Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baikan
***
"Mas minta maaf/aku minta maaf, Mas."
Kami mengucapkan kalimat maaf hampir secara bersamaan dengan kalimat berbeda. Lalu saling bertatapan dengan suasana yang mendadak akward dan kami sama-sama salah tingkah.
"Mas tahu salah, Geya."
Aku mengangguk. "Geya juga mengaku salah, Mas. Enggak seharusnya Geya egois dan bukan menyusahkan Mas Yaksa seperti kemarin."
Kuperhatikan Mas Yaksa menggeleng. "Enggak papa, Geya, kita masih sama-sama belajar menyesuaikan diri. Mas tahu semua ini tiba-tiba buat kamu dan harusnya Mas lebih peka terhadap perasaan kamu. Mas minta maaf karena bertindak kurang peka dan terkesan semaunya. Ke depannya Mas usahakan kalau mau mengambil keputusan minta pendapat kamu lebih dahulu."
Aku tersenyum tipis. Ada perasaan lega. "Iya, Mas, makasih."
"Dan soal pms kamu... Apa kamu baik-baik saja?"
Kali ini aku terkekeh. "Ya, aku baik-baik saja, Mas. Kalau sedang sensitif biasanya aku nggak ngalamin nyeri, begitu sebaliknya, kalau aku ngalamin nyeri biasanya emosiku cenderung stabil."
Mas Yaksa terlihat manggut-manggut paham. Dia diam sebentar, seperti sedang berpikir serius, entah apa yang ada di kepalanya.
"Soal KB? Gimana?" tanyanya tak lama setelahnya. Nada bicaranya terdengar hati-hati, seperti takut kalau aku mulai tersinggung sekali lagi karena aku yang sedang mode sensitif.
"Sejujurnya aku takut, Mas," akuku pada akhirnya memilih jujur.
Daripada terjadi kesalahpahaman yang membuat kita kembali berujung ribut kan? Lebih baik aku jujur saja.
"Katakan," ucap Mas Yaksa lembut, "katakan apapun yang ganggu pikiran kamu biar kita bisa sama-sama mencari solusinya, Geya."
Aku mengangguk pelan. "Kata orang-orang kalau belum pernah hamil tapi memilih KB bikin susah hamil kalau nanti udah kepengen hamil, Mas. Aku nggak mau, meski sekarang aku sudah punya Javas dan Alin, tetap saja aku pengen juga suatu hari nanti, entah itu kapan, aku mau juga, Mas, ngerasain hamil dan melahirkan sama kayak kebanyakan perempuan lainnya."
"Mas ngerti, beberapa memang demikian, Geya, tapi kalau kita nggak KB Mas takut kebobolan. Memangnya kamu siap jadi ibu tiga anak dalam waktu dekat? Mas aja kadang nggak tega yang biasa ngeliat kamu bebas kesana-sini sesuka hati kamu, tapi sekarang dibatesin karena Alin. Mas suka ngerasa bersalah, apalagi kalau..." Mas Yaksa menghentikan kalimatnya dan menatapku sambil menghela napas, "kita konsultasi dulu saja ya, masalah nanti gimana biar dokter yang bantu putuskan," sambungnya masih berusaha untuk membujuk.
"Kalau kita ke dokter dan minta saran biar aku nya nggak hamil dulu ya udah pasti saran mereka nyuruh kita KB lah, Mas. Gimana kalau kita pake KB alami?" tawarku yang direspon Mas Yaksa sedikit tidak suka.
"Mas nggak yakin, Geya. Mas pria normal."
Aki mengernyitkan dahi heran. "Maksudnya yang pale KB alami itu yang cowok bukan pria normal?"
"Ya bukan begitu, Geya!"
"Mas, kita coba aja dulu ya?" bujukku sambil menyentuh punggung tangannya. Dapat kurasakan Mas Yaksa sedikit tersentak kaget, tapi hal ini tidak berlangsung lama karena ia tampak mampu menguasai diri tak lama setelahnya.
"Kalau nggak berhasil gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana, paling Alin dapet adek?" aku berujar dengan nada usil. Bermaksud menggodanya, namun, Mas Yaksa tidak dapat menerimanya dengan baik. Ia terlihat sedikit masih kesal dengan keputusanku tapi ia tidak bisa protes.
Eh, tunggu? Kalau begini nggak jadi terkesan kalau aku yang berkuasa kan?
"Ya sudah, terserah kamu deh, tapi Mas udah peringatin ya, kalau nanti sewaktu-waktu kamu hamil, kamu nggak boleh nyalahin Mas."
Aku pura-pura memasang wajah kaget. "Loh, Mas berencana bikin aku hamil?"
"Loh, Mas ini suami kamu, Geya, meski nggak yakin kapan itu terjadi, jelas Mas mau kamu hamil anak Mas."
