"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Bab Enam
Dari jauh, Sadewa melihat Alisha menarik kopernya, sementara dia berdiri di belakang mobilnya, bersandar dan melihat jam ditangannya.
‘Orang itu, padahal aku sudah disini, bukannya bantu kek. Lagian, kenapa mobilnya jauh sekali tempatnya?’ gerutu Alisha di dalam hati.
‘Aku tahu dia sedang ngomel di dalam hatinya. Haruskah aku membantunya? Atau… akh, biarkan saja. Aku bukan pesuruhnya kan?’
Mereka berdua sama-sama tidak ada yang mengerti dan berat hati.
Setelah dekat, wajah Alisha menunjukan kemarahan untuk Sadewa, “Bisa-bisanya anda berdiri dengan santai di sini, dan tidak membantu seorang wanita yang sedang menarik kopernya?”
“Apa? Kau bilang aku berdiri dengan santai? Hey!” dengan ujung jarinya, Sadewa menunjuk kening Alisha, “Aku kepanasan ya. Mana bisa aku santai. Kau juga yang menyuruhku untuk menunggu di sini. Kalau kau membutuhkan bantuanku, kenapa kau tidak melambaikan tanganmu seperti orang yang akan tenggelam ditengah lautan? Karena kau tidak melakukannya, ya aku pikir kau bisa kan?”
“Hah… sudahlah! Koperku mau di taruh di mana? Di bagasi apa dibelakang?”
“Bukankah sama-sama bagian belakang juga? Atur saja mau kau letakan di mana. Ini sudah panas, cepatlah masuk.” Sadewa masuk lebih dulu di bagian kemudi stir.
‘Ck, apa aku batalkan saja kontrak perjanjiannya ya?’
“Hey, hallo? Nona? Ngapain berdiri di sana? Butuh bantuan?” Sadewa mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
Alisha menggaruk kepalanya. Sudah gatal karena keringat, kesal juga karena ketidak pekaan Sadewa terhadap perempuan.
Alisha pun berusaha memasukan kopernya dibagian belakang, juga duduk di sana.
“Kenapa kau duduk di belakang? Aku bukan supirmu loh.”
“Ah sudahlah! Jalankan saja mobil anda!” Alisha yang kesal, melipat tangan didepan dadanya dan tidak mau melihat wajah Sadewa yang juga ikutan kesal.
Mereka berdua sama-sama sedang berusaha meredam kemarahannya. Sadewa menyalakan mesin mobilnya dan pergi.
Tidak ada yang memulai pembicaraan untuk beberapa saat, “Anisha sudah berada di rumah sekarang. Jadi kita tidak perlu ke rumah sakit.”
“Ya!” jawaban singkat dari Alisha.
“Ingat! Jangan bicara diluar skenario dan membuat Anisha jadi curiga.”
“Ya!”
“Hey, aku sedang bicara serius denganmu, apa kau juga tidak bisa meresponku dengan serius?”
“Kau saja memanggilku, ‘Hey, hey’! Lalu, aku harus jawab apa lagi? Nanti jalau jawabanku panjang, kau mengomel juga.”
“Siapa yang mengomel? Lama-lama umurku bisa berkurang satu bulan karena bertengkar denganmu.”
“Sama!”
“Kalau bukan karena puteriku, aku tidak mau bekerja sama denganmu.”
“Sama juga!”
Semakin Alisha menjawab perdebatan Sadewa, semakin pendek sumbu kesabaran pria itu. Jawaban dari Alisha seperti minyak yang disiram pada api kecil yang akan menjadi besar.
‘Sengaja dia memakai headset agar tidak mendengar aku bicara kan?’ Sadewa melihatnya dari kaca diatas kepalanya.
Akhirnya mereka sudah sampai.
“Hey, bangun!” Sadewa membangunkan Alisha yang tertidur dan headset masih ditelinganya.
‘Apa aku pukul saja kepalanya? Dari tadi aku dibuatnya kesal. Sekalian saja kan? Bilang saja karena dia tidak bangun-bangun.’
“Hey, aku bilang bangun karena kita sudah sampai!”
Pletak!
“Auutchh… sakit.” Alisha pun terbangun. Bukan karena jentikan jari Sadewa, tapi karena mendengar suara pria itu tepat disebelah telinganya, “Kau ini, apa kau barusan memukulku?” tanya Alisha masih memegang jidatnya yang terasa perih.
“Itu karena kau tidak bangun-bangun! Asal kau tahu ya, aku sudah membangunkanmu, mulai dari pelan sampai kesabaranku hampir habis.”
