Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Bus berhenti tepat ketika Aline tiba di halte itu. Aline melangkah naik, ia berdiri di dekat pintu, ikut menggantung sebelah tangannya, berdesak-desakan dengan penumpang lain.
Sumpek sekali. Dalam sekejap saja, aroma parfum strawberry milik Aline telah bercampur dengan keringat orang-orang yang berdiri di samping dan belakangnya. Aline tak begitu peduli. Ia tetap bersikap wajar, seolah-olah Aline telah terbiasa dengan kondisi seperti ini.
Kalau mau, Aline bisa saja memesan taksi atau Ojek Online untuk memudahkan akses menuju kampus. Lebih nyaman dan cepat sampainya. Tetapi, karena ia sudah bertekad untuk hidup mandiri, dan melakukan terapi bersosialisasi sesuai dengan anjuran Dokter Gita. Maka, ia pun harus siap menerima risiko semacam ini.
Tidak apa-apa. Demi masa depanku, apa pun akan aku lakukan. Yang terpenting, hari ini aku harus sampai ke kampus sebelum upacara penerimaan mahasiswa baru dimulai, batin Aline.
Perlahan-lahan bus melaju dengan kecepatan sedang. Melewati jalan-jalan kecil, taman kota, gedung-gedung pertokoan, lewat di depan perusahaan penerbit, lalu berbelok ke jalan raya yang dipadati oleh kendaraan bermotor. Kepulan asap dari knalpot motor dan mobil memenuhi jalanan. Menempel di kaca jendela hingga menyisakan noda-noda berbintik putih yang tampak sulit untuk dibersihkan.
Aline fokus mengarahkan pandangannya ke setiap toko dan bangunan-bangunan yang ia lalui. Ketika sedang asyik melihat orang-orang yang tengah berjoget di halaman sebuah ruko—di depan Aline, seorang anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya secara tak sengaja memuntahkan cairan beraroma tak sedap, yang kemudian tumpah di roknya Aline.
Aline kaget. Orang-orang di sekitar Aline pun langsung menghindari Aline karena jijik. Begitu pula dengan ibu dari anak tersebut. Wajah ibu itu memerah; tampak malu dan ketakutan. Ia segera meminta maaf pada semua orang, khususnya kepada Aline. Kemudian, sebelah tangan ibu itu sibuk mencari sesuatu dari dalam tas, sedangkan tangan satunya mengelus-elus kepala anaknya yang duduk tepat di hadapan Aline.
"Aduh, maaf, Nak. Tolong maafkan anak saya juga, dia baru saja keluar dari rumah sakit pagi ini. Sepertinya udara di luar membuatnya mual." kata ibu itu, sambil memberikan sebuah handuk agar Aline bisa membersihkan kotoran yang masih menempel di bajunya.
Aline tidak banyak berkomentar, ia hanya menggeleng kecil sebagai jawaban agar si ibu tidak terlalu mengkhawatirkannya. Aline menerima kain berbahan katun yang disodorkan dari oleh ibu tadi, ia segera membersihkan pakaiannya yang terkena muntahan tadi.
Perut Aline terasa mual, ketika tangannya menyentuh sesuatu yang menggumpal di ujung bajunya ia merasa kalau ia juga akan memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Tapi, Aline mencoba bertahan. Ia berpegangan pada tiang besi di bus itu. Semakin erat.
Uh, aku sudah tak tahan. Anak itu habis makan apa, sih? Aromanya membuat aku jadi ikutan mual.
Sewaktu Aline membalurkan gel penyanitasi tangan, ibu itu masih memperhatikan wajahnya, lalu menunduk dalam-dalam.
"Saya minta maaf sekali lagi, ya, Nak. Gara-gara anak saya bajunya jadi kotor." suara ibu itu bergetar. Ia sudah tidak berani menatap wajah Aline seperti tadi.
Aline menggeleng. Menyentuh tangan ibu itu, kemudian berucap. "Tidak apa-apa, Bu. Jangan dipikirkan, baju ini masih bisa dicuci, kok."
Ibu itu mendongak mendengar suara Aline yang lemah lembut, ia lalu berterima kasih atas kebaikan Aline.
