Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Ricardo menoleh, tatapannya menjadi dingin, ada sedikit rasa penasaran di matanya.
"Aku..."
"Aku ingin pulang," Adira mengungkapkan perasaannya, sambil menghindari tatapan Ricardo.
Ricardo tak segera menjawab. Dia hanya diam beberapa saat, matanya memperhatikan setiap gerak-gerik Adira, seolah mencoba mencari alasan di balik permintaan Adira itu.
“Tentu, tapi tidak sekarang " katanya singkat, suaranya tenang namun dalam,
"Tidak sekarang? Kenapa ? "tanya Adira
“Kau tidak bisa pergi begitu saja,” jawabnya dengan suara yang rendah,
“Kenapa tidak?” Adira balas bertanya,
Ricardo diam lagi, menata kata-kata dalam pikirannya,
"Ricardo.. " kata Adira dengan nada yang lembut, menggetarkan hati Ricardo.
“Aku tidak seharusnya berada di sini. Ini bukan tempatku.” Adira mencoba membujuk.
Ricardo menghela napas, kata-kata Adira barusan memang benar adanya, dia tak seharusnya disini,
“Kondisi di luar belum aman. Aku perlu memastikan bahwa kau terlindungi terlebih dahulu.”
"Terlindungi? " tanya Adira heran,
"Terlindungi dari apa? " lanjut Adira bertanya lagi,
“Ricardo.. aku hanya ingin pulang ke keluargaku.” suara Adira sedikit bergetar, menahan tangis.
Ricardo memandangi Adira,
"Siapa namamu?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas, matanya masih tak lepas dari wajah Adira.
"Adira." jawab Adira singkat,
"Adira...” Ricardo mengulangi, mencatat nama itu dalam ingatannya.
"Kau sudah mendapatkan julukan," lanjutnya, nada suaranya semakin dalam.
"Wanita Ricardo." Dia menyebutkan kalimat itu dengan nada yang begitu dingin.
"Itu artinya, kau sekarang adalah kartu as yang bisa digunakan musuh untuk menjatuhkanku."
Adira hanya memasang wajah bingung.
"Selangkah kau keluar dari sini, mereka akan mencarimu. Kau benar-benar dalam bahaya" ucap Ricardo dengan mata nya yang tak beralih dari wajah Adira.
"Kenapa jadi begini? " Adira membatin.
"Jadi, meskipun kau ingin pulang... itu tidak akan semudah yang kau bayangkan."
Ricardo menutup penjelasannya dengan menyeruput kopi nya yang telah dingin.
Adira menelan ludah, menyadari bahwa situasinya ternyata lebih rumit daripada yang ia kira.
"Astaga, aku benar-benar dalam bahaya?" batin Adira.
“Jadi, maksudnya aku berbahaya untuk diriku sendiri? Begitu? ” tanyanya meminta diyakinkan,
“Ya. Namun kau tak usah khawatir, Aku tidak membiarkan itu terjadi.” ucap Ricardo dengan mata yang menatap cangkir kopinya.
Adira merasa hatinya bergetar mendengar penjelasan itu. Menyadari bahwa, meskipun dia bisa kembali, tetap masih ada risiko besar yang mengintai dirinya.
Ricardo menatap Adira dengan intensitas yang dalam, melihat bagaimana syok nya Adira setelah mendengar pernyataannya.
Dalam keheningan yang canggung itu, Ricardo berkata pelan,
“Kau harus sarapan, Adira.”
Namun, Adira hanya menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan, tanpa kata, matanya masih penuh kebingungan dan ketakutan. Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang dirinya terperangkap dalam dunia yang tak pernah dia bayangkan ini.
Ricardo menghela napas panjang, memalingkan pandangannya sesaat.
Ada keinginan yang begitu kuat untuk menjaga wanita ini di sisinya.
Lima tahun lamanya bayangan Adira tak pernah lepas dari pikirannya, bahkan dalam kegelapan malam yang paling sunyi, ingatannya selalu kembali pada gadis yang telah menyelamatkannya di jalanan New York.
Dia ingin mengungkapkan perasaan rindunya, mengakui bahwa sejak hari itu, wajah Adira selalu ada di benaknya—perasaan yang tak pernah dia sangka akan datang lagi setelah sekian lama terpendam.
Namun, Ricardo tahu, menjelaskan perasaannya pada Adira sekarang hanya akan membuatnya semakin terkejut, mungkin malah akan lebih menakutkan bagi Adira.
Takdir hidup Adira berada disini saja sudah cukup aneh tanpa harus menambahkan beban dengan mengungkapkan kerinduannya yang begitu dalam pada Adira.
Dalam diam, Ricardo menahan keinginannya. Dia tetap duduk di sana, menatap Adira.
