Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Ketiduran
Di tengah kesibukan dengan laptopnya, Alfi bolak balik mencuri pandang ke Aghnia. Wajah gadis itu sedikit pucat. Alfi khawatir Aghnia akan pingsan jika gadis itu memaksakan diri, mengkoreksi seluruh tumpukan kertas itu.
"Aghnia, kamu butuh berbaring?", tanya Alfi yang jelas nampak khawatir.
"Emmm, nggak kok pak", jawab Aghnia seraya tersenyum manis.
"Sial! Kenapa senyumnya sangat manis", batin Alfi.
Alfi memandang Aghnia yang mulai meminum jamu kunyit yang ia beli. Baru sekali teguk, gadis itu mengerutkan dahinya membuat Alfi khawatir.
"Ada apa? Apa perutmu sakit?", Tanya Alfi.
Aghnia menggeleng, ia kembali meminum kunyit asam yang diberikan Alfi.
"Hmmmm, segar sekali", gumam Aghnia senang. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Alfi menghela nafas lega, ia kira jamu yang diberikan memberi efek buruk pada gadis tengil di depannya ini, nyatanya tidak. Aghnia malah menyukainya.
Alfi melihat arloji di tangannya, pria itu mengemasi laptopnya, lalu memandang Aghnia.
"Kamu pasti sudah melihat jadwal yang saya beri. Jika pekerjaanmu sudah selesai kamu boleh langsung pulang, tidak perlu menunggu saya selesai mengajar", ucap Alfi.
"Saya tinggal dulu. Jangan terlalu lelah", pesan Alfi sebelum meninggalkan Aghnia.
Aghnia mengangguk. Gadis itu memegang dadanya, jantungnya benar benar tak aman.
"Udahlah Nia, ini hanya bentuk perhatian atasan ke pegawai. Biar kerjaanmu nggak kacau dan malah merepotkan dia", pikir Aghnia, berusaha menghalau agar tak terbawa perasaan dengan perhatian kecil yang diberikan Alfi.
Aghnia kembali fokus pada tumpukan kertas kertas di sampingnya. Ia harus segera menyelesaikannya sebelum jam makan siang dan segera pulang. Semenjak sakit ia jadi sering merindukan kasur.
"Hei, asdos baru kegatelan!", ucap seseorang di seberang Aghnia.
Aghnia hanya melirik, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Udah ngerebut Malik sekarang mau ngembat pak Alfi juga, dasar sundal", ucap Erika.
Aghnia menghela nafas panjang. Jika tidak sedang sakit, gadis itu dengan suka rela akan menampar bibir tipis wanita di seberangnya.
"Perasaan, sepanjang jadi asdos Bu Sora, nggak pernah liat pak Alfi punya asdos. Pasti kamu guna guna pak Alfi kan? Ngaku deh!", cecar Erika.
Aghnia menghela nafas jengah, membanting pulpennya di meja. Untung saja ruang dosen sedang sepi, hanya ada dirinya dan Erika.
"Mbak nggak ada kerjaan lain selain ngurusin hidup saya?", geram Aghnia.
Gadis itu meneguk kembali kunyit asam yang diberikan Alfi hingga tandas, meremas botol kosong itu. Ia mencoba mengendalikan emosinya.
"Oh oh aku tau, jangan jangan kamu sugar baby-nya pak Alfi ya? Pantesan langsung direkrut jadi asdos tanpa ngeliat kinerja dulu", tuduh Erika.
Aghnia mengepalkan kedua tangannya, gadis itu tak boleh terpancing emosi atau kesehatannya yang akan menjadi taruhan. Aghnia mengatur nafasnya, menenangkan diri.
"Jangan lupa, jika kamu menghina dan menuduh seseorang, maka kamulah sebenarnya pemilik kosakata hina itu", ucap Aghnia.
"Kualitas bicaramu menunjukkan seperti apa dirimu sebenarnya!", telak Aghnia.
Erika geram, gadis itu menggertakkan giginya. Ia mengemasi tumpukan kertas di meja kerja bu Sora lalu beranjak keluar meninggalkan ruang dosen.
"Dasar sundal!", umpat Erika sebelum pergi.
Aghnia menyenderkan tubuhnya, menghela nafas panjang. Gadis itu mengambil obat pereda nyeri di dalam tasnya, lalu meminumnya bersama dengan air mineral yang ia bawa di tumbler pink.
Di kelas, Alfi sedikit kehilangan fokus mengajar. Tak bisa dipungkiri, bahwa dirinya khawatir dengan Aghnia yang berada di ruang dosen. Setelah jam pertamanya selesai, pria itu bergegas keluar dan menuju ruangannya.
