Bagi seorang anak baik buruknya orang tua, mereka adalah dunianya. Mereka tumpuan hidup mereka. Sumber kasih sayang dan cinta. Akan, tetapi sengaja atau tidak, terkadang banyak orang tua yang tidak mampu berlaku adil kepada putra-putri mereka. Seperti halnya Allisya. Si bungsu yang kerap kali merasa tersisih. Anak yang selalu merasa dirinya diabaikan, dan anak yang selalu merasa tidak mendapatkan kasih sayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Siapa tadi yang ngomong lebih baik mati saja" sambung Wati bertanya dengan intonasi suara marah.
Mira dan Lia menunduk. Mira takut kalau dirinya akan di marahi oleh ibunya lagi, begitu pula dengan Lia, ia takut kalau ibunya marah kepada Mira.
"Jawab kenapa diam saja, pasti mulut mu ini kan Mira, sini ikut ibu" Wati menunjuk nunjuk mulut Mira dengan penuh amarah, lalu menarik tangan kecil Mira menuju dapur.
"Bu, Mira mau dibawa kemana" tanya Lia, berjalan cepat mengikuti langkah ibunya.
"Sudah Lia, kamu tidur saja, adikmu ini katanya mau mati kan, biar dia tahu rasanya mati, dasar anak durhaka tidak tau di untung" ucapnya lalu menghempaska Mira ke lantai dapur.
"Plak..." Satu pukulan dengan menggunakan gagang sapu mendarat di punggung kecil Mira.
"Ampun Bu, mira minta ampun" teriak Mira kesakitan.
"Plak....."
"Kau mau mati kan, sini ibu wujudkan keinginanmu"
Sudah Bu, Lia menarik narik tangan Wati dari belakang, namun tenaga Wati jauh lah lebih kuat daripada Lia. Sehingga Lia tersungkur ke belakang.
Plak.....
"Ampun bu" Mira bersujud di kaki ibunya. Ia tak tahan lagi dengan pukulan ibunya.
"Sana kamu anak durhaka, masih kecil sudah durhaka, rasakan ini" ucap Wati menghempaskan Mira dari kakinya.
Plak....
"Ampun Bu" Mira terus memohon, di kaki Wati.
Tapi tampaknya Wati telah gelap mata, seolah-olah tiada lagi belas kasihan di hatinya untuk Mira. Tangannya kembali diangkat untuk memukulkan gagang sapu ke punggung Mira.
"Apa apaan kamu ini Wati" Rudi suaminya langsung mengambil gagang sapu yang di pegang oleh Wati, dan melemparkannya ke sembarang tempat.
"Biar pak, anakmu ini katanya menyesal lahir ke dunia ini katanya dia lebih baik mati saja, dia kira aku tak menyesal melahirkannya ke dunia ini, aku jauh lebih menyesal daripada dia. Aku yang melahirkannya maka aku juga yang akan membunuhnya"
"Istighfar kamu wati, dia anakmu"
"Hrgghhhh, bapak sama anak sama aja, urusin tuh anakmu" ucap Wati kesal, dan pergi beranjak meninggalkan dapur.
Lia langsung berlari memeluk Mira.
"Lia liat adikmu, bawa dia ke kamar, langsung tdiur" ucap Rudi, lalu pergi menyusul Wati
"Iya pak" sahut Lia.
Meski melihat Mira sudah meringis kesakitan, tetap tak dapat menyentuh hati Rudi, padahal Rudi adalah ayah kandung Mira dan Lia.
Rudi memang bukanlah sosok ayah yang peduli, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kedai kopi atau rumah tetangga. Yang penting ada rokok dan kopi, yang lainnya ia tak perduli. Namun masih untung, Rudi tetap mau bekerja ke ladang bersama Wati, seperti menanam sayur, kopi, dll. Sehingga mereka tetap dapat bertahan hidup, dan mampu menyekolahkan Mira dan Lia.
****
"Auww, sakit kak" Mira meringis kesakitan, saat Lia mengolesi punggungnya dengan obat merah.
"Sabar Mira, ini sedikit lagi" ucap Lia menahan tangisnya, ia tak tega melihat punggung adiknya yang dipenuhi dengan bekas pukulan ibunya. Ada memar di mana-mana, dan ada juga yang sampai luka.
"Tapi sakit kak, udah nggak usah di obati lagi" ucap Mira.
"Sabar, ini sedikit lagi, biar cepat sembuh"
"Nanti kalau tidur, tengkurap aja ya dik, biar lukanya nggak lengket, besok nggak usah sekolah dulu" ucap Lia, kini air matanya tak bisa ia tahan, air matanya menetes ke punggung adiknya.
"Kakak menangis?"
"Tak" ucap Lia menghapus air matanya dengan lengan bajunya.
"Lalu yang menetes itu apa"
"Itu obat merah"
"Ohhh, sudah kak?"
