Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
petunjuk yang membingungkan
Keesokan harinya, mereka berlima kembali ke sekolah dengan tujuan baru: menemukan pintu menuju ruang bawah tanah yang disebutkan dalam teka-teki. Meskipun mereka tidak tahu pasti letaknya, mereka bertekad untuk memeriksa setiap sudut dan ruangan di sekolah.
Mereka berkumpul di perpustakaan saat jam istirahat, membuka peta lama yang Niko temukan dalam dokumen misterius. Peta itu menunjukkan denah bangunan sekolah yang sedikit berbeda dari denah sekolah saat ini. Ada beberapa area yang ditandai dengan tanda khusus, salah satunya terletak di dekat ruang penyimpanan tua yang jarang dipakai.
"Aku rasa tempat ini yang paling mungkin jadi pintu menuju ruang bawah tanah," kata Niko, menunjuk pada titik di peta.
"Ruang penyimpanan tua di sebelah ruang musik?" tanya Shara, mengingat area yang jarang sekali dilewati siswa.
Nanda mengangguk. "Ya, dan tempat itu biasanya terkunci. Kita harus mencari cara untuk bisa masuk."
Mereka memutuskan untuk kembali ke tempat itu pada sore hari setelah jam pelajaran usai. Sekolah mulai sepi, hanya tersisa beberapa guru dan petugas kebersihan. Mereka menunggu hingga lorong benar-benar kosong, lalu segera menuju ruang penyimpanan tua di sebelah ruang musik.
Setibanya di sana, mereka mendapati pintu ruang penyimpanan terkunci. Arman, yang terkenal memiliki keterampilan unik, mencoba membobol kunci dengan menggunakan pin kecil yang ia bawa. Setelah beberapa menit, terdengar suara klik pelan, dan pintu pun terbuka.
Mereka masuk ke dalam ruangan yang gelap dan berdebu, dengan rak-rak penuh buku tua dan peralatan lama yang sudah tak terpakai. Bau lembab langsung menyergap hidung mereka, dan lantai kayu berderit setiap kali mereka melangkah.
Niko mengarahkan senter ke sekitar ruangan, mencari petunjuk. Di salah satu sudut, ia menemukan lantai yang tampak sedikit berbeda dari bagian lainnya. Kayunya lebih gelap, seakan ada bekas air di sana, dan tampak beberapa tanda goresan di sekitar lantai itu.
"Di sini!" bisik Niko, menunjuk ke lantai tersebut. "Aku rasa ini pintunya."
Arman dan Diana mencoba mencongkel lantai itu dengan obeng yang mereka bawa, dan setelah beberapa usaha, lantai kayu itu akhirnya terangkat, memperlihatkan sebuah lubang gelap dengan tangga kayu yang menuju ke bawah.
Shara menggigil sedikit, merasa jantungnya berdebar. "Benar-benar ada ruang bawah tanah di sini?"
Niko mengangguk dengan serius. "Ya, dan sepertinya kita adalah orang pertama yang menemukannya sejak bertahun-tahun lalu."
Satu per satu, mereka menuruni tangga yang berderit itu. Semakin ke bawah, udara terasa semakin dingin, dan bau lembab makin menusuk. Akhirnya, mereka tiba di lantai bawah, menemukan lorong sempit yang diterangi oleh senter mereka.
Lorong itu panjang dan berkelok-kelok, dengan dinding batu yang kasar. Di sisi-sisi lorong, terdapat beberapa pintu besi tua yang sudah berkarat, dan beberapa di antaranya tampak sudah rusak.
"Kira-kira ini digunakan untuk apa, ya?" tanya Nanda sambil menatap dinding-dinding yang kokoh.
Niko memeriksa salah satu pintu besi yang tidak terkunci, dan di dalamnya mereka menemukan ruangan kecil yang penuh dengan peralatan aneh—ada kursi kayu, lilin yang sudah habis terbakar, serta beberapa buku berdebu yang tampaknya sudah sangat lama.
