Ciara Anstasya, wanita berusia 27. merantau demi kesembuhan emntalnya, dari luar jawa sampai akhirnya hanya sebatas luar kota.
di tempat kerja barunya ini, dia bertemu orang-orang baik dan juga seorang pria bernama Chandra. satu-satunya pria yang selalu mengikutinya dan menggodanya.
"Berbagilah, kamu tidak sendirian sekarang"
kalimat yang pernah dia katakan pada Cia, mampu membuat hati Cia berdebar. namun, tiba-tiba rasa insecure Cia muncul tiba-tiba.
mampukah Chandra meredam rasa insecure yang Cia alami? dan menjalin hubungan lebih jauh denganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ningxi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Libur
Selama Nina libur tidak ada masalah yang terjadi. Sandra yang hari liburnya barengan dengan Cia, tiba-tiba ambil libur selama empat hari ke depan membuat hidup Cia beserta karyawan lain sedikit lebih tenang. Chandra juga tidak mengganggunya lagi.
"Kakak?" panggil Zara saat melihat Cia berdiri di depan toserba dengan susu kotak di tangannya.
Cia berlari kecil menghampiri Zara dan Celine yang berada di dalam mobil.
"Halo tante!" sapa Cia yang mengulurkan tangannya ke arah Celine untuk salim.
"Masuklah Ci!" kata Celine.
Cia segera masuk di bangku tengah, sedangkan Zara berada di depan dengan tante Celine di bangku kemudi. Mobil berjalan santai entah mau ke mana mereka pergi.
Tak lama mobil berbelok memasuki area mall. Mereka bertiga memasuki mall setelah memarkir mobilnya terlebih dulu.
"Ma? Tolong beliin Zara sepatu dong buat sekolah, soalnya sepatu Zara udah gak muat. Kaki Zara harus di tekuk dulu seperti ini" kata Zara dengan mata yang menatap ke bawah.
Cia Dan Celin kompak melihat ke bawah saat kepala Zara menunduk menunjukan jari kakinya yang tak terlihat.
"apa yang mau kamu tunjukan dengan kaki terbungkus sepatu begitu?" Celine melirik sang putri.
"ih beneran ma. Kaki Zara tuh tiap hari seperti ini" sekarang berganti jari tangannya yang menekuk untuk memberi contoh.
"ya meskipun nggak sesak-sesak banget tapi kalau seharian sakit juga kaki Zara ma" lanjut Zara yang sudah memasang muka sedih.
Cia menatap Ibu dan anak itu dengan senyum kecil. Andai dia dan ibunya bisa seperti Zara dan Celine yang dengan mudah mengutarakan keinginannya.
Setelah membeli sepatu hitam untuk Zara, sekarang mereka memasuki toko baju.
"Kakak nggak mau beli baju?" Tanya Zara yang saat ini berdiri bersama Cia di deretan baju atasan lengan panjang.
"enggak Ra. Kakak kemarin bawah baju banyak dari rumah, kamu nggak mau beli?" kata Cia pelan.
"aku enggak bakalan beli kalau nggak di tawarin sama mama kak. Bisa dapat ceramah panjang Zara nanti kalau buang-buang uang buat sesuatu yang belum terlalu Zara perlu. Baju Zara udah banyak kalau kata mama" bisik Zara pelan.
"Kamu masih sma tapi pemikiran kamu udah bijak banget ya?" Cia tersenyum melihat Zara
"mana ada Zara bijak kak. Hanya saja mama sama papa selalu bilang begitu dari Zara smp, kalau nggak terlalu penting atau butuh nggak usah beli. Jadi Zara nggak seperti anak kota yang banyak uang sakunya kak, bener-bener Zara dapat uang saku cuman buat makan sama jajan aja soalnya kalau butuh apapun pasti mama sama papa yang bakalan nganter buat beli" ucap Zara dengan sungguh-sungguh seakan Cia tidak percaya dengan perkataannya.
"anak baik" ucap Cia yang tangannya mengelus kepala Zara dengan lembut.
"tapi banyak hal yang harus kamu ketahui tentang dunia luar Ra. Kendarai kapalmu sendiri, jangan mengikuti arus orang lain ataupun ikut kapal orang lain." lanjut Cia dengan lembut. Pandangannya lurus menatap Zara dengan tulus.
