novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Pertarungan dengan Kegelapan
Saat Aric terjatuh ke dalam altar, dunia di sekelilingnya berubah menjadi kegelapan yang dalam. Dia tidak bisa melihat apa pun, hanya mendengar napasnya sendiri yang berat dan gemuruh jantungnya yang berpacu. Kegelapan ini bukanlah kegelapan biasa. Itu seperti makhluk hidup, membisikan ketakutan dan keraguan ke dalam benaknya, mencoba menghancurkan keberaniannya.
"Aric, kau tidak akan pernah berhasil," bisik suara yang serak, bergema di dalam kepalanya. "Kau lemah. Kau tidak bisa menyelamatkan siapa pun."
Aric meremas tangannya, mencoba menahan ketakutan yang merayap di dalam dirinya. "Ini hanya ilusi," gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku tidak boleh membiarkan rasa takut menguasai diriku." Tapi kegelapan itu semakin padat, menyesakkan seperti kabut yang menelan seluruh tubuhnya.
Di tengah kepanikan, suara lain muncul, suara yang jauh lebih akrab. "Aric, apa kau menyerah begitu saja?"
Aric tertegun. Itu adalah suara ayahnya, suara yang sudah lama ia rindukan tetapi tak pernah ia duga akan mendengarnya lagi. Ia berbalik, dan dari kegelapan, sosok ayahnya muncul, mengenakan baju tempur lamanya, dengan mata tajam yang pernah memandang Aric dengan penuh kasih sayang.
"Ayah?" Aric bergumam, air mata menetes di wajahnya. "Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kegelapan ini terlalu kuat."
Sosok ayahnya menggeleng, ekspresinya keras. "Putraku, kau sudah tumbuh menjadi pejuang yang luar biasa. Tetapi kau harus memahami bahwa kekuatan sejati tidak datang dari amarah atau ketakutan. Kau harus menemukannya di dalam hatimu sendiri."
Aric terdiam. Kata-kata ayahnya menusuk, tetapi di dalam hatinya ia tahu ada kebenaran di dalamnya. "Tapi bagaimana aku melawan takdir yang telah ditentukan? Bagaimana aku bisa menjadi lebih kuat dari naga kehancuran di dalam diriku?"
Sosok ayahnya mendekat, menepuk bahu Aric dengan lembut. "Kau bukan hanya reinkarnasi Dewa Naga. Kau adalah Aric, seorang pemuda yang penuh cinta dan keberanian. Ingatlah siapa dirimu, dan gunakan kekuatan itu untuk melindungi, bukan untuk menghancurkan."
Saat Aric mendengar kata-kata itu, rasa hangat mulai menyebar di dalam dadanya, menggantikan dinginnya kegelapan. Cahaya kecil menyala di dalam hatinya, seperti percikan api yang mulai tumbuh.
Tiba-tiba, sosok ayahnya menghilang, dan kegelapan itu melesat mundur. Namun, belum selesai. Dari kegelapan itu, muncul bayangan lain, yang kali ini menyerupai dirinya sendiri. Wajahnya penuh amarah, matanya bersinar merah, dan cakar hitam muncul dari tangannya.
"Aku adalah dirimu, sisi gelapmu," kata bayangan itu, suaranya seperti gemuruh badai. "Kau tidak bisa mengabaikan aku. Aku adalah kehancuran yang kau bawa, dan aku akan menguasai dirimu."
Aric merasakan amarah dan kebencian itu, mengalir di dalam darahnya. Tetapi, di dalam dirinya, ia masih mendengar suara ayahnya, mengingatkan untuk tidak menyerah. "Aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan diriku," katanya, suaranya penuh ketegasan. "Aku bukan alat kehancuran."
Bayangan itu tertawa, suaranya memekakkan telinga. "Kau pikir bisa melawanku? Kau tidak punya kekuatan untuk menghadapiku!" Ia melompat ke arah Aric, menyerang dengan cakar hitamnya.
Aric menghindar dengan cepat, tetapi serangan itu meninggalkan goresan di lengannya. Rasa sakit membakar, membuatnya sadar bahwa ini adalah pertempuran nyata, bukan hanya ilusi. Ia mengangkat tangannya, dan energi naga mulai menyala di sekeliling tubuhnya, membentuk perisai api biru.
"Aku tidak butuh amarah untuk melawanmu," teriak Aric. "Aku punya sesuatu yang jauh lebih kuat!"
Bayangan itu menyerang lagi, tetapi Aric menghadangnya dengan perisai energinya. Mereka terlibat dalam pertempuran sengit, energi kegelapan melawan api yang membara. Setiap kali bayangan itu menyerang, Aric mengingat wajah teman-temannya, Lyria dan Kael, dan semua orang yang ingin ia lindungi.
"Kau tidak bisa mengalahkan aku," kata bayangan itu, semakin marah. "Aku adalah bagian dari dirimu."
Aric mengeraskan hatinya, melangkah maju. "Ya, kau adalah bagian dari diriku. Tapi aku tidak takut padamu. Kau hanya ada di sini karena aku membiarkan amarah dan ketakutan menguasai diriku. Sekarang, aku akan mengambil kembali kendali itu."
Dengan kekuatan yang terkumpul, Aric mengangkat kedua tangannya, dan energi biru yang membara menyelimuti bayangan itu. Bayangan tersebut menjerit, mencoba melawan, tetapi akhirnya lenyap dalam cahaya yang menyilaukan.
Kegelapan mulai memudar, dan Aric berdiri di tengah lingkaran cahaya yang hangat. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar, tetapi di dalam dirinya, ia merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Aku akan melindungi dunia ini, apa pun yang terjadi," gumamnya.
Dunia di sekelilingnya mulai berputar, dan Aric merasakan dirinya diangkat dari altar. Ketika ia membuka matanya, ia kembali berdiri di hutan, dengan Lyria dan Kael menatapnya dengan cemas.
"Aric! Kau baik-baik saja?" tanya Lyria, suaranya penuh kekhawatiran.
Aric tersenyum lemah, mengangguk. "Aku baik-baik saja. Dan aku tahu apa yang harus kita lakukan."
Kael mendekat, matanya menyipit. "Apa yang kau lihat di dalam sana?"
Aric memandang sahabat-sahabatnya, merasa lebih kuat dari sebelumnya. "Aku melihat kegelapan di dalam diriku sendiri. Tapi aku juga melihat harapan. Kita bisa melawan ini, selama kita tetap bersama."
Hutan Kegelapan masih penuh misteri, tetapi Aric kini merasa lebih siap daripada sebelumnya. Petualangan mereka masih jauh dari selesai, tetapi mereka sekarang memiliki tujuan yang jelas: mengalahkan kegelapan, bukan hanya di luar, tetapi juga di dalam diri mereka sendiri.
Mereka bertiga melangkah maju, siap menghadapi apa pun yang akan datang, dengan hati penuh harapan dan tekad yang tak tergoyahkan.