Adira, yang sadar akan Ricardo yang terus menatapnya, perlahan mengangkat kepalanya dan balas menatapnya.
Mata mereka bertemu. Tatapan Ricardo begitu tajam, penuh dengan intensitas, namun ada kehangatan yang tersembunyi di baliknya. Meskipun wajah Ricardo tetap tenang dan tanpa ekspresi, sebenarnya ia sedikit gugup, sesuatu yang sangat jarang di rasakan nya, namun Ricardo tetap berusaha menjaga sikap dinginnya.
Ricardo mengalihkan fokusnya piring didepan Adira. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia meraih sepotong roti tortilla dan dengan gerakan lembut dia menyuapi Adira.
Adira, yang terkejut dengan tindakan itu, tidak menolak. Meski bingung, dia menerima suapan itu.
Setelah sarapan selesai, pintu ruangan terbuka tanpa suara. Heriberto, ajudan setia Ricardo, melangkah masuk.
"Ricardo," Heriberto berkata dengan nada rendah namun serius,
"Big Bos menghubungi. Katanya, kau harus segera menemui mereka, sekarang juga."
Ricardo mencoba tetap tenang meski ada ketegangan yang jelas di matanya. Dia menyadari betul pentingnya panggilan itu, tapi tak ingin meninggalkan Adira sendirian terlalu lama.
Dengan sorot matanya yang tenang, Ricardo menatap Heriberto sejenak, lalu berkata,
"Siapkan mobil."
Heriberto mengangguk tanpa bicara lagi, lalu keluar dari ruangan untuk menjalankan perintah Ricardo.
Adira, yang mendengar percakapan singkat itu, merasakan hawa berat pada diri Ricardo,
"Kau pergi? " tanya nya pada Ricardo yang sedang diam mematung.
" Ya, Aku akan pergi sebentar " jawab nya singkat.
" Aku sendiri? " tanya Adira penasaran,
"Kau takut? " Ricardo bertanya balik,
"Hummm... " Adira menganggung pelan,
" Kau tak usah takut Adira, " suaranya lembut,
"Kau aman di sini." lanjut Ricardo meyakinkan Adira.
" Ya, aku mengerti.. " jawab Adira pelan.
Ricardo pun melangkah keluar, saat dia masuk ke mobil dia berkata pada Heriberto,
"Sebelum kita pergi pastikan Adira dijaga dengan benar, "
" Baik, ketua. " Heriberto mengangguk tenang.
...
Mobil mereka pun melaju, kembali ke kota Tijuana, saat mereka telah sampai, terlihat sebuah rumah besar yang berdiri megah.
Rumah itu dikelilingi oleh pagar tinggi yang terbuat dari besi dan dijaga ketat oleh pria-pria berbadan besar.
Setiap mata yang memandang rumah itu pasti sudah paham bahwa pemilik rumah itu bukanlah orang biasa, melainkan seseorang yang paling berkuasa dikota Tijuana. Begitu juga bagian dalam rumah itu, terlihat jelas simbol kekuasaan dan kemewahan orang-orang kaya kelas atas kehidupan bawah tanah.
Ricardo pun memasuki salah satu ruangan utama rumah itu—ruangan kepala organisasi. Ruangan ini menggambarkan kekuasaan mutlak dan hedonisme yang menyelimuti dunia gelap mereka.
Dinding-dindingnya dihiasi dengan seni mahal, lampu gantung kristal menghiasi langit-langit, sementara sofa kulit hitam dan meja kaca tebal memenuhi ruangannya.
Di berbagai sudut ruangan, wanita-wanita seksi dengan pakaian minim berkeliaran, beberapa sedang duduk sambil tertawa kecil, menikmati kehidupan mewah di sekitar mereka, sementara yang lain menghisap cerutu mahal atau menenggak minuman keras.
Di tengah semua itu, duduklah seorang pria tua. Rambutnya yang hampir memutih seluruhnya. Dia tak gemuk, juga tak berotot seperti para penjaganya, tetapi auranya lebih menakutkan daripada siapa pun yang ada di ruangan itu.
Dialah El Patron, penguasa mafia yang tak tertandingi di Meksiko, kekayaan yang ia peroleh berasal dari bisnis-bisnis gelapnya, termasuk narkotika, perdagangan manusia, dan berbagai aktivitas ilegal lainnya.
Ricardo, kini berdiri di hadapan pria itu, dia hanya diam tak melakukan apapun, Ricardo yang cukup lama mengenal El Patron paham bahwa setiap kata dan gerakannya harus dikeluarkan dengan hati-hati, karena satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.
"Ricardo.. " kata El Patron dengan nada dinginnya.
(ehemmm/Shhh//Shy/)