Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 16
Empat orang di dalam lift minggir memberi tempat seorang wanita yang menggendong bakul masuk.
Menyadari hal itu, Mia minta maaf. Merasa tidak nyaman karena bakul miliknya memenuhi ruangan. Walaupun mereka tidak ada yang mempermasalahkan. Hanya dalam hitungan detik, Mia sudah tiba di loby. Tiba-tiba saja seorang wanita hendak melayangkan tangan ke pipinya.
"Hait" bukan Mia jika tidak mampu menangkis.
"Jangan cari perkara kamu Ranti" Kata Mia setengah berbisik. Tetapi giginya gemerutuk marah dengan wanita yang tidak pernah bosan mengganggunya.
Dengan mata melotot Mia menghempas tangan Ranti, hingga Ranti pun terhuyung. Sebelum sampai jatuh, Ranti berpegangan tembok.
"Dasar tukang jamu nggak tahu malu loe, datang ke kantor ini pasti ingin minta jatah uang Slamet bukan?!" tuduh Ranti dengan suara kencang. Bagusnya di tempat itu sepi. Jika para atasan sedang rapat, para karyawan sudah bekerja di tempat masing-masing.
"Kamu jangan meremehkan profesi saya Ranti, jika kamu tidak mau kwalat. Walaupun saya penjual jamu yang penting halal" Mia kesal, karena Ranti bicara tetapi tidak ngaca siapa dirinya.
"Terus satu lagi, apa kamu bilang? Hahaha... saya minta uang Slamet?" Mia tertawa sumbang. Geli sekali mendengarnya, darimana Ranti bisa berpikir seperti itu.
"Mas Slamet sudah tiga hari tidak pulang, pasti dia tinggal bersama loe!" Tuduh Ranti. Sejak pertengkaran Slamet dengan Ranti tiga hari yang lalu, selama itu pula Slamet tidak pernah pulang ke rumah. Ranti mengira, Slamet kembali kepada Mia.
"Apa?" Mia kaget, memajukan muka ke wajah Ranti. Mia sudah bisa menebak bahwa ada konflik besar di rumah tangga mereka. Mia tahu Slamet, selama hidup berumah tangga dengannya tidak pernah lari dari persoalan. Namun, itu bukan urusan Mia. Jika Mia mau jahat, bisa saja berdoa agar hancur sekalian rumah tangga mereka. Tetapi Mia bukan orang yang sekejam itu.
"Ranti... Ranti... Slamet pergi atau tidak itu bukan urusan saya, dan jangan pernah menyangkut pautkan rumah tangga kalian dengan saya" Mia sebenarnya tidak mau meladeni Ranti, tetapi jika sampai Ranti mengadu. Ujung-ujungnya bu Maya akan melabraknya. Sungguh Mia tidak mau debat dengannya. Mau dilawan orang tua, tetapi jika didiamkan bu Maya sudah menginjak-injak harga diri Mia.
Keduanya saling diam, larut dalam pikiran masing-masing. Ranti masih tetap beramsumsi bahwa kedatangan Mia ke kantor ada hubungannya dengan Slamet.
"Heh, tukang jamu, sekarang katakan dimana Slamet"
"Mana saya tahu!" Mia pun memilih pergi tetapi baru dua langkah dia berhenti.
"Oh iya, sekali lagi saya ingatkan Ranti, jangan pernah menghina pekerjaan saya. Biarpun saya hanya berjualan jamu, tetapi setidaknya usaha. Tidak seperti kamu yang hanya main game setiap hari," Mia memang benar. Sebab, ketika masih tinggal bersama mereka, Ranti betah berjam-jam di tempat tidur hanya main game.
"Mia... Ranti..." panggil Slamet yang berjalan tergesa-gesa mendekati mereka. Slamet kebetulan lewat, baru selesai membersihkan toilet loby. Begitu mendengar suara Ranti yang ngegas, dia terkejut lalu menghampiri. Jika sampai bos ada yang tahu bahwa istrinya menyusul dan melihat kelakuan Ranti, mau di letakkan di mana wajah Slamet.
Selama tiga hari ini Slamet memang menginap di rumah orang tuanya. Bukan mau menghindari masalah, tetapi Ranti harus diberi pelajaran.
"Jelaskan sama istri kamu ini Mas, apa tujuan saya datang ke kantor ini" Mia mengatakan agar Ranti jangan asal tuduh.
Sementara Ranti tidak begitu mendengar kata-kata Mia. Karena, dia tercengang melihat penampilan suaminya yang mengenakan seragam cleaning service, membawa kemoceng, dan lap. Rasa kecewanya sampai ubun-ubun. Slamet ketika berangkat kerja mengenakan pakaian rapi. Ranti tidak menyangka bahwa suaminya hanya tukang bersih-bersih.
Ranti membuang mukanya kasar, tidak mau menatap Slamet, ketika suaminya sudah di depanya.
"Ran, sebaiknya kamu pulang" Slamet berkata pelan, agar tidak banyak orang yang mendengar.
"Mana ongkos?" Ranti menodong ketus.
Slamet menarik napas panjang, dia sebenarnya tidak punya uang. Hanya punya 100 ribu yang dia pinjam dari ibunya. Uang itu akan dia gunakan untuk mengisi bensin. Terpaksa dia merogoh dompet ambil 50 ribu memberikan kepada Ranti.
"Hanya segini?" Ranti merengut.
"Tanggal berapa sekarang" Slamet mencoba bersabar.
"Nanti malam kamu harus pulang Mas, awas! Kalau sampai tidur di rumah janda gatal" Ranti menarik kasar uang dari tangan Slamet, lalu balik badan menabrak Mia yang menyaksikan drama tersebut.