Diana mengambil salah satu buku itu dan membukanya. Isinya penuh dengan catatan dan diagram misterius yang tampaknya terkait dengan ritual-ritual aneh. "Sepertinya ini benar-benar tempat kelompok itu berkumpul."
Mereka menyusuri lorong lagi dan tiba di sebuah ruangan besar yang berbeda dari yang lain. Ruangan itu memiliki sebuah altar kecil di tengahnya, dengan simbol yang sama seperti yang mereka lihat di dokumen dan di dinding aula kemarin.
"Jadi di sinilah mereka melakukan ritual itu," bisik Arman, berusaha menenangkan perasaan cemas yang menyelimuti mereka.
Niko mendekati altar itu, dan ia menemukan sebuah ukiran di bagian bawahnya yang terlihat seperti sandi atau kode aneh. Kodenya berupa deretan angka dan huruf yang tampaknya tidak memiliki arti yang jelas.
"Kode lagi? Apa mereka sengaja meninggalkan ini untuk menyembunyikan sesuatu?" tanya Shara.
Diana memandangi kode itu dengan cermat. "Mungkin ini adalah petunjuk untuk sesuatu yang lebih besar. Tapi kita harus memecahkannya dulu."
Sementara Diana mencoba memikirkan pola di balik kode tersebut, tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah lorong. Suara itu terdengar berat dan lambat, seolah-olah seseorang atau sesuatu sedang berjalan menuju mereka.
"Hah? Siapa itu?" bisik Nanda, merasa jantungnya berdebar kencang.
Mereka mematikan senter dan bersembunyi di balik altar, menahan napas agar tidak ketahuan. Sosok misterius muncul di pintu ruangan besar itu. Cahaya redup dari lorong menerangi sosoknya yang tampak tinggi dan bayangannya yang mengerikan di dinding.
Diana merasa napasnya tertahan, sementara Niko mencoba mengintip siapa sosok itu. Namun, sosok tersebut tiba-tiba berhenti di tengah ruangan, berdiri dengan tenang, seolah sedang mengamati tempat itu.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, sosok itu berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata. Mereka menunggu beberapa saat sebelum memastikan bahwa sosok tersebut sudah benar-benar pergi.
"Siapa tadi itu?" bisik Shara, masih merasa ketakutan.
Niko menggeleng, bingung. "Aku juga nggak tahu. Tapi aku rasa orang itu tahu sesuatu tentang tempat ini."
Arman menghela napas dan melihat ke arah kode di altar. "Kalau begitu, kita harus lebih cepat memecahkan ini sebelum mereka kembali."
Diana mengangguk dengan tekad. "Baiklah, aku akan mencoba memahami pola kodenya. Kita harus segera menemukan apa pun yang mereka sembunyikan di tempat ini sebelum terlambat."
Dengan jantung yang masih berdebar dan rasa cemas yang semakin tebal, mereka pun melanjutkan usaha mereka untuk mengungkap misteri ruang bawah tanah dan rahasia gelap yang selama ini tersembunyi di sekolah.
Setelah mereka yakin sosok misterius itu sudah benar-benar pergi, mereka berembuk di balik altar untuk memecahkan kode yang ada. Diana kembali menatap deretan angka dan huruf dengan penuh konsentrasi, sementara yang lainnya mulai menyuarakan teori-teori mereka.
Di tengah kesunyian, tiba-tiba Diana merasa ada seseorang berdiri sangat dekat di sebelahnya. Ia mendongak dan mendapati Niko yang sedang memperhatikan kode di altar itu juga. Tanpa sadar, jarak mereka sangat dekat, hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci saja. Cahaya senter yang temaram membuat bayangan wajah Niko terlihat lebih tegas, dengan sorot matanya yang fokus memandangi kode di depannya.
Diana merasakan jantungnya berdebar cepat. Ia menelan ludah dan mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi pandangan Niko begitu serius dan dalam, seolah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu.
"Eh… kamu bisa mundur sedikit, nggak?" bisik Diana dengan wajah yang mulai memerah.
"Oh… maaf, aku nggak sadar," Niko buru-buru melangkah mundur sedikit dengan canggung, menyadari jarak mereka yang terlalu dekat. "Aku terlalu fokus ke kodenya."
