Di Balik Cadar Arumi
Suatu hari, Indah pulang dari sebuah kajian bersama dengan seorang gadis bercadar. Arumi namanya, gadis yatim piatu yang sangat sopan dan berakhlak mulia. Begitu Indah menilai.
"Ibu sendirian? Arin nggak pernah kelihatan?" tanya Arumi sambil menenteng barang belanjaan milik Indah hingga ke teras rumah. Gadis itu memang membantu Indah berbelanja sepulang dari kajian rutin mereka.
"Arin itu sekarang lagi magang. Makanya sibuk sekali, jarang di rumah. Ayo, masuk dulu. Ibu buatkan teh untukmu ," ajak Indah.
"Nggak usah repot-repot, Bu. Saya langsung pulang saja Insya Allah kalau ke sini lagi, Rum pasti mampir lama." Arumi mencoba menolak dengan perkataan halus.
"Singgah dulu sebentar. Kita makan cemilan kue yang ibu beli. Ayolah. Sudah dua kali Nak Arumi ke sini tapi nggak pernah mau mencicipi makanan ibu." Indah sedikit memaksa.
"Bukan begitu, Bu. Saya--"
Tin! tin!
Ucapan Arumi terpotong oleh suara klakson mobil. Keduanya menoleh ke pintu halaman. Seorang pria tampan turun dari dalam mobil hitam. Ia membuka kacamata hitamnya. Sejenak, Arumi menatapnya heran dengan takjub. Lalu, ia buru-buru mengalihkan pandangan.
"Astagfirullah." Ia membatin.
"Itu anak ibu. Namanya Aris," ucap Indah tanpa mengetahui raut wajah Arumi yang tersipu di balik cadar.
"Ibu punya anak laki-laki? Bukannya anak ibu cuma Arin saja?" tanya Arumi memastikan. Sebab, Indah tidak pernah bercerita mengenai diri anak lelakinya. Bahkan beberapa kali singgah di rumah itu, ia tak pernah melihat sosok Aris.
"Anak ibu ada dua. Aris anak ibu yang pertama, kakaknya Arin. Dia tinggal di kota sebelah, punya rumah sendiri di sana karena kerjanya di sana. Ibu kenalkan, yuk!"
Dada Arumi semakin berdetak tak karuan.
Ma," sapa Aris.
"Waalaikumsalam. Kamu mampir atau sengaja pulang, tanya sang mama.
"Sengaja pulang dong, Ma. Tapi Aris nggak sempat bawa oleh-oleh. Buru-buru soalnya."
"Tenang, mama membeli banyak kue dari tokonya Arumi. Oh, iya, mama sampai lupa memperkenalkan kalian. Rum, kenalkan ini anak sulung ibu, namanya Aris."
Arumi mengangkat sedikit wajahnya, lalu mengatupkan kedua tangan di depan dada.
"Mas," ucapnya.
Aris tersenyum menanggapinya. Ia menjawab, Saya Aris." "
"Masuk, yuk, Rum! Kita ngobrol bertiga," ajak Indah.
Setelah hari itu, Indah yang mengenalkan Aris pada Arumi memiliki rencana menjodohkan keduanya. Aris menolak. Ia sama sekali tidak tertarik dengan gadis bercadar. Baginya tidak terlihat menarik, akan tetapi, Indah tidak kehabisan cara untuk membuat Aris mau mengaminkan permintaannya. Apalagi ia tahu, jika Arumi diam-diam menyukai putranya.
"Arumi itu gadis baik-baik. Kamu tidak akan menyesal menikah dengannya. Dia pekerja keras, punya toko kue meskipun hanya kecil. Pintar mengaji juga, suaranya sangat merdu, Aris. Dan satu lagi, ibu-ibu di kajian itu banyak yang menginginkan Arumi menjadi menantu. Pokoknya tidak boleh menolak."
"Dia itu bukan wanita idaman Aris, Ma. Bukan gadis bercadar seperti Arumi yang aku mau."