Aku meringis samar. Kok jadi Mas Yaksa yang terbawa emosi ya, padahal kan yang pms aku.
"Iya, Mas, iya. Karena aku sekarang istri Mas dan Mas suami aku, aku bakalan lebih mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu aku hamil."
"Padahal sekarang jaman udah canggih, Geya. Ada berbagai jenis KB yang bisa kita pilih nantinya."
"Mas Yaksa mau yang KB?"
Seketika Mas Yaksa langsung bungkam. Aku mendengus samar.
"Jaman sekarang juga ada loh suami yang KB, bukan istri aja, Mas," ucapku dengan nada hati-hati.
Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sekali lagi. Mau bagaimanapun kan baru baikan nggak lucu dong kalau tiba-tiba berantem lagi.
"Mas tahu," cicit Mas Yaksa dengan suara pelan dan nyaris tak terdengar kalau saja aku tidak memperhatikan gerak bibirnya.
"Berarti keputusan kita final ya? Kita coba KB alami, Mas bisa konsultasi dokter kepercayaan Mas semisal masih belum terlalu yakin."
"Enggak bisa diubah?" Mas Yaksa masih terlihat ragu-ragu.
"Loh, Mas nggak sepakat?"
"Masih ragu-ragu dikit."
"Mas aku menyusui loh, itu udah termasuk KB alami."
"Tapi kan kamu nggak hamil dan melahirkan, Mas beneran takut kamu hamil, Geya. Kalau Mas sih nggak masalah jadi Ayah tiga anak, Mas justru ngerasa seneng, tapi kamu? Mas memang bakalan bantu kamu ngurusnya tapi kan Mas juga harus kerja, Geya, Mas nggak bisa bantu kamu 24 jam."
Aku tersenyum tipis dan menatap Mas Yaksa lembut. "Sebenernya sederhana aja, Mas. Kita kembalikan sama Allah, Mas, kalau memang aku dikasih hamil dalam waktu dekat, yang sebenernya kemungkinan itu kecil juga karena aku menyusui, aku yakin bisa kok, Mas. Aku percaya sama Allah, kalau seandainya memang kita dikasih kepercayaan itu, insha Allah kita pasti bisa meski mungkin jalannya nggak mudah."
Mendengar kalimatku, ekspres Mas Yaksa terlihat sedikit berubah. Sepertinya keraguannya mulai memudar. Ia mulai tersenyum tipis dan mengangguk.
"Oke, sekarang aku lebih yakin. Kita sepakat."
Senyumanku perlahan mulai mengembang. Rasanya lega? Sepertinya iya.
"Ya udah, kita tidur, yuk! Udah malem," ajak Mas Yaksa beranjak dari kursi.
Aku menggeleng tidak menyetujui ajakannya. Hal ini membuat kening Mas Yaksa mengkerut. Sebuah pemandangan yang beberapa minggu terakhir menjadi favoritku. Aneh kan? Tapi entah kenapa memang rasanya lucu saja melihatnya demikian.
"Kita baru selesai makan, Mas, masa iya langsung tidur. Nanti dulu lah, Mas Yaksa mau perutnya buncit?"
"Terus mau ngapain?" Mas Yaksa kembali duduk.
"Ya ngapain gitu kek, mumpung anak-anak udah tidur."
"Kan kamu mens," balas Mas Yaksa dan kali ini membuat dahiku mengkerut heran.
Lah, apa hubungannya?
Tunggu sebentar, ini maksudnya 'itu'?
Tiba-tiba aku merasakan kedua pipiku panas. Aduh, aku salah tingkah.
"Apaan sih? Bukan itu maksud aku, ya, lagian kalau Mas sering-sering minta jatah yang ada aku nanti cepet hamil."
"Makanya Mas ngajakin KB yang paling aman."
"Oh, jadi alasan Mas Yaksa nyuruh aku KB tuh karena ini?"
Mas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Mas bilang Mas ini pria normal, Geya, kalau kamu lupa."
Bibirku langsung mencibir spontan. Sifat ngeselinnya mulai timbul.
"Mas nggak bisa ya kita akurnya lama dikit?"
"Bisa," ucap Mas Yaksa cepat.
"Tapi mati?" aku terkekeh geli saat mengingat sound tik tok yang pernah viral itu.Tapi sepertinya Mas Yaksa tidak paham.
"Hush, ngawur kamu," tegur Mas Yaksa membuatku meringis, "mau kamu jadi janda?"
Aku menggeleng cepat. "Ya kali, belum juga ngerasain hamil udah jadi janda aja, Mas. Minimal--"
"Istigfar, Geya," potong Mas Yaksa dengan ekspresi yang terlihat jelas tidak suka.
Ups, bercandaanku sepertinya kelewatan.
"Maaf, Mas," cicitku takut-takut.
Serius nih Mas Yaksa ngambek lagi?
To be continue,