Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEKOLAH BARU
Antonio memasuki ruang tamu dengan langkah mantap, tatapannya tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya berhenti pada sosok Regita dan Aksa yang duduk berdampingan. Kehadirannya disusul oleh Ratih, yang tampak ragu namun tetap berjalan di belakang suaminya. Ada ketegangan yang terasa dalam keheningan itu, dan Regita langsung merasa jantungnya berdebar tak karuan. Ia menunduk, merasa canggung di bawah sorotan mata ayah tiri barunya itu.
“Aksa,” kata Antonio dengan nada berat, menahan perasaannya. “Ayah ingin mengatakan sesuatu.” Suaranya terdengar dingin, hampir tak berperasaan, tetapi Aksa tetap menanggapi dengan tenang, mengangguk hormat sambil menatap Antonio dengan penuh perhatian.
Antonio melirik Regita sejenak, lalu mengembalikan pandangannya kepada Aksa, seolah menyampaikan pesan tanpa suara bahwa kehadiran gadis itu membuatnya sedikit tidak nyaman. "Mulai besok, Regita akan bersekolah di tempat yang sama dengan kamu mengajar," katanya akhirnya, nada suaranya terdengar setengah hati, dan Aksa dapat merasakan ada beban tak terucapkan dalam pernyataan itu. "Kamu harus menjaganya selama di sekolah."
Aksa tetap menatap Antonio, memproses perintah itu dengan wajah yang sulit ditebak. Dia menyadari bahwa ayahnya memberikan instruksi bukan karena perhatian tulus terhadap Regita, melainkan sebagai bagian dari tanggung jawab yang diembannya sebagai saudara tiri. Ada sedikit kekakuan dalam cara Antonio menyampaikan perintah, menunjukkan bahwa hal ini adalah sesuatu yang terpaksa, sebuah formalitas yang ia jalani tanpa sepenuh hati.
Regita merasa semakin tak nyaman. Nada suara Antonio seolah memberi jarak yang sangat jelas antara dirinya dan keluarga ini, mengingatkannya bahwa dia adalah pendatang di rumah ini. Meski ia tahu keputusannya untuk tinggal di sini adalah hasil keputusan bersama keluarga, tetap saja terasa bahwa penerimaannya masih belum sepenuhnya.
Ratih, yang berdiri di samping Antonio, hanya diam dan menatap dengan ekspresi campuran antara cemas dan bersalah. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu untuk meredakan ketegangan, namun akhirnya memilih diam, membiarkan suaminya yang berbicara. Setelah memberikan instruksi itu, Antonio menghela napas pelan namun terdengar tegas, sebelum akhirnya ia berkata lagi, kali ini lebih kepada Regita, “Pastikan kamu tidak membuat masalah,” ucapnya singkat, matanya masih menatap Regita dengan pandangan dingin.
Regita hanya bisa mengangguk kecil, menahan perasaan tidak nyamannya. Hatinya tergerak oleh ucapan Antonio yang terkesan tajam, membuatnya merasa seperti beban di rumah ini. Dia tidak ingin menjadi alasan keributan atau masalah apa pun, namun sikap Antonio membuatnya merasa sulit untuk benar-benar merasa diterima.
Setelah memastikan bahwa tidak ada yang akan menolak perintahnya, Antonio pun akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan dengan wajah tegang, diikuti oleh Ratih yang menatap Regita sekilas, seolah ingin menyampaikan permintaan maaf lewat tatapannya.
Begitu kedua orang tua mereka meninggalkan ruangan, keheningan yang berat menyelimuti mereka. Aksa, yang sejak tadi diam, menatap Regita dengan senyum tipis yang menenangkan. Dia tahu betapa beratnya situasi ini bagi Regita, dan betapa sulitnya bagi gadis itu untuk menyesuaikan diri di tengah penerimaan yang setengah hati dari ayahnya.
"Jangan terlalu diambil hati, Git," kata Aksa lembut, mencoba mencairkan suasana. “Ayah memang butuh waktu untuk menerima semuanya. Tapi percayalah, seiring berjalannya waktu, aku yakin dia akan berubah pandangan tentang kamu.”
Regita menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia merasa sedikit lebih lega mendengar kata-kata kakak tirinya, meski ada keraguan yang masih tersisa. "Terima kasih, Aksa," katanya pelan. "Aku nggak mau kamu merasa terbebani karena harus menjagaku.”
Aksa hanya tersenyum lagi, kali ini ada kilatan misterius di matanya yang tak disadari Regita. “Tenang saja, Git. Aku nggak merasa terbebani sama sekali,” jawabnya lembut namun penuh makna. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa menjaga Regita hanyalah bagian awal dari rencana yang telah ia siapkan. Rencana yang membutuhkan kedekatan dan kepercayaan Regita—sebuah langkah penting yang tak bisa ia jalankan tanpa memainkan peran kakak yang peduli.
