(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Marchel
Ketika Marchel larut dalam rasa bersalahnya, di sisi lain Sheila larut dalam kesedihannya. Sejak malam itu hubungan Marchel dan Sheila menjadi berjarak. Bahkan Marchel terkesan menghindari istrinya itu. Rasa bersalah membuatnya merasa malu bahkan hanya untuk bertatap muka dengan Sheila. Karenanya, Marchel memutuskan pergi untuk sementara waktu dengan dalih menjadi tenaga medis relawan di sebuah daerah yang sangat jauh.
Pagi itu isakan lirih menggema di sebuah kamar dimana Sheila sedang menangisi takdirnya. Marchel akan pergi pagi itu meninggalkan beban yang terasa menghimpit dadanya belakangan ini.
"Sheila..." Suara panggilan Marchel memecah kesunyian. Laki-laki itu berjongkok di hadapan Sheila yang sedang duduk di bibir tempat tidur.
"Kak Marchel..." Sheila mengangkat kepalanya, menatap Marchel diiringi air matanya yang terus mengalir.
"Maafkan aku. Aku harus pergi untuk sementara waktu. Tapi aku berjanji akan segera kembali begitu keadaan di sana sudah normal kembali." Marchel mengusap rambut panjang gadis kecil yang menjadi istrinya itu.
Sheila tidak menyahut, hanya isakan demi isakan yang terus terdengar. Sesekali gadis itu mengusap air matanya yang berjatuhan begitu saja.
"Jangan menangis lagi! Lihat matamu sudah sembab karena terus menangis."
"Aku mau pulang ke rumahku saja. Aku tidak mau tinggal di sini!" lirih Sheila.
"Siapa yang akan menjagamu di rumah itu?" Marchel menggenggam tangan Sheila. "jangan takut! Bibi Yum akan menjagamu di rumah ini."
"Kalau begitu, aku mau ikut Kak Marchel..."
"Di sana ada wabah, Sheila... Itu bukan tempat yang aman untukmu. Lagipula aku ke sana untuk membantu orang. Aku mohon mengertilah." Marchel mengusap rambut Sheila. "Kau masih punya kartu yang kuberikan waktu itu kan? Gunakan itu untuk keperluanmu."
"Aku tidak mau itu! Aku mau ikut Kak Marchel!" Sheila terus menangis, membuat Marchel menarik tubuh kecil itu dan memeluknya.
"Maafkan aku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku pergi hanya untuk sementara. Setelah semua selesai, aku akan kembali padamu. Aku janji," ucap Marchel seraya mengusap punggung Sheila.
Ya, hanya untuk sementara. Sampai aku bisa melupakan malam penuh dosa itu. Aku bersalah padamu, Sheila... Dan juga pada gadis itu. Aku telah melakukan dosa besar dengan merusak masa depan gadis itu. Aku bahkan tidak tahu siapa nama dan dimana gadis itu berada. batin Marchel.
Marchel melepas kacamata tebal yang dipakai Sheila, kemudian menghapus air mata yang mengalir di wajah tirus gadis itu. "Sekarang berhentilah menangis. Begitu aku kembali, semuanya akan baik-baik saja. Maafkan aku, kalau kau merasa aku mengabaikanmu selama ini."
Marchel masih memeluk Sheila. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir gadis polos itu. Yang ia tahu hanya rasa sakit. Setelah kepergian Shanum, kini Marchel pun pergi meninggalkannya di rumah yang seperti neraka baginya.
Entah apa yang akan terjadi pada Sheila di rumah itu setelah kepergian Marchel. Satu hal yang diyakini gadis itu. Ibu dan Audry akan kembali menyiksanya habis-habisan.
****
"Semua sudah siap?" tanya Marchel pada seorang sopir yang akan mengantarnya menuju bandara. Lelaki paruh baya itu menjawab dengan anggukan, sambil memasukkan koper terakhir ke bagasi mobil.
Ibu masih belum percaya dengan keputusan anak lelakinya itu untuk pergi. Namun, sebagian dari hatinya merasa cukup senang. Kepergian Marchel akan memudahkannya menyingkirkan si culun Sheila dari hidupnya.
"Bu, aku mohon bersikap baiklah pada Sheila. Jangan terus memarahinya," ucap Marchel pada sang ibu.
