Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Ditikam
"Apa kutinggalkan saja dia?", pikir Alfi, namun melihat Aghnia menangis tak bersuara membuat hati Alfi sedikit teriris.
Alfi tak tahu permasalahan apa yang dialami aghnia hingga suara tangisan lirih gadis itu terdengar sangat perih. Pria itu tak tahu bagaimana menenangkan wanita yang sedang bersedih. Ia tak memiliki saudara dan tak begitu banyak relasi wanita yang dekat dengannya. Pria itu tak mempunyai pengalaman dalam menangani perasaan wanita.
"Aghnia" panggil Alfi seraya menepuk pelan bahu Aghnia.
Aghnia mendongak memandang Alfi dengan mata sembabnya. Gadis itu mengusap air mata dengan ujung jilbab yang ia kenakan
"Saya permisi pak", ucap Aghnia seraya menepis tangan Alfi, lantas berdiri meninggalkan Alfi di taman. Nampak gadis itu butuh tempat untuk bercerita, namun Alfi merasa gengsi untuk memanggilnya.
Alfi terus memandang Aghnia yang pergi menjauhinya. Entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman dan melangkah mengikuti Aghnia dari jauh.
Alfi melihat seorang berpostur pria mengenakan masker, kacamata hitam, dan hoodie hitam, menyarungkan tangan ke saku dan berjalan berlawanan arah dengan Aghnia. Alfi pun mengernyit dan mencoba memperpendek jarak dengan Aghnia yang kini berjalan di trotoar, hendak menyeberang melalui jembatan layang.
"Hei!", pekik Alfi melihat pria itu tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dan menikam perut Aghnia. Gadis itu tengah banyak pikiran dan tidak sempat mengelak serangan jarak dekat, cepat, dan mendadak.
Nampak terkejut dengan pekikan Alfi, pria itu mencabut pisau dan berlari menaiki tangga jembatan penyeberangan. Alfi bergegas berlari mendekat, menahan tubuh Aghnia yang terhuyung lantas ambruk, kehilangan kesadaran.
"Aghnia, bangun!", Alfi dengan sigap membopong tubuh Aghnia. Darah gadis itu menetes sepanjang jalan. Untungnya taman itu tidak jauh dari klinik Dewangga yang memiliki instalasi gawat darurat.
Alfi tidak banyak bicara, ia segera menyerahkan perawatan Aghnia pada paramedis di klinik Dewangga dan mengurus biayanya.
"Aku harus mengabari siapa?", batin Alfi, tidak memiliki kontak keluarga atau teman Aghnia di dalam ponselnya.
Lima menit berikutnya, paramedis keluar dan memberi kabar.
"Pasien atas nama Aghnia Azizah sudah mendapatkan pertolongan pertama, namun dia butuh operasi besar untuk menjahit lukanya. Kami sudah siapkan ambulance untuk membawa pasien ke rumah sakit rujukan", pria paramedis itu langsung mengabari Alfi, karena memang klinik sedang sepi pasien.
Alfi langsung setuju dan menyerahkan segala urusan kepada mereka. Ia yang menanggung seluruh biayanya.
"Merepotkan juga. Kuharap kamu tidak tumbang semudah itu karena aku bisa jadi tersangka nantinya", gumam Alfi yang kini berlari untuk mengambil mobilnya, melaju ke rumah sakit Bahari yang menjadi rujukan klinik.
Usai mengurus semua administrasi dan biaya, Alfi menelepon bagian kemahasiswaan untuk meminta kontak wali Aghnia dan berhasil mendapatkan nomor ponsel Lukman Najib, ayah Aghnia.
"Assalamualaikum", Alfi membuka percakapan lantas memperkenalkan diri dan mengabarkan keadaan Aghnia di rumah sakit Bahari.
"Baik pak, terimakasih atas bantuannya. Kami segera ke sana", sahut Lukman, berusaha tenang dan bergegas bersama Faizah menuju rumah sakit yang dimaksud.
Sore itu, operasi telah selesai dilakukan. Ketua tim dokter keluar untuk mengabarkan kondisi Aghnia.
"Anda Ayah pasien?", dokter berwajah oval itu nampak serius. Abah Lukman menjawab seperlunya.
"Putri Bapak sudah kami tangani. Namun luka akibat senjata tajam itu merobek diafragma. Sementara, kita hanya bisa berdoa. Meski sudah melewati masa kritis, proses penyembuhan pasien sangat dipengaruhi kondisi fisik dan psikis. Kalau ada yang ingin ditanyakan, silahkan datang ke ruang kerja saya", dokter berwajah oval bername tag Ardhi Ananta itu pun berlalu usai menjelaskan kondisi Aghnia.