•••
Pagi itu, dengan seragam yang masih terlihat baru dan raut wajah penuh kegugupan, Regita memasuki gerbang sekolah barunya. Sekolah ini jauh lebih besar dan ramai daripada sekolah sebelumnya, dan suasana hiruk pikuk pagi itu semakin membuatnya merasa asing. Meski merasa canggung, ia berusaha menenangkan dirinya, mengingat janji Aksa yang akan membantunya menyesuaikan diri.
Perbedaan usia antara dirinya dan Aksa membuat mereka berada di tingkat yang berbeda. Aksa adalah seorang guru magang di tempat Regita sekarang dan sudah cukup terkenal di sekolah—bukan hanya karena kepandaiannya, tetapi juga sikapnya yang karismatik dan perhatian terhadap murid-muridnya. Di sisi lain, Regita, yang kini menjadi siswa kelas 3, merasa dirinya seperti anak kecil yang tiba-tiba dilemparkan ke lingkungan baru yang serba asing.
Begitu tiba di lorong kelasnya, Regita tidak bisa menahan diri untuk merasa terintimidasi oleh tatapan beberapa siswa senior yang penasaran padanya. Beberapa orang memperhatikan dengan pandangan menyelidik, seolah mencoba mengenal siapa gadis pendatang baru ini. Saat ia melangkah ragu, tiba-tiba Aksa muncul di ujung lorong, membawa senyum ramah yang segera membuat Regita merasa sedikit lebih tenang.
“Apa sudah siap, Git?” tanya Aksa sambil menghampirinya. Regita mengangguk kecil, meski di dalam hati ia masih merasa gugup.
“Aku sudah bicara dengan beberapa teman di kelasmu. Mereka akan membantu kamu kalau kamu butuh apa-apa,” lanjut Aksa, menunjukkan perhatiannya yang tak pernah lepas dari Regita. Dia memastikan adik tirinya merasa nyaman, meski dalam diam, dia mengamati setiap respons yang ditunjukkan gadis itu.
Regita tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. “Aku nggak tahu bakal bisa cocok atau enggak, tapi… terima kasih, Aksa. Kamu banyak membantuku.”
“Jangan khawatir, Git. Setiap awal memang selalu terasa sulit,” balas Aksa, menepuk pundaknya lembut. “Yang penting kamu tetap jadi diri kamu sendiri. Kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung hubungi aku, ya?”
Mereka berpisah di lorong, dengan Aksa yang melanjutkan ke ruangannya di lantai atas sementara Regita berjalan perlahan ke ruang kelas barunya di kelas 3. Meski mereka tidak berada di tingkat yang sama, kehadiran Aksa memberikan kenyamanan yang dibutuhkannya untuk menghadapi hari pertama ini. Di sisi lain, Aksa berjalan dengan tenang, menyimpan rahasia dalam pikirannya, tersenyum samar saat membayangkan langkah-langkah yang telah ia rencanakan.
Ibu Asih, seorang guru yang dikenal sabar dan tegas, mengetuk meja pelan dengan ujung jarinya, menarik perhatian siswa-siswa yang tadinya sibuk mengobrol satu sama lain. Suara obrolan perlahan menghilang, dan satu per satu murid mulai menoleh ke depan. Tatapan mereka tertuju pada sosok Ibu Asih yang berdiri dengan senyum lembut di dekat meja guru, dan di sampingnya, Regita tampak berdiri dengan raut wajah canggung.
“Anak-anak, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, ada siswa baru yang akan bergabung dengan kita,” kata Ibu Asih, nadanya penuh kehangatan. “Silakan perkenalkan dirimu, ya.”
Regita mengambil napas dalam-dalam, menenangkan diri sejenak sebelum melangkah maju. Rasanya semua mata di kelas menatapnya dengan rasa ingin tahu, dan itu membuatnya sedikit gugup. Namun, ia berusaha tersenyum dan menatap seisi kelas.
“Halo, semuanya… Nama aku Regita Anastasya,” katanya dengan suara sedikit bergetar. “Aku pindah ke sini karena… keadaan keluarga. Semoga aku bisa menjadi teman baik kalian.”
Beberapa siswa di kelas itu berbisik-bisik pelan, sepertinya tertarik dengan kehadiran Regita yang terlihat berbeda. Ia menyadari bahwa beberapa di antaranya memperhatikan dirinya dengan tatapan penasaran, sementara yang lain tampak tersenyum ramah.
Ibu Asih menepuk pundak Regita dengan lembut, memberikan dukungan. “Terima kasih, Regita. Semoga kalian semua bisa menjadi teman yang baik untuknya, ya. Jangan ragu untuk membantunya jika ia membutuhkan sesuatu.”
Regita merasa sedikit lega setelah perkenalan singkatnya. Ia melirik beberapa teman sekelas yang tampak ramah, berharap bisa segera beradaptasi di lingkungan barunya. Meski ia tahu hari pertama selalu penuh tantangan, ada harapan kecil di hatinya bahwa ini adalah awal yang baik di sekolah baru bersama teman-teman baru yang akan ia kenal.