"tentu saja kak. Meskipun papa dan mama punya cukup uang untuk memanjakanku, tapi mereka tidak seperti itu. Kalau aku minta sesuatu yang nggak penting nih mau nangis darah juga nggak bakalan di beliin kak. Zara adalah murid paling jadul di sekolah" ucap Zara dengan muka yang terlihat kesal.
Cia tersenyum melihat wajah lucu Zara yang cemberut.
"Kakak juga sama Ra. Saat teman sekolah kakak sudah memakai ponsel android, kakak masih memakai Nokia. Semua sudah mengirim pesan dengan BBM, kakak masih kirim pesan dengan pulsa" hibur Cia.
"ah kakak" Zara memeluk Cia dengan erat.
Mereka berdua berjalan menghampiri Celine yang berada di kasir untuk membayar belanjaannya.
"Kalian tidak membeli apapun?" Tanya Celine yang langsung mendapat gelengan kepala dari dua orang di depannya.
Celine membawa kedua perempuan itu untuk membeli jajanan terlebih dulu sebelum pulang. Celine sudah menawarkan untuk membeli makan tapi mereka berdua menolak.
"Loh! Kita mau kemana lagi tan?" tanya Cia saat melihat jalan yang berbeda arah dengan rumahnya.
"kakak harus main dulu ke rumah mama sama papa kak" ucap Zara dengan santai.
Cia hanya mengangguk dengan pasrah. Tak lama mobil yang di kendarai Celine itu memasuki area perumahan, Cia melihat rumah-rumah yang di lewatinya dengan kagum.
"Rumahnya bagus-bagus ya Ra" bisik Cia pelan pada Zara.
"tapi di sini nggak seru kak. Lebih enak di Surabaya rumah nenek, banyak temennya" jawab Zara.
"bener kata Zara Ci. Yang tinggal disini kebanyakan orang sibuk dan ibu-ibu sosialita. Tante nggak suka" Celine ikut menimpali.
Tak lama mobil yang mereka kendarai mulai memasuki sebuah rumah mewah tapi tak begitu besar seperti rumah yang lain, hanya saja halamannya yang luas dari pada yang lain. Halaman yang penuh dengan berbagai macam bungan, rumput yang hijau terawat, pohon- pohon yang tak begitu besar namun daunnya sangat teduh jika duduk di bawanya membuat Cia lebih kagum lagi.
"Ayo masuk Ci" ajak Celine setelah mereka turun dari mobil.
Setelah melihat sekeliling rumah, Cia sadar jika rumah tante Celine memang tak sebesar rumah lainnya. Tapi tetap saja masih begitu luas, apalagi rumah yang lebih besar. Isinya juga bukan main.
"kayak gini masih ada yang bilang kalau bahagia tuh nggak harus kaya? Tetap saja yang membuat bahagia jaman sekarang tuh cuman uang sama gak punya hutang" . Batin Cia.
"Ma? Zara ajak kak Cia ke kamar Zara aja ya?" tanya Zara pada mamanya yang duduk di kursi panjang ruang tengah.
"iya nak, nanti kalau makan mama panggil" ucap Celine yang sudah merebahkan dirinya di kursi karena merasa lelah.
"Cia ikut Zara ya tan" pamit Cia.
"iya ikutlah Ci. Anggap saja rumah sendiri" ucap Celine yang tersenyum ke arah Cia.
Cia masih heran. Kenapa keluarga ini sangat baik padanya bahkan di saat mereka yang baru kenal. Mereka bahkan tidak tau Cia orang seperti apa. Namun Cia sadar, meskipun hanya 1% tapi orang yang benar-benar baik itu akan selalu ada.
"aku ambil minum dulu ya kak. Kakak tunggu di sini, duduk saja di manapun kakak mau" kata Zara sebelum keluar untuk mengambil minum di lantai bawah.
"Mari kita nikmati kemewahan ini. Kesempatan seperti ini tidak terjadi dua kali, kalau tidak sekarang kapan lagi?" ucap Cia yang melangkahkan kakinya untuk duduk di karpet bulu yang berada di kamar Zara. Ada beberapa bantal kecil dan buku di atas karpet itu hingga menarik minat Cia.