Ibu hanya mengangguk pelan. Namun jauh di lubuk hatinya menolak.
Marchel kemudian menatap tajam pada sosok gadis cantik yang berdiri di belakang ibu, tatapan mengintimidasi yang lumayan membuat Audry merasa takut, sebelum akhirnya berpamitan pada Bibi Yum.
"Bibi, aku titip Sheila. Tolong jaga dia selama aku pergi. Laporkan padaku apapun yang terjadi padanya. Dan jangan biarkan ibu atau pun Audry menyakitinya."
Wanita paruh baya itu mengusap setitik air matanya. "Segeralah kembali begitu keadaan di sana membaik. Kasihan Sheila, dia pasti sangat sedih dengan kepergianmu. Dia bahkan tidak mau melihatmu pergi."
Marchel mengarahkan pandangannya ke sebuah jendela kamar dimana Sheila berada. Gadis itu hanya melihat kepergian Marchel di balik jendela. "Aku akan segera kembali untuknya, Bibi."
Setelah berpamitan, Marchel melambaikan tangannya ke arah jendela itu, sebelum akhirnya naik ke mobil.
Sementara Sheila, hanya menangis dan menangis meratapi kepergian suaminya itu. Rasanya begitu menyakitkan. Ketika orang yang dicintai memilih pergi meninggalkannya. Rasa kecewa, sedih dan benci seolah menyatu.
Ingin rasanya pergi, tapi kemana? Sheila tidak punya siapa-siapa untuk tempatnya mengadu. Kini, satu-satunya tempatnya bersandar hanya Bibi Yum seorang.
****
Sheila masih terbaring di tempat tidurnya meratapi kepergian sang suami. Sesekali sisa isak tangis masih terdengar, dengan wajah pucat dan mata sembab.
Sudah beberapa jam setelah kepergian Marchel, namun Sheila masih berdiam diri di kamar.
"Sheila!!!" Terdengar suara teriakan keras ibu memanggil dari luar kamar, membuyarkan lamunan gadis itu.
Sheila mengusap sisa air mata yang mengalir di wajahnya, sebelum bangkit dari tempat tidur menuju sumber suara.
"A-ada apa, Bu?" Sheila begitu takut pada wanita yang menjadi mertuanya itu.
"Cepat kau bersihkan taman belakang. Awas kalau masih ada sisa sampah yang berserakan. Aku akan menghukummu!"
Bibi Yum yang sedang berada di dapur mendengar suara Nyonya besar, bergegas keluar menuju ruang keluarga.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Bibi Yum.
Ibu melirik Bibi Yum dengan tatapan tidak sukanya. "Jangan ikut campur, Bibi! Kembalilah ke dapur!"
"Maaf, Nyonya... Marchel sudah menitipkan Sheila padaku sebelum pergi. Marchel akan marah kalau tahu Nyonya memperlakukan istrinya seperti ini."
"Apa kau sedang mengancamku? Bibi, sepertinya sudah waktunya kau pensiun. Kau terlalu banyak melawanku akhir-akhir ini." Ibu menatap tajam Sheila dan Bibi Yum bergantian.
Sementara Sheila begitu terkejut mendengar ucapan mertuanya itu. Rasa takut kembali menjalar. Jika Bibi Yum dipensiunkan, sudah pasti tidak akan ada yang membelanya di rumah itu. Hanya Bibi Yum satu-satunya pekerja di rumah itu yang berani melawan perintah nyonya besar dan membela gadis malang itu.
"Mintalah yang lain untuk membantumu mengemasi barang-barangmu, Bibi! Sudah waktunya kau istirahat. Kau akan mendapatkan tunjangan yang selayaknya kau dapatkan karena pengabdianmu selama puluhan tahun di rumah ini."
"Anda memecatku, Nyonya?"
"Bukan memecat! Aku mengistirahatkanmu. Karena aku merasa kau sudah tidak bisa bekerja dengan baik lagi. Ini sudah keputusanku. Jadi terimalah!"
Bibi Yum melirik Sheila dengan perasaan sedih. Namun, wanita paruh baya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Sekarang, satu-satunya yang bisa dilakukan, hanya menghubungi Marchel.
Apa yang akan terjadi padaku kalau Bibi Yum pergi? batin Sheila.
****
BERSAMBUNG