Jujur, Aline merasa tidak tega melihat wajah bersalah dari ibu itu. Makanya, ia mencoba menenangkan hati ibu tersebut, meskipun ia sendiri merasa kesal dengan semua yang telah terjadi kepadanya.
Aline begitu menyayangkan. Bagaimana mungkin ramalan cuaca yang tiba-tiba berubah itu, juga dapat mengubah suasana hatinya saat ini? Sungguh tidak masuk akal. Meskipun demikian, Aline tidak dapat menampik kenyataan bahwa ia baru saja mengalami awal yang sangat buruk.
Aline benar-benar tidak tahan lagi mencium aroma amis yang menempel di pakaiannya. Ingin rasanya ia menghentikan sopir bus, lalu berlari ke butik Margin untuk mandi dan berganti baju. Tetapi, waktu terus berjalan. Bus tetap melaju dengan lambat. Jalanan masih dipadati dengan kendaraan-kendaraan beroda empat yang berjajar dan memenuhi seisi jalan raya. Situasi ini tidak memungkinkan bagi Aline untuk bisa singgah ke Butik Margin dan melakukan semua hal yang ada di kepalanya saat ini.
Sepanjang perjalanan keringat Aline terus menetes. Tak henti-hentinya Aline bersendawa. Bahkan cara Aline berdiri pun sudah tidak terlihat benar. Aline merasa tidak nyaman. Sebentar-sebentar Aline menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Wajahnya kelihatan pucat. Hampir beberapa kali Aline menahan rasa ingin muntah. Namun, karena ia terus menahannya, hal itu justru membuat perutnya semakin terasa tidak enak.
Aline terus gelisah memandang keluar jendela.
Berapa lama lagi aku harus berada di dalam bus ini?
Aroma cairan di pakaiannya benar-benar membuat Aline mabuk. Juga bau bensin, asap kendaraan bermotor dan aroma keringat dari orang-orang di sekelilingnya. Semua itu membuat kepala Aline bertambah pusing. Untuk saat ini, Aline hanya bisa berharap supaya bus itu cepat berhenti dan ia bisa berlari ke toilet di kampusnya.
"Berikutnya pemberhentian di halte Fatmawati. Harap bersiap-siap dan perhatikan barang bawaannya." Kernet bus itu berseru sembari berjalan berkeliling, memungut ongkos.
Begitu tiba di jalan Fatmawati, angin bertiup sangat kencang disertai dengan gerimis yang membasahi jalanan beraspal. Bus itu berhenti tepat di dekat kampusnya, Aline bergegas turun. Ia berteduh di halte tersebut sembari menengok arlojinya.
Sial! Jam di tangan Aline malah mati. Satu-satunya harapan Aline sekarang adalah ponselnya, tetapi ternyata benda itu justru tertinggal di asrama. Entah sudah pukul berapa sekarang. Aline mondar-mandir di tempat itu. Ia benar-benar jengkel. Aline memutar bola matanya. Jelas, mencari seseorang yang bisa ia tanyai. Namun, jalanan itu tetap kosong. Kampusnya yang berada di seberang sana juga kelihatan sepi.
Apa aku terlambat?
Aline celingak-celinguk. Ia mondar-mandir di tempat itu. Perutnya yang mual kembali bereaksi. Tidak ada cara lain, Aline harus berlari menembus hujan yang mulai deras. Ia harus segera memuntahkan isi perutnya.
Masa bodoh dengan hukuman, pikir Aline. Aline melompat dari kursi di tempat pemberhentian bus, dan berlari cepat menyeberangi jalan raya, menuju gedung kampus barunya.
Sesosok pria tampak berjalan keluar. Dan—begitu Aline sampai di depan gerbang tersebut, sosok pria tadi telah berdiri dengan payung merahnya. Jas yang ia kenakan terlihat basah di bagian punggung, rambut ikalnya tampak kacau. Sepasang mata pria itu mulai menjelajahi rambut, wajah, hingga pakaian Aline yang terlihat kotor. Lalu, ia menggelengkan kepalanya.
Aline terkesiap. Dahinya mengernyit. Heran. Pria itu semakin mendekatinya. Dan, dalam satu tarikan tangan saja, tubuh Aline sudah berpindah ke hadapan pria itu.
"Kamu terlambat tiga puluh menit!"