Sembari berjalan, Alfi mengecek ponsel. Tidak ada notifikasi dari Aghnia. Ia yakin jika gadis itu masih berada di ruang dosen.
Sesampainya di ruang dosen, Alfi terkejut melihat Aghnia bersandar pada kursi dengan mata terpejam dan tangan kanan memegang pulpen. Pria itu mendekati Aghnia mengecek nafas gadis itu.
"Huffttt, ternyata tidur, kukira pingsan", gumam Alfi.
Alfi duduk di kursi seberang Aghnia, meletakkan ranselnya di bawah. Alfi tersenyum sendiri memandang wajah Aghnia yang sedang tidur. Pria itu mengambil laptop dalam ransel dan mulai menyibukkan diri, agar tidak terbuai dengan pesona Aghnia.
Sayup sayup Aghnia mendengar suara ketikan keyboard dengan cepat, indra penciumannya juga menghirup aroma parfum yang ia kenal.
Aghnia membuka matanya, menggeliat pelan melemaskan otot ototnya, namun gadis itu lupa jika dirinya sedang dalam posisi duduk.
"Agghh" rintih Aghnia memegangi perutnya.
Alfi yang saat itu fokus di depan layar laptop segera mengalihkan pandangannya pada Aghnia setelah mendengar rintihan gadis itu.
"Kenapa? Nyeri kah?", tanya Alfi khawatir.
Aghnia terkejut melihat Alfi berada di depannya.
"Eh, iya, cuma sedikit kok pak", jawab Aghnia yang masih mengelus elus perutnya.
"Sejak kapan dosen killer ini datang? Apa aku tidur terlalu lama? Mampus pasti kena omel!", pikir Aghnia.
"Maaf pak, saya ketiduran", sahut Aghnia, lantas memandang Alfi dengan takut.
"Tak masalah, selama pekerjaanmu selesai dan memuaskan", terang Alfi, mengendikkan bahu.
"Judes banget!", gumam Aghnia didengar oleh Alfi.
"Daripada keras kepala", balas Alfi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
"Ish..", keluh Aghnia.
Gadis itu mempercepat pekerjaannya namun tetap dengan teliti. Ia ingin segera pulang. Berlama lama dengan Alfi bisa membuat darah Aghnia naik.
"Saya mau membeli makan siang, kamu titip sesuatu?", tawar Alfi.
Aghnia menggeleng, lalu ia ingat belum membayar sarapannya tadi pagi pada Alfi. Gadis itu merogoh sakunya.
"Ini uang sarapan yang tadi pak", ujar Aghnia menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan pada Alfi.
"Tidak perlu, ambil saja uangmu", tolak Alfi.
"Wah ditraktir pak Alfi. Terimakasih pak", ujar Aghnia kembali memasukkan uangnya.
Alfi hanya melihat cup teh, ia tak melihat jamu kunyit di meja. Pria itu mengartikan jika jamu itu telah habis.
"Dibelikan kunyit asam lagi mau?", tawar Alfi.
Aghnia mengangguk dengan girang, senyumnya sangat lebar membuat Alfi terpana. Alfi pun bergegas keluar dari ruang dosen, memegang dadanya, merasakan detak yang kian cepat. Pria itu bingung bagaimana menjalani hari bersama Aghnia, apalagi jika Aghnia tersenyum seperti tadi.
Ia telah sampai di kantin fakultas, memesan satu porsi gado gado dan satu jamu kunyit asam. Pria itu berdiri di samping meja kasir memainkan ponselnya menunggu pesanannya tiba.
"Pak Alfi beli apa?", tanya Soraya yang tiba tiba berada di kasir.
"Gado gado Bu", jawab Alfi singkat.
"Ini pak pesanannya", ucap pelayan kantin memberikan satu kantong plastik berisi pesanan Alfi.
"Pak Alfi suka jamu juga?", Soraya memandang jamu kunyit asam di kantong plastik Alfi.
"Mari Bu", Alfi tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Soraya, ia pamit setelah menyelesaikan pembayaran. Enggan berlama lama di sana.
Soraya tersenyum memandang punggung atletis Alfi yang kian jauh.
"Ganteng ya mbak", tanya Soraya pada mbak mbak kasir tanpa mengalihkan pandangannya dari Alfi.
"Siapa Bu? Pak Alfi? Ganteng banget", jujur kasir itu.
"Eh tapi jangan berani deketin, itu gebetan saya", sahut Soraya memperingatkan kasir.
Mbak kasir hanya geleng geleng kepala heran dengan tingkah dosen wanita di depannya.