Mia kesal mendengar ucapan Ranti yang terakhir, tetapi dia tidak mau ribut di tempat yang bukan semestinya.
"Maafkan Ranti Mia" Slamet pun kesal mendengar ucapan Ranti baru saja.
"Jangan selalu minta maaf atas nama istri kamu Mas, dia punya mulut bukan? Suruh minta maaf sendiri,"
Slamet menatap Mia rasanya ingin menutup wajahnya karena malu, atas kelakuan Ranti. Bukan hanya itu, Slamet juga malu, kehidupan rumah tangganya yang kesulitan keuangan sudah diketahui oleh mantan istri. Dia kini baru menyadari ketika menjadi suami Mia tak ubahnya pria yang mendompleng kehidupan istri.
Slamet juga tahu bahwa Mia istri yang sangat menghormati dirinya. Jika boleh berharap, Slamet ingin mengambil berlian yang dia buang ke dasar laut. Slamet sudah salah telah menukar mutiara dengan kerangka kerang.
Merasa diperhatikan Slamet, Mia tidak berkata-kata lalu berjalan di belakang Ranti. Tiba di pinggir jalan, kali ini dia meyetop angkutan, kemudian meletakkan bakul di pintu angkutan.
Krenteng Krenteng.
Mia mendorong bakul sambil membungkuk, lalu duduk di tengah-tengah dua pria.
"Masih ada jamunya Mbak?" Tanya pria kulit gelap yang duduk di sebelah kiri Mia.
"Sudah habis Pak" Mia tersenyum, tetapi senyum itu lenyap dari bibirnya, kala merasakan sisi paha kananya ada yang meraba.
"Aow" pria itu menjerik, karena siku Mia mendarat tepat di lengan bagian atas pria itu, padahal sedang asam urat.
"Kenapa?" Supir berhenti, semua penumpang menatap pria di sebelah Mia yang sedang meringis. Kecuali Mia, dia cuek saja menatap jalanan.
"Kejedot Pir" Jawabnya asal.
Drama di angkutan pun berakhir karena Mia sudah turun di gang. Ketika sudah menggendong bakul, Mia tersenyum meledek ke arah pria yang akan melecehkan dirinya. Dalam hati Mia berkata. "Rasain kamu" Mia melengos lalu berjalan kaki.
Begitulah jika naik angkutan Mia harus berjalan kaki menuju rumah. Kecuali naik taksi, ojek, atau becak.
"Mia, tumben banget kamu sampai siang" suara pria dari belakang menghentikan langkah Mia.
"Iya Jak, tadi ke PT Sandranu dulu" Mia menunggu Jaka lalu berjalan bersama. Dalam hati Mia juga berkata tumben, karena tidak biasanya Jaka berjalan kaki.
"Jak, selamat ya, kamu sudah jadi bos" Mia tidak menyangka jika sahabatnya kini sudah menjadi orang kaya, karena usaha penyewaan kendaraan yang di kelola Jaka maju pesat. Menurut cerita Putri.
"Bos... Bos apa Mia? Bekas Orang Sinting" Kelakar Jaka tertawa lebar, di sambut tawa Mia.
"Memang ada ya orang Sinting ngaku," Mia terkikik.
Dua sahabat itu pun kembali seperti dulu, ngobrol diselipkan canda membuat suasana semakin akrab. Masih segar dalam ingatan Mia. Ketika mereka SD. Jaka selalu di buli teman-teman karena sepatutnya bolong bagian depan. Hal itu berlanjut hingga SMP dan SMK. Mia yang selalu membela Jaka, kadang tidak segan-segan mengancam jika teman-temannya sudah sangat keterlaluan.
"Mia kira-kira kapan kamu ada waktu, supaya kita bisa ngobrol berdua," Jaka mengalihkan. Dia rupanya akan berbicara serius mengajak Mia mencari tempat yang istimewa.
"Mau ngobrol apa Jak, sekarang juga bisa" polos Mia.
"Ini penting sekali Mia" Jaka memelas.
"Ya sudah... kalau gitu nanti malam saja Jak" Mia kasihan juga kepada Jaka. Apa salahnya sekali-sekali memenuhi undangan sahabat kecilnya.
"Tentu bisa Mia" Jaka bersemangat.
Mereka pun akhirnya berpisah. Jaka berjalan lurus. Kemudian, Mia belok kiri menuju rumahnya. Tiba di rumah, Mia tidak membuang waktu lalu membuat adonan kue yang akan dia jual sore hari.
Sore berganti malam, Mia sudah tampil cantik dijemput Jaka yang akan mengajaknya makan di restoran terkenal di kota mereka. Di dalam mobil yang lumayan bagus walaupun tidak semahal kendaraan Vano, Mia dengan Jaka kembali bercanda ria.
Tiba di salah satu restoran, Mia melangkah masuk mengkuti Jaka. Tatapan mata Mia disambut dengan langit-langit tinggi dipenuhi lampu-lampu kristal, yang sekilas seperti kupu-kupu menambah suasana hati mereka nyaman. Selama ini Mia hanya disibukkan dengan pekerjaan, tidak ada waktu untuk ruang gerak yang luas seperti ini.
Kursi beludru berwarna cream, Mia bersandar di sana, di ikuti Jaka. Jaka memesan makanan yang paling istimewa untuk menjamu wanita yang dia cintai. Sambil menunggu pesanan, obrolan masih berlanjut.
Tepat di samping Mia, segerombolan pria dengan wanita pun tengah menempati fasilitas meja yang paling panjang dan sudah di booking. Salah satu dari mereka adalah pria yang Mia kenal. Keduanya saling pandang.
...~Bersambung~...