Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Malam itu, keheningan menyelimuti rumah kecil kami. Aku duduk di ruang tamu, memandangi dinding kosong dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah salah satu hari yang berat, dan aku hanya berharap ada sedikit kebahagiaan untuk mengobati rasa lelahku. Ketika Dion pulang membawa sebungkus nasi goreng, hatiku sedikit terhibur. Aku berpikir, mungkin ini caranya menunjukkan bahwa dia masih peduli padaku.
"Dion, kamu beli nasi goreng?" tanyaku, berusaha tersenyum saat melihat dia duduk di meja makan dan membuka bungkusan itu.
"Iya, aku lapar banget," jawabnya singkat tanpa melihat ke arahku.
Aku merasa senang, meski hanya untuk sejenak. Aku langsung mengambil piring, berharap bisa berbagi makanan dengan Dion. Setelah seharian bekerja di rumah, perutku belum terisi dengan benar sejak siang tadi. Aku ingin percaya bahwa Dion mengerti betapa lelah dan laparnya aku saat ini.
Namun, saat aku hendak mengambil nasi goreng dari bungkusan itu, tanganku ditahan oleh Dion. "Itu buat aku," katanya dengan nada datar.
Aku terdiam sejenak, mengira dia sedang bercanda. "Maksud kamu?" tanyaku sambil mencoba tersenyum, berharap dia akan mengatakan bahwa makanan itu untuk kami berdua.
"Nasi goreng ini untuk aku. Kamu bisa masak sendiri kalau lapar," katanya tanpa basa-basi, kemudian mulai menyantap makanannya.
Mendengar perkataan Dion rasanya seperti ditampar. Kata-katanya begitu sederhana tapi sungguh menyakitkan. Aku menatapnya, bingung dan terluka. "Dion, aku belum makan apa-apa sejak tadi siang. Kamu enggak bawa apa-apa buat aku?" tanyaku dengan suara pelan, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak.
Dion hanya mengangkat bahu. "Kalau kamu lapar, ya masak saja atau pesan makanan sendiri. Aku capek banget, jadi enggak sempat mikirin itu."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Rasanya sakit sekali, mendengar suami sendiri berkata seperti itu. Aku tidak meminta hal yang aneh—aku hanya ingin sedikit perhatian, sedikit pengertian. Apakah itu terlalu sulit?
“Aku sudah masak sepanjang hari, Dion, dan aku benar-benar capek,” kataku, suaraku bergetar menahan tangis.
"Ya udah, kalau capek, istirahat aja. Tapi jangan harap aku yang ngurus semuanya. Aku juga capek habis kerja," katanya dengan nada datar, tanpa sedikit pun peduli bagaimana perasaanku.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya seluruh tenaga dan emosiku terkuras habis. Dengan perasaan kecewa yang mendalam, aku meletakkan piring itu dan berjalan menuju kamar tidur. Aku tidak ingin bertengkar, tidak ingin memperpanjang masalah. Yang kuinginkan hanya sedikit pengertian dari suamiku—sesuatu yang sepertinya terlalu sulit untuk dia berikan.
Aku menutup pintu kamar pelan-pelan dan duduk di tepi ranjang. Perasaanku hancur, bukan hanya karena kejadian malam ini, tapi karena semua yang telah terjadi dalam pernikahan kami. Perlahan-lahan, aku menyadari bahwa harapanku untuk memiliki suami yang peduli dan penuh perhatian semakin jauh dari kenyataan. Sepertinya, dalam pernikahan ini, aku hanyalah pelengkap—seseorang yang bisa diabaikan kapan saja.
Esok harinya, Dion berangkat bekerja seperti biasa, meninggalkanku sendirian di rumah. Rutinitas yang sama kembali terulang, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci pakaian. Meski fisikku bergerak, pikiranku terus memikirkan apa yang terjadi semalam. Apakah aku benar-benar tidak berarti apa-apa bagi Dion? Apakah aku hanya istri yang dia anggap sebagai beban?
Sepanjang hari, perasaan lelah dan kecewa terus menghantui pikiranku. Aku sudah terlalu sering menahan diri, mencoba sabar, tapi sepertinya tidak ada yang berubah. Perlakuan Dion dan keluarganya semakin lama semakin membuatku merasa terjebak dalam pernikahan ini.
Di malam hari, ketika Dion pulang, aku memutuskan untuk tidak membahas apa yang terjadi. Tidak ada gunanya. Dia tetap bersikap seolah-olah tidak ada yang salah, seolah-olah aku tidak terluka. Aku menyadari bahwa Dion tidak akan pernah berubah, dan perlahan-lahan aku mulai kehilangan harapan.
Malam-malam berikutnya pun berlalu dengan suasana yang sama. Dion selalu sibuk dengan dunianya sendiri, sementara aku berusaha menjalani rutinitas rumah tangga yang semakin berat. Keluarga Dion, terutama mertuaku, terus datang dan pergi, mengambil barang-barang di rumah kami tanpa izin, seolah-olah semua itu adalah milik mereka. Dan setiap kali aku melayangkan protes, Dion selalu membela mereka.
"Aku sudah capek, Dion. Barang-barang kita diambil terus sama Ibu. Itu kan buat kita," protesku suatu malam saat mertuaku baru saja pulang setelah membawa beras dan beberapa barang dari dapur.
"Ibu butuh, Kirana. Kita kan bisa beli lagi nanti," jawabnya dengan santai.
"Tapi ini rumah kita. Mereka enggak bisa terus-terusan ambil apa saja tanpa izin," desakku.
Dion menatapku dengan tajam. "Itu untuk Ibu, Kirana. Dia butuh, ya biarin aja. Kamu jangan terlalu perhitungan. Kalau Ibu mau ambil barang, itu urusannya sama aku."
Aku tidak percaya apa yang baru saja kudengar. Semua yang kulakukan, semua pengorbananku, selalu dianggap sepele oleh Dion. Tidak peduli seberapa sering aku mencoba berbicara dengannya, dia selalu memihak keluarganya.
Perasaan marah dan kecewa semakin menumpuk. Di tengah kesibukan harian yang melelahkan, aku mulai kehilangan semangat untuk berusaha. Aku merasa sendirian dalam pernikahan ini, seolah-olah Dion lebih peduli pada keluarganya daripada padaku. Tidak ada lagi ruang untukku, dan semua hal kecil yang seharusnya membawa kebahagiaan justru menjadi sumber kekecewaan.
Malam itu, setelah Dion tertidur, aku terjaga di kamar, memikirkan masa depan kami. Mungkinkah aku akan terus hidup seperti ini? Terperangkap dalam pernikahan yang tidak memberikan kebahagiaan? Atau mungkin aku harus mulai memikirkan diriku sendiri, dan mencari cara untuk meraih kembali kendali atas hidupku?
Aku tidak tahu jawabannya, tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa terus begini. Aku harus menemukan jalan keluar dari rasa sakit ini, entah bagaimana caranya. Perlahan-lahan, aku mulai menyadari bahwa aku tidak bisa terus menunggu Dion berubah. Jika aku ingin kebahagiaan, aku harus menemukannya sendiri, meski artinya aku harus melangkah keluar dari bayang-bayang pernikahan ini.