Diana tersenyum kecil, mencoba meredakan perasaan gugupnya. "Iya, nggak apa-apa. Aku juga kebawa suasana."
Melihat wajah Diana yang tersenyum malu, Niko tiba-tiba merasa ada kehangatan aneh yang merayap ke wajahnya. Dalam ruangan yang dingin dan penuh misteri ini, suasana tiba-tiba terasa lebih lembut, sejenak melupakan ketegangan di sekeliling mereka.
Nanda, yang tak sengaja memperhatikan momen itu, langsung terkekeh pelan. "Eh, kalau kalian mau fokus sama kode, nggak perlu saling dekat-dekat juga, kali."
Diana dan Niko langsung menjauh, wajah mereka merah padam, sementara yang lain menahan tawa melihat reaksi keduanya. Shara mengedipkan mata pada Diana, seakan menggoda dengan tatapan nakal.
"Fokus, teman-teman," Niko berdehem, mencoba mengalihkan perhatian ke kode. "Kita harus segera memecahkannya sebelum ada yang lain datang lagi."
Meski kembali serius, Diana tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa canggung di antara mereka. Kode misteri ini mungkin memang sulit dipecahkan, tapi perasaan berdebar yang mendadak muncul ini justru terasa jauh lebih membingungkan bagi Diana.
Setelah berhasil mengendalikan perasaan canggung mereka, Niko dan Diana kembali fokus pada kode di altar. Namun, suasana di antara mereka tetap terasa sedikit berbeda, seakan ada ketegangan yang tidak terucapkan. Diana berusaha mengabaikan perasaan itu, tapi jauh di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lembut namun mengganggu.
Di tengah kesibukan mereka memecahkan kode, Nanda memperhatikan sekeliling ruangan, matanya tertuju pada dinding yang penuh coretan-coretan pudar. Ia mendekati dinding tersebut, lalu tersentak ketika melihat sesuatu yang tak asing baginya: sebuah simbol kecil yang pernah dilihatnya di surat terakhir dari seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya—seseorang yang sekarang hanya tinggal kenangan.
Simbol itu adalah tanda yang sering dibuat oleh sahabat baiknya sejak kecil, Dira, yang sudah tiada. Nanda menatap simbol itu dengan perasaan hampa dan terluka yang lama terkubur. Tiba-tiba, kenangan tentang Dira muncul dalam benaknya, mengingatkan pada janji-janji yang mereka buat saat kecil untuk selalu bersama. Namun, hidup berkata lain. Dira meninggal dalam kecelakaan tragis yang tak terduga, meninggalkan Nanda dengan rasa kehilangan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
Niko yang menyadari perubahan ekspresi Nanda, mendekat dan meletakkan tangannya di bahu temannya itu. "Nanda, kamu kenapa?"
Nanda menghela napas berat, menelan rasa sakit yang terasa segar kembali. "Aku cuma… ingat Dira. Teman terbaikku dulu. Dia… suka banget bikin simbol ini di mana-mana. Bahkan di surat terakhirnya untukku."
Ruang bawah tanah yang tadinya penuh dengan rasa penasaran kini terasa dingin dan sunyi. Rasa kehilangan yang dirasakan Nanda terpancar jelas, membuat yang lain ikut merasakan duka yang ia simpan. Shara mendekati Nanda, meletakkan tangannya di lengan temannya itu sebagai tanda dukungan tanpa kata.
"Maaf, aku… nggak pernah cerita soal ini. Kayaknya aku masih belum bisa ngikhlasin semuanya." Nanda tersenyum lemah, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang.
Diana menggenggam tangan Nanda, memberikan dukungan hangat. "Kadang, rasa kehilangan itu memang nggak mudah hilang, Nanda. Tapi kita di sini buat kamu. Kalau kamu mau cerita, kami siap dengar."
Nanda mengangguk, merasa sedikit lebih ringan karena dukungan teman-temannya. Meski sedih, ia tahu bahwa sekarang ia tidak lagi sendirian.