Abah Lukman hanya mengangguk lantas kembali ke sisi Alfi.
"Bisa bapak ceritakan kronologi kejadian yang menimpa Aghnia?", Lukman merasa geram karena putrinya disakiti orang lagi.
"Kami bertemu di taman. Usai berbincang, Aghnia nampak banyak pikiran dan pergi meninggalkan taman. Saya merasa kurang enak membiarkan ia seperti itu lantas mengikutinya", Alfi pun menceritakan kronologis dengan detail. Bahkan warna hoodie, masker, dan bentuk kacamata pelaku penyerangan pun ia sampaikan.
"Bapak bersedia menjadi saksi penyerangan putri saya?", Lukman sudah mengupayakan perawatan putrinya, tentu ia takkan melepas pelaku semudah itu.
"Tentu saja saya bersedia", sahut Alfi.
"Terimakasih", Lukman menepuk pundak Alfi dan berulang kali mengucapkan terimakasih lantas melaporkan hal ini ke pihak berwajib. Dengan koneksi Lukman, pihak kepolisian bergegas memeriksa tempat kejadian perkara, saksi, dan bukti.
Keesokan paginya, Aghnia telah siuman. Risti, orang pertama yang ia lihat tengah membaca mushaf di samping brangkarnya.
"Aw", lirih Aghnia, merasakan perih, panas, nyeri, dan sedikit susah nafas.
"Nia, alhamdulillaah kamu sudah siuman", ucap Risti, menutup dan menyimpan mushafnya.
"Kamu jangan banyak gerak dulu ya. Lukamu cukup parah kemarin", ungkap Risti, mendapat detailnya dari Abah Lukman kemarin. Tentu Lukman takkan mengizinkan Alfi menunggu Aghnia siuman karena bukan mahramnya.
"Aku kenapa bisa sampai luka?", bahkan Aghnia tidak ingat jelas kejadiannya karena memang sedang banyak pikiran.
"Aneh? Bagaimana bisa, pendekar sepertimu tumbang tanpa tahu siapa dan bagaimana dirimu diserang?", ucap Risti, sembari bercanda agar Aghnia tidak banyak beban pikiran. Ia jelas tahu bahwa Aghnia ini sedang mencoba mengenal jati dirinya hingga lengah terhadap serangan lawan.
Aghnia mencoba mengingat kembali apa yang telah ia alami. Namun sebanyak apapun ia mencoba mengingat, Aghnia hanya tahu bahwa dirinya sedang berjalan sendiri dan tiba-tiba merasakan sakit lantas pingsan. Hanya sekilas ia mengingat sesosok yang tertutup wajahnya mendekat ke arahnya dari depan.
"Lalu, kamu yang menolongku kemarin?", Aghnia tidak tahu siapa yang membantunya.
"Ya bukan lah, Nia. Orang aku ada di kontrakan, tiba-tiba Abah meneleponku", sahut Risti lantas menceritakan detail yang ia dengar dari Abah Lukman.
"Pak Alfi?", gumam Aghnia, mengangguk karena ingat kejadian itu memang selepas dirinya pergi dari taman. Hatinya menghangat saat mendengar pria tampan meski killer itu, nyatanya masih berperikemanusiaan dan mau menolongnya. Namun, ia juga mengingat bahwa Malik juga pernah menolongnya dan berakhir dengan kandasnya hubungan karena nafsu birahi.
"Hufft, di mana pak Alfi sekarang?", Aghnia ingin berterima kasih. Meski bagaimana pun, pria itu berjasa dalam menyelamatkan nyawanya.
"Ya di kampus lah, Nia. Masa disuruh nungguin kamu, bukan suamimu juga kan", ledek Risti.
"Resek deh Ris! Aku cuma mau berterima kasih ", protes Aghnia dengan suara pelan, karena perutnya sakit jika berkata lantang.
"Iya, iya, Nia sayang. Kan kamu bisa kirim pesan ke dosen idaman yang paling rupawan, sekaligus pahlawan yang rela berkorban, tanpa pamrih dan meminta imbalan. Gitu kan?", Risti berkata dengan mencibirkan bibir, mencoba menghibur Aghnia agar melupakan sejenak kepelikan pikiran yang tengah menelaah jati diri.
"Resek! Mana ponselku?", Aghnia pun meminta gawainya kepada Risti.
"Silahkan tuan putri, pangeran telah menunggu pesan Adinda Aghnia Azizah tercinta", ucap Risti seraya menyerahkan ponsel kepada Aghnia yang menerimanya dengan wajah memerah, malu.