Cia langsung duduk dan melihat beberapa novel romantis di depannya. Cia mengambil salah satu dan membacanya.
"dek, kakak minta parfumnya dong" suara pria yang mulai memasuki kamar Zara. Pintu kamar itu masih terbuka hingga tak ada suara di buka ataupun di ketuk.
Cia menolehkan kepalanya ke asal suara. Pria tinggi yang lebih tua dari Zara, tapi memiliki ciri khas keluarga ini. Kulit putih bersih sampai membuat Cia iri.
"eh! Kamu siapa?" tanya pria itu. Cia hanya diam tak menjawab.
"iri tapi kan cantik nggak harus putih, cantik juga nggak harus tinggi. Selera orang beda-beda" gumam Cia pada dirinnya sendiri dengan pelan.
"mas Zaki ngapain di sini?" tanya Zara dengan tangan kanannya memegang botol minum dan beberapa snack di tangan kirinya.
"aku mau minta parfum. Dia siapa dek?" Pria itu bertanya setelah menjawab pertanyaan sang adik. Cia hanya melihat keduanya dengan diam.
"anggap saja dia kakak Zara mas. Kakak jauh lebih tua kok dari abang" Zara menjawab dengan kaki yang berjalan ke arah Cia.
"kenalin kak, itu abang Zara namanya Zaki. Umurnya masih 20 tahun, masih anak-anak" ucap Zara mengenalkan abangnya pada Cia.
"yang anak-anak itu kamu dek. Halo kak!" sapa Zaki.
"Halo Zaki, panggil aja kak Cia" Cia mengenalkan dirinya.
"Selamat bersenang-senang kak. Zaki pergi dulu" pamit Zaki setelah mendapat satu botol parfum di tangannya.
Zara langsung duduk di depan Cia yang telah menutup novel di tangannya. Zara mulai bercerita tentang sekolah dan teman-temanya yang di sambut Cia dengan antusias. Begitupun Zara yang juga menanggapi cerita Cia dengan sama antusiasnya.
"Kalian makan siang berdua saja. Mama ada urusan penting jadi harus segera pergi" ucap Celine sebelum meninggalkan Zara dan Cia yang masih duduk di kamar Zara.
Cia menolak untuk makan siang karena sudah merasa kenyang dengan cemilan dan potongan buah apel yang di bawa Zara tadi. Zara terpaksa makan sendirian karena dia terbiasa dengan jadwal makan yang teratur. Cia cukup tau diri sehingga tetap menemani Zara untuk makan siang.
"kakak pulang dulu ya Ra" pamit Cia saat haru sudah sore.
"kakak nggak mau tunggu mama papa pulang dulu?" tanya Zara yang masih tak rela Cia pulang.
"nggak usah Ra. Sampaikan salam kakak sama om Bima dan tante Celine ya?" ucap Cia.
"kakak tinggal di sini aja biar Zara ada temennya" ucap Zara yang masih menahan tubuh Cia dengan pelukan.
"Nanti kita main bareng lagi. Sekarang kakak pulang ya? Bye bye" pamit Cia setelah Zarah melepas pelukannya dan melambaikan tangannya.
Cia berjalan kaki untuk keluar komplek perumahan itu. Zara ingin memesankan ojek online untunya tapi di tolak. Cia ingin menikmati waktu dengan berjalan kaki, Cia berniat akan pesan ojek online saat sudah sampai di luar kawasan perumahan.
"kapan lagi kan menikmati rumah mewah, siapa tau kan nanti bisa beli rumah di sekitar sini. Mimpi aja susah tapi harus di aamiini karena kan nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini" gumam Cia pelan.
Cia berjalan dengan mata yang melihat kanan kirinya yang berjajar rumah mewah. Saat keluar dari gerbang komplek, ada sebuah mobil yang berhenti di depan Cia. Cia sudah takut karena berfikir orang yang berniat jahat.
"Masuk!" ucap seseorang yang tak lain adalah Chandra setelah membuka kaca mobilnya.
Cia langsung berjalan membuka pintu bagian kiri untuk segera masuk.