“Lalu kau menyentil jidatku? Kejam sekali anda.”
‘Apa aku tadi terlalu keras melakukannya?’
Alisha turun dari mobil, “Mama! Mama sudah pulang!”
“Eh… anak Mama, kenapa kamu di luar Nak? Apa gak kepanasan?” Alisha menyambut kedatangan Anisha yang berlari kearahnya. Dia merentangkan kedua tangannya untuk menangkap dan menggendongnya.
“Aduh, maaf ya Sayang, bisa kau bawa koperku ke dalam? Aku sedang menggendong anak kita?”
“Iya, pasti dong. Kalian berdua masuk saja.” Sadewa pura-pura tersenyum padahal dia kesal.
‘Pft… rasakan. Suruh siapa kau kasar padaku. Angkat tuh koperku yang berat itu.’
‘Hm? Apa sih isi koper ini? Kenapa berat sekali?’ Sadewa sendiri sampai kesulitan mengangkat koper Alisha.
“Tuan, apa anda butuh bantuan? Biar saya saja yang angkat.”
“Tidak perlu, Tono.” Padahal dia benar-benar kesulitan, tapi gengsi minta bantuan.
‘Tidak, aku tidak bisa mengangkat koper sialan ini menaiki anak tangga.’ Dan Sadewa pun menyerah ketika melihat anak tangga yang harus dia lewati.
“Tono, sini kamu, ayo, bantu aku bawa koper ini keatas. Berat sekali, sepertinya isinya batu semua.” Sindirnya pada Alisha yang duduk santai di sofa.
“Oh? Tidak ada batu kok di sana, mungkin pasir?” balas Alisha.
“Oh, apa kau mau jadi kuli di sini? Tidak perlu, aku masih bisa membayarmu kan?”
“Kuli? Tidak, aku-
“Tono, pelan-pelan bawa sebelum pasirnya berceceran di sini.” Sinir Sadewa lagi mengabaikan ucapan Alisha.
“Hehehe… Mama dan Papa lucu beylcandanya.” Anisha malah mengira mereka sedang bercanda, padahal saling balas sindiran.
“Oh ya? Tapi kamu yang lebih lucu loh.”
“Nona Anisha, waktunya untuk minum obat dulu.” Kata Dewi.
“Mba, berikan obatnya padaku, biar aku yang kasih ya.”
“Iya Bu, ini obatnya.”
“Apa Alisha sudah makan?”
“Sudah Bu. Baru saja habis makan.”
“Nah, Anish, minum obatnya ya sekarang.”
“Tapi obatnya pahit, Ma. Anish gak mau, buang aja ya Ma.”
“Loh? Mana boleh obatnya di buang? Kan ini biar kamu cepat sembuh.”
“Tapis ama Mba Dewi bisa buang obat.”
“Apa?”
“Ah… i-itu… o-obatnya jatuh di lantai, jadi… karena Anisha tetap tidak mau, saya tidak memaksanya.”
Alisha mengernyitkan keningnya mendengar alasan yang Dewi berikan.
“Karena kamu bilang obatnya dibuang, berarti tadi pagi belum minum obat kan? Sekarang, Anis harus minum obatnya sampai habis, gak boleh di buang.” Alisha melirik Dewi.
Karena bujukan dan Alisha sendiri yang kasih, Anisha pun mau meminumnya walau rasanya pahit.
“Pintar, anak Mama sangat pintar nih.”
*
Karena waktunya tidur siang, Anisha sudah tidur di kamarnya. Dan Alisha, dipanggil Sadewa untuk melihat kamar yang akan Alisha pakai selama tinggal di sana.
“Mulai hari ini, kamar ini yang akan kau pakai. Semuanya sudah dibersihkan dan di rapikan. Seprei, sarung bantal, selimut, juga masih baru.”
“Ya ampun, kau baik sekali. Padahal kau tidak menyangka loh kalau aku diberikan kamar sebagus ini.”
“Aku tidak main-main kalau sedang bekerja sam dengan orang lain. Apalagi kau sangat penting untuk puteriku.”
“Ya, aku tahu.”
“Kau istirahat saja dulu, nanti kita bisa makan malam bersama.” Sadewa berjalan menuju pintu, diikuti Alisha dibelakangnya.
Padahal pintu sudah tertutup setengah, tapi tiba-tiba Sadewa malah membuka pintunya lagi dan hampir membuat Alisha yang berdiri di belakang pintu hampir terjatuh. Melihat itu, Sadewa segera menangkapnya dengan merangkul pinggangnya, seperti adegan di film-film india, apalagi mereka saling bertatapan.