"Jangan salah, Aris. Mama sudah pernah melihat wajahnya. Saat dia menumpang sholat asar di rumah ini, tak sengaja ibu melihat Arumi itu sangat cantik. Lebih cantik dari perempuan yang sering kamu bawa-bawa ke pesta teman-temanmu itu. mirip artis yang pakai hijab itu ... siapa namanya ... anu, si Bella, Laudya Chintya Bella. Beneran. Ibu nggak bohong."
Aris menutup telinganya, berharap tidak mendengar mamanya. Tapi Indah terus saja merayu lagi dan lagi.
Sampai suatu hari, Aris pun akhirnya mengalah. Ia menerima permintaan sang mama, hanya demi mamanya, juga karena dirinya tengah patah hati karena ditinggal kekasihnya bertunangan dengan laki-laki lain.
Tanpa melalui proses yang panjang bahkan melihat wajah Arumi pun tidak, semua hal tentang diri Arumi dan menyangkut pernikahannya, dipercayakan pada sang mama.
Aris percaya, mama adalah terbaik untuk masa depannya.
"Kalau kamu tidak mau membukanya, bagaimana bisa menunaikan kewajibanmu, Arumi?"
"Boleh aku tau alasannya kenapa Mas Aris tiba-tiba memintaku membuka cadar? Bukankah sebelumnya nggak mempermasalahkan meskipun aku ingin menyelidiki kebiasaannya. Mungkin secara kebetulan dia pergi keluar, ke klub itu lagi.
Sampai di rumah, ternyata Arumi tidak ke mana-mana. Beruntung sekali, karena aku juga ingin menanyakan sesuatu padanya.
"Mas mau makan? Aku memasak tadi siang, kalau mau makan biar Rum panasi dulu sayurnya."
Arumi berdiri di ambang pintu. Aku mengamatinya dari atas ke bawah tanpa berkedip. Otakku dipenuhi kecurigaan, semua dugaan buruk mengarah pada diri Arumi.
"Mas." Dia menegur karena aku tidak merespon ucapannya.
"Mendekatlah kemari," pintaku, lalu bergeser agar Arumi duduk di sebelahku
"Ada apa, Mas?" tanyanya. Dia
tanpa sengaja mengibaskan jilbab panjangnya hingga mengenai kulit tanganku. Aroma wangi menyeruak, membuat rasa penasaran ini semakin besar.
"Aku masih mempertanyakan kesanggupanmu memenuhi kewajibanmu, rum," ucapku tegas.
"Maaf, Aku juga ingin Mas Aris menjawab pertanyaanku lebih dulu.
Setelah yakin, aku pasti akan menunaikan kewajibanku."
"Baiklah. Akan aku sampaikan satu hal, bahwa aku melihatmu berada di sebuah klub. Malam itu kamu sedang menerima sebuah amplop dari seorang pria. Untuk apa kamu berada di sana?"
Aku memandang Arumi tercetak jelas keterkejutannya.
"Kamu berpakaian tertutup bahkan bercadar, pantaskah berada di tempat seperti itu tanpa suamimu?"
Arumi membuang pandang ke arah lain.
"Jawab, Rum? Salahkan aku sebagai suami mempertanyakan ahklakmu? Jangan-jangan, mama salah mengambil menantu."
"Apa maksudku, Mas?"
Suara Arumi terdengar meninggi. Dia juga menatapku, di cadarnya dapat kurasakan aroma kemarahan.
"Kita buktikan, apakah dugaanku ini benar. Sekarang aku kamu untuk membuktikannya."
"Maaf, Mas. Kata-katamu baru saja menyakitiku. Harga diriku merasa direndahkan."
"Kalau begitu, penuhi permintaanku, baru aku akan percaya."
"Mengapa Mas tidak mendengar penjelasanku saja, lalu tarik kesimpulan sendiri apakah prasangkamu benar atau salah?"
"Aku tidak percaya kata-kata. Yang aku butuhkan adalah bukti. Sekarang aku tanya sekali lagi, kamu sanggup membuktikannya, atau tidak?"
Arumi menatapku dalam diam. Dia tak terdengar memberikan jawaban. Aku semakin penasaran, apa yang sedang dia pikirkan? Menolak atau memenuhi tantanganku?
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments