementara waktu.