Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Jejak yang Tersisa
Malam itu, hujan turun deras, menyelimuti kota dengan udara dingin dan suasana mencekam. Riska duduk di sudut kamarnya, memandangi jendela yang berembun. Di tangannya, sebuah amplop berisi bukti-bukti tentang kejahatan Aldo yang diberikan oleh Yuli. Hatinya berdebar kencang. Ia tahu, langkah selanjutnya adalah penentu segalanya. Namun, di tengah keteguhan itu, muncul rasa takut—takut gagal, takut kehilangan nyawa, atau yang terburuk, kehilangan bayi di dalam kandungannya.
Saat ia larut dalam pikirannya, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Ketukan itu tidak seperti biasanya, lebih berat, lebih menekan.
"Riska, buka pintunya," suara Aldo terdengar dari balik pintu, tegas namun mengandung nada dingin yang membuat bulu kuduk meremang.
Ia berdiri, mengatur napas, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Aldo berdiri di sana, mengenakan setelan jas hitam yang rapi meski waktu sudah menunjukkan tengah malam.
“Ada apa?” tanya Riska, mencoba menutupi kegugupan di wajahnya.
Aldo tidak langsung menjawab. Ia melangkah masuk tanpa meminta izin, menatap sekeliling ruangan seolah mencari sesuatu.
“Kau menyembunyikan sesuatu, bukan?” tanyanya, langsung menembak inti.
---
“Apa maksudmu?” Riska berusaha terdengar tenang, meski suara hatinya memohon agar Aldo tidak menemukan amplop yang ia sembunyikan di laci meja.
“Jangan berpura-pura, Riska,” Aldo mendekatinya, menatapnya tajam. “Aku sudah terlalu lama mengenal kebohongan. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di belakangku?”
Riska mundur selangkah, berusaha menjaga jarak. “Aku tidak melakukan apa-apa. Kau paranoid.”
Aldo menyeringai. “Paranoid? Atau aku hanya lebih pintar darimu? Kau kira aku tidak tahu soal pertemuanmu dengan Yuli? Kau pikir aku tidak tahu soal dokumen yang kau simpan?”
Jantung Riska berhenti berdetak sejenak. Bagaimana Aldo bisa tahu? Apakah ada yang mengkhianatinya?
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” jawabnya akhirnya, mencoba mengendalikan situasi.
Aldo tertawa kecil, tapi tawanya dingin. “Aku memberimu satu kesempatan, Riska. Berikan apa yang kau simpan, dan aku mungkin akan mempertimbangkan untuk tidak menghancurkanmu.”
---
Riska berdiri di sana, membeku. Ia tahu, jika ia menyerahkan dokumen itu, perjuangannya akan sia-sia. Namun, jika ia melawan, risikonya terlalu besar. Tapi sebuah suara kecil di hatinya berkata, lawan dia.
“Aku tidak punya apa-apa,” jawab Riska akhirnya, suaranya tegas meski tangannya gemetar.
Mata Aldo menyipit, penuh ancaman. “Kau memilih jalur sulit, Riska. Jangan salahkan aku jika aku mengambil langkah drastis.”
Tanpa berkata lebih lanjut, Aldo keluar dari kamar, meninggalkan Riska dengan ketegangan yang membakar. Saat pintu tertutup, ia langsung mengunci pintu dan meraih amplop itu dari laci. Ia tahu, waktunya semakin sedikit.
---
Pagi berikutnya, Riska bertemu dengan Yuli di sebuah restoran kecil yang tersembunyi. Yuli terlihat cemas, sama seperti dirinya.
“Kita harus segera menyerahkan dokumen ini kepada pengacara,” kata Yuli dengan nada mendesak. “Aldo pasti sudah merencanakan sesuatu untuk menghalangi kita.”
Riska mengangguk. “Tapi aku rasa ada yang tidak beres. Aldo terlalu yakin. Dia bahkan tahu tentang dokumen ini. Bagaimana dia bisa tahu?”
Yuli terdiam sejenak, lalu menatap Riska dengan ragu. “Kau pikir aku yang mengkhianatimu?”
“Bukan begitu,” Riska menggeleng, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan. “Aku hanya merasa kita harus lebih berhati-hati.”
Yuli menarik napas panjang. “Riska, aku di pihakmu. Kalau kau tidak percaya padaku, rencana ini akan hancur.”
Sebelum Riska bisa menjawab, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
"Kau pikir kau bisa melawanku, Riska? Aku selalu satu langkah di depanmu."
---
Pesan itu membuat Riska kehilangan warna di wajahnya. Tangannya gemetar saat ia menunjukkan pesan itu kepada Yuli.
“Ini pasti dari Aldo,” bisik Riska.
Yuli mengerutkan kening. “Dia benar-benar gila. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus pergi sekarang.”
Namun, saat mereka beranjak dari tempat duduk, seorang pria dengan jas hitam muncul di depan pintu restoran. Wajahnya tidak asing bagi Riska—dia salah satu pengawal pribadi Aldo. Pria itu berjalan mendekat, membuat Riska dan Yuli mundur dengan panik.
“Kalian tidak kemana-mana,” ujar pria itu dengan nada dingin.
---
“Kau pikir kau bisa menghentikanku?” Yuli berdiri di depan Riska, mencoba melindunginya. “Kami tidak takut padamu.”
Pria itu tersenyum tipis. “Bukan aku yang perlu kalian takuti. Tuan Aldo sudah punya rencana untuk kalian. Dan percayalah, kalian tidak akan menyukainya.”
Riska merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia ingin melawan, tetapi tubuhnya terasa lemah. Yuli tampak berusaha tenang, tetapi jelas ia juga ketakutan.
“Jika kau menyentuh kami, semua bukti yang kami punya akan keluar,” kata Yuli dengan nada penuh keberanian.
Pria itu tertawa kecil. “Bukti itu? Kau pikir Aldo tidak tahu? Sebelum kau sempat melakukan apa pun, semuanya akan berakhir.”
Sebelum Riska sempat berkata apa-apa, pria itu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah video. Video itu menampilkan seseorang yang tak asing lagi bagi Riska—adik perempuannya yang sedang diikat di sebuah ruangan gelap.
“Aku harap kau tahu apa artinya ini, Riska,” kata pria itu, menyeringai kejam.
Riska terdiam, tubuhnya lemas. Ia tahu, ini adalah ancaman yang lebih dari sekadar kata-kata. Aldo tidak hanya mengincar dirinya, tetapi juga orang-orang yang ia cintai. Dan ia tidak tahu bagaimana cara melarikan diri dari jebakan ini. (Bersambung)