"Kamu bahkan tidak bertanya ataupun menolak Ci" ucap Chandra yang segera melajukan mobilnya setelah Cia duduk di sampingnya.
"apapun yang menguntungkan nggak boleh di tolak mas" jawab Cia yang matanya lurus ke depan.
"Kalau aku berniat jahat gimana?" tanya Chandra.
Cia melirik Chandra dengan curiga.
"nggak bakalan rugi sih kalau yang jahat mas Chandra. Mau di bunuh juga gak masalah" jawab Cia dengan santai.
"kok bisa nggak rugi?" tanya Chandra dengan heran. Kenapa perempuan di sebelahnya ini sangat unik.
"ya karena mas Chandra tampan. Kalaupun aku di bunuh mas Chandra, pasti judul beritanya begini, ada seorang perempuan muda di bunuh pria tampan dengan alasan ini. nah masih agak bagus di bunuh pria tampan. Lah kalau di bunuh orang jelek rugi dong, udah mati malah yang bunuh jelek lagi. Tidak bisa, komentar netizen pasti nggak enak banget" Cia berucap wajah sangat santai.
"emang netizen bakalan komentar seperti apa?" tanya Chandra yang penasaran dengan jawaban Cia.
"nggak tampan malah berbuat kejahatan. Orang jelek emang banyak tingkah ya. Tapi kalau tampan komentarnya beda. Sayang banget, tampan-tampan pembunuh, mending jadi suami aku. Itulah bedanya" jawab Cia dengan muka julidnya saat menirukan komentar-komentar yang pernah di bacanya.
Chandra tertawa pelan setelah mendengar ucapan Cia.
"pemikirannya bisa ke sana loh" gumam Chandra.
Tidak ada pembicaraan lanjutan di antara mereka selama perjalanan. Chandra juga tidak bertanya tentang apa yang di lakukan Cia di depan komplek perumahan.
Mereka sudah sampai di parkiran kos khusus pria milik bu Ida.
Chandra menatap Cia yang berada di sampingnya dengan intens sebelum tangannya terulur menyentuh lengan Cia.
"Ciara?" panggil Chandra pelan. Cia tak bergerak sama sekali.
"Ciara?" panggilnya lagi. Chandra mulai mengguncang lengan Cia pelan, namun tetap tak ada respon.
"Ciara? Ci?" panggil Chandra lagi.
Chandra mulai menepuk pipi Cia dengan pelan beberapa kali hingga tak lama setelahnya kesadaran Cia kembali.
"Mikir apa kamu?" tanya Chandra dengan mata tajamnya menatap Cia.
"emang aku mikir apa mas?" jawab Cia dengan heran.
"Jangan hanya diam melamun. Bahaya Ci, lakukan sesuatu supaya pikiranmu tidak kosong. Aku sudah menyadarkanmu selama 10 menit di sini" ucap Chandra pelan.
Cia tersenyum sebelum turun dari mobil Chandra.
"iya mas, terima kasih tumpangannya, aku pulang dulu" pamit Cia yang dengan cepat melangkahkan kakinya untuk kembali ke kamar kosnya.
Chandra menatap punggung kecil Cia yang berjalan ke arah gerbang penghubung dengan rumah bu Ida. Perempuan itu memukul kepalanya beberapa kali dengan pelan. Semua itu tak lepas dari pandangan Chandra.
Cia segera memasuki kamarnya dan langsung duduk di atas kasurnya.
"masalah apasih yang aku pikirin? Kok bisa sampai melamun di dalam mobilnya mas Chandra. Bodoh" Gumam Cia pelan.
Bahkan tak pernah sekalipun dia melamun sampai pikirannya kosong seperti itu. Kok sekalinya kosong malah di depan pria tampan. Cia segera beranjak mengambil obat di laci untuk di minumnya lagi.
Ting..
"putarlah musik agar pikiranmu tak kembali kosong"
Cia membaca pesan dari nomor baru yang tak lain adalah Chandra. Karena dia membahas pikiran kosongnya.
^^^"yang kosong bukan pikiranku mas. Tapi otakku"^^^
Balas Cia sebelum pergi keluar untuk membeli makan.
.
.
...****************...