Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sembilan
💙💙💙💙
Ara spontan langsung menoleh ke arah sang atasan yang sedang duduk di sampingnya. Mereka baru saja bertemu dengan klien, dan kini sedang dalam perjalanan kembali ke kantor. Batinnya bertanya heran, kenapa mood sang atasan mendadak jelek, padahal sejak tadi pagi terlihat biasa saja. Bahkan negoisasi dengan klien berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, lalu kenapa dengan bosnya ini? Sedang ada masalah pribadi kah?
Ara terlihat semakin khawatir saat kembali mendengar helaan napas keluar dari Garvi. Apalagi tangan pria itu yang kini sedang memijat pelipisnya seperti sedang menahan pening.
"Bapak sedang kurang sehat?" tanya Ara hati-hati.
Garvi menatap Ara sebentar lalu menggeleng. "Saya pusing."
"Mau mampir ke klinik atau rumah sakit buat periksa? Atau cukup ke apotik buat beli obat saja?" tawar Ara kemudian.
"Saya pusing bukan karena sakit."
"Lalu?"
"Dika ngambek. Tadi saya mencoba menghubunginya tapi dimenolak panggilan saya."
Ara berpikir sebentar. Ia merasa tidak asing dengan nama itu, tapi ia tidak cukup yakin dengan Dika yang bosnya maksud.
"Maaf, Pak, Dika itu siapa?"
Garvi langsung berdecak kesal. "Kamu itu pikun sekali, Zahra. Dika itu adik saya, orang yang kamu jemput tempo hari." Kedua matanya melirik sang personal asisten dengan tatapan agak sinis yang bercampur kekesalan, "begini nih kalau makanan yang masuk ke tubuh kamu bukan makanan sehat, bikin kamu cepat pelupa."
"Pak, yang namanya lupa itu nggak inget. Kenapa Bapak malah seenaknya ngatain saya pikun?" sahut Ara tidak terima.
"Saya perhatikan akhir-akhir ini kamu sangat berani ya sama saya."
Bibir Ara spontan langsung tertutup rapat-rapat. Kepalanya menunduk dalam, bukti kalau ia baru saja menyesali perbuatannya.
"Kalau tahu mood saya sedang jelek bisa nggak sih nggak dibikin makin jelek?"
"Maafkan saya, Pak," sesal Ara bersungguh-sungguh. Tapi masalahnya Bapak juga bikin mood saya makin jelek. Sambungnya dalam hati.
"Saya lebih butuh solusi ketimbang permintaan maaf kamu."
Ara menghela napas panjang. Niatnya agar ia tidak terlalu terbawa emosi saat membalas kalimat sang bos. Namun, sepertinya karena sedang dalam mood yang sama-sama kurang bagus membuat Garvi sedikit salah paham.
"Kenapa sampai menghela napas begitu?" tanya Garvi dengan nada suara sedikit tersinggung, "keberatan kamu saya mintain solusi? Zahra, ini termasuk job desk kamu loh, kerja kontrak kamu termasuk mengurusi kehidupan pribadi saya, bukan hanya soal pekerjaan saja. Kamu tidak lupa kan?"
Ara mengepalkan telapak tangannya kuat seraya mengangguk cepat. Tentu saja ia tidak lupa, ia ingat betul gajinya yang di atas rata-rata sebanding dengan pekerjaan yang dia lakukan. Tapi terkadang saat harus mengurusi kerewelan bosnya seperti sekarang ini, Ara ingin rasanya alih profesi saja. Tidak masalah jika itu tidak menghasilkan banyak uang, setidaknya ia tidak harus mengalami tekanan batin seperti sekarang ini.
"Nanti akan saya bantu bujuk Mas Dika biar segera berbaikan dengan Pak Garvi," ucap Ara pada akhirnya.
Di luar dugaan, Garvi justru malah menggeleng. "Bukan itu yang saya mau."
"Lalu Pak Garvi mau saya bagaimana?"
"Zahra, menurut saya kamu dan Dika sangat cocok."
Ara melotot tidak percaya. "Maksud Bapak? Kenapa tiba-tiba bahas demikian?"
"Dika marah sama saya karena saya bilang akan menjodohkan kalian."
"Pak Garvi gila!"
Persetan dengan sopan santun, tata krama, etika dan lainnya, Ara tidak peduli. Karena sekarang ia sedang sangat emosi.
"Bisa-bisanya Bapak bicara demikian terhadap adik Bapak sendiri? Pak Garvi sadar nggak sih dengan apa yang anda lakukan?"
Garvi mengangguk cepat. "Saya sangat sadar, Zahra. Serius, menurut saya kalian berdua itu sangat lah cocok."
Kali ini mulut Ara langsung tertutup rapat, ia bahkan tidak tahu harus berkomentar apa sekarang. Ia terlalu speechless.
"Menurut kamu, saya keterlaluan?"
"Sangat," sahut Ara cepat dan tanpa berpikir panjang.
"Padahal saya kan hanya ingin yang terbaik untuk adik saya."
Ara tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "Pak Garvi serius dengan kalimat Bapak sendiri?"
"Maksud kamu?"
Ara mengangkat kedua bahunya. "Bapak tidak ada niat terselubung? Maksud saya, anda seyakin itu kalau tujuan Pak Garvi memang hanya itu?"
Garvi berpikir sebentar lalu menggeleng.
"Jadi Bapak tahu kan kenapa adik Bapak marah?"
Garvi mengangguk dengan ekspresi sedihnya.
"Berarti tahu dong harus ngapain?"
Tanpa repot-repot mengeluarkan suara, Garvi kembali mengangguk. Di sampingnya Ara tersenyum meledek.
💙💙💙💙
Dika langsung bangkit berdiri saat menyadari keberadaan sang kakak. Moodnya yang tadi hendak menonton acara televisi mendadak sirna.
"Gue mau ngomong."
"Ngomong, tuh, sama tv. Gue mau tidur," ketus Dika dengan wajah juteknya.
Garvi menghela napas. "Gue mau minta maaf."
"Basi."
"Dek," panggil Garvi dengan nada seriusnya.
Hal ini otomatis langsung menghentikan langkah kakinya. Ia meruntuki kebodohannya yang lemah kalau sudah dipanggil demikian. Dengan kesal ia berbalik dan menatap sang kakak dengan wajah galaknya.
"Apaan sih?"
"Gue mau minta maaf. Gue ngaku salah, gue udah egois--
"Ya udah, iya, sana pulang! Geli banget gue dengerin lo ngomong manis. Kayak nggak lo banget tahu, Mas," potong Dika dengan wajah kesalnya.
Garvi memandang wajah sang adik ragu-ragu. "Lo udah nggak marah?"
"Ya, masih lah, gila aja lo. Tapi ya udah, gue nggak mau memperbesar masalah ini. Udah sana balik lo, gue mau nonton. Males banget gue liat lo yang sok melas begini."
"Gue mau nginep di sini," ucap Garvi lalu bergegas menuju lantai atas. Menuju kamarnya untuk bebersih dan mandi.
Sedangkan Dika hanya mampu memasang wajah herannya seraya bergumam, "Kesambet apa itu orang. Serem banget buset."
💙💙💙💙