"Sudah, kamu tidur saja"
"Iya kak, kakak juga tidur lah, biar nggak telat besok ke sekolah," ucap Mira
"Emmm" Lia mengangguk, ia tak mampu lagi menjawab perkataan adiknya. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya punggung Mira saat ini.
Kini Mira harus tidur dengan keadaan tengkurap, ia memerengkan kepalanya membelakangi Lia. Lagi-lagi malam ini sebelum tidur, Mira harus menangis dulu. Tak hanya punggungnya yang sakit tapi hatinya juga.
"Kak"
"Iya" sahut Lia, membuka matanya yang tadi sudah sempat terpejam.
"Belum tidur"
"Belum, kenapa, ada butuh sesuatu, biar kakak ambilkan"
"Kalau sekiranya nanti Mira, nggak bisa menemani kakak sampai tua nggak papa ya?"
"Bicara apa kamu ini dek, sudah tidur, jangan mengigau"
"Mmmm"
****
"Kamu itu kenapa sih, marah marah terus sama Mira, kasihan dia, dia masih kecil, masih kelas tiga SMP wajar kalau dia agak nakal sedikit. Lagian ku perhatikan dia anaknya baik, penurut lagi" ucap Rudi kepada wati
"Penurut apanya, setiap di suruh ada saja alasannya, nggak pernah langsung bilang iya"
"Ya, Mira memang kadang menjawab kalau di suruh, tapi pasti ia kerjakan kan? Sudahlah, ku rasa sikapmu kepada Mira sudah sangat berlebihan"
"Berlebihan bagaimana pak, kamu sekarang belain si Mira iya?"
"Bukannya begitu bu, tapi..."
"Sudahlah, aku capek berdebat sama bapak, aku mau tidur, besok harus cepat bangun buat nyiapkan sarapan"
Melihat istrinya yang sudah memejamkan mata, Rudi hanya bisa terdiam sambil menyalakan rokoknya. Sebelum tidur ia memang harus menghabiskan satu atau dua batang rokok. Katanya agar dapat tidur dengan nyenyak. Tanpa berfikir apakah anaknya Mira saat ini tertidur dengan lelap.
****
"Allahuakbar Allahuakbar" ajan subuh bergema, menggetarkan jiwa jiwa yang ada iman di dalam hatinya. Mira dan Wati bergegas bangun, dan melaksanakan sholat subuh 2 rakaat.
"Mira, kakak ke dapur dulu ya, mau bantu ibu, kamu istirahat saja, nanti sarapanmy kakak antar saja"
"Iya kak" ucap Mira, kembali berbaring di atas kasur, punggungnya rasanya menjadi dua kali lipat sakitnya dari semalam.
Mira beranjak ke dapur, di sana ibunya Wati tengah mengiris-iris bawang.
"Bagaimana keadaan adikmu Mira?" Tanya Wati, saat menyadari Lia datang.
"Dia masih sakit Bu, berbaring di kamar, hari ini mira nggak sekolah Bu"
"MMM"
"Bu, Lia boleh tidak nggak usah sekolah hari ini, satu hari aja. Lia mau jaga Mira Bu"
"Nggak bisa, kamu harus sekolah. Lagian Mira bukannya sakit parah, bukannya lumpuh sampai sampai harus dijaga jaga"
"Tapi Bu"
"Nggak ada tapi tapian, mau jadi orang susah kamu seperti ibu."
Lia menunduk, ibunya memang sangat ketat jika urusan sekolah, apalagi saat saat ini. Kata Wati, kalau tidak ada sekolah nanti besarnya akan jadi orang susah.
"Tuh, antarkan kopi bapakmu ke ruang tengah" ucap Wati, menunjukk kopi yang tampaknya baru di seduh oleh Wati.
Lia pun menurut.
Di ruang tengah, seperti biasa sudah ada ayah ya 'Rudi' yang tengah duduk bersila dan masih memakai selimut di sekujur tubuhnya, sambil menonton TV dan menghisap sebatang rokok. Katanya dingin. Setiap bangun tidur rutinitas Rudi memang hanya menonton TV. Bahkan belum sempat cuci muka, dan gosok gigi, dirinya sudah langsung menghidupkan TV. Nanti siap sarapan baru Rudi dan Wati akan pergi bekerja ke ladang.
"Ini kopinya pak"
"Emmmm, taruh aja di situ" ucap Rudi, tak mengalihkan pandangannya dari layar Televisi.
"Pak"
"Mmmm"
"Lia nggak sekolah ya hari ini"
"Tanya ibumu saja"
Tak menjawab, Lia langsung pergi ke dapur. Kerna percuma di perpanjang, nggak akan ada hasilnya. Tetap saja Lia, harus pergi kesekolah dan meninggalkan Mira